Bab 5. Seutas Benang

1028 Words
Sebuah jarak membentang luas. Membelah asa, memisahkan raga. Namun, tidak dengan jiwa. *** Akhirnya harapan yang diinginkan Zoya terkabulkan. Setelah memasukkan beberapa berkas ke salah satu rumah sakit umum Kota, Zoya akhirnya diterima secara resmi setelah dua Minggu menunggu. Zoya sengaja memasukkan lamaran ke rumah sakit umum yang biasa diakses oleh pasien dari kalangan menengah kebawah. Biasanya mereka datang membawa kartu BPJS yang membuat pengobatan itu gratis. Gajinya memang tidak seberapa tetapi Zoya lebih suka membaur dengan orang-orang seperti mereka. Terkadang di rumah sakit pilihan yang bisa diakses oleh kalangan Hedon, banyak pasien mau pun keluarga yang sering bersikap semena-mena. Terkadang juga sering bersikap arogan dengan mengatakan “Saya bayar berapa saja” Zoya benci akan hal ini. Ya, Zoya memang sering dinilai angkuh kepada orang yang tidak kenal atau orang yang tidak disukai. Akan tetapi Zoya tidak pernah membedakan kasta antara si miskin dan si kaya. Menurut Zoya orang yang dinilai miskin belum tentu miskin adab dan moral, begitu pun sebaliknya. Orang kaya juga banyak yang tidak beradab. “Ibu, kayaknya akhir-akhir ini aku bakalan sibuk banget deh.” Sebelum berangkat ke rumah sakit Zoya seperti biasa menyempatkan sarapan dengan kedua orang tuanya. Terhitung ini sudah masuk bulan kelima Zoya bergelut dengan obat-obatan dan peralatan rumah sakit lainnya. “Kenapa, Sayang? Mau imunisasi, ya?” Nindy menyahut setelah menyelesaikan sarapan. “Bukan, tapi mau kunjungan ke sekolah-sekolah buat ngasih suntik kesehatan.” “Di rumah sakit umum memang sangat melelahkan. Kenapa tidak memilih rumah sakit yang lain saja? Ayah bisa bantu,” tutur Ethan tak tega jika melihat putrinya pulang dengan raut wajah lelah. “Ish, Ayah lupa, ya? Aku mau meraih semua dengan jerih payahku. Kalau Ayah yang bantu sama aja bohong,” sahut Zoya mencibir. Ethan tergelak seraya mengusap rambut Zoya perlahan. Wanita itu tidak tahu saja jika saat ini Ethan pun masih ikut andil agar Zoya bisa diterima di rumah sakit tempatnya bekerja. Memang rumah sakit itu umum, tetapi juga banyak calon dokter yang memasukan lamaran. Dan kebanyakan dari mereka membawa uang pemulus agar bisa diterima. Sudah menjadi hal biasa jika semua harus diberikan pelicin agar jalan dipermudah. “Yang penting jangan capek-capek. Ayah lihat kau jarang menghabiskan waktu dengan Matthias sekarang,” kata Ethan. “Kak Matty juga sibuk, Ayah. Mungkin nanti kita akan pergi ke Bali.” Zoya menyahut seadanya. Beberapa kali ada obrolan terkait hal itu. “Ke Bali?” “Pergi ziarah Ayah, peringatan hari kematian Om Jay, sekalian sama ke rumah Kak Elang.” Ethan mengangguk mengerti, setiap tahun memang mereka sekeluarga akan pergi ke Bali untuk berziarah ke makam Jayden—Papanya Matthias sekaligus bersua dengan keluarga besannya. Dalam satu tahun bisa sampai 3 kali atau 4 kali tergantung kesibukan juga. Namun, mereka tak pernah melewatkan tanggal kematian sahabat paling dekat yang sudah dianggap Kakak oleh Ethan itu. “Nanti kita pergi sama-sama. Mama mertua Kakakmu kemarin juga drop lagi sampai harus di opname,” ujar Nindy. “Iya ibu, aku berangkat sekarang saja kalau begitu.” Zoya menyudahi sarapannya, meminum air putih lalu beranjak meninggalkan rumah. Pekerjaan Zoya kali ini bisa dibilang berat karena ia yang sudah disumpah untuk mengutamakan nyawa pasien melebihi apa pun. Tetapi saat pekerjaan dilakukan dengan sepenuh hati semua pasti terasa ringan dan menyenangkan. Zoya sempat membuka ponsel, melihat pesan yang dikirimkan Matthias. Ia membalasnya, mengirim pap foto dirinya yang sudah siap berangkat. Mau berangkat, Kak Matty? Pesan itu segera dibalas, sepertinya Matthias pun baru saja sarapan karena keluarga mereka sudah menerapkan jam wajib sarapan di jam yang sama. Sudah memiliki kebiasaan yang sama juga sehingga bisa ditebak dengan mudah. Mau berangkat bersama? ~ Kak Matty 🦎 Nanti siang saja, makan bersama. ~ Zoya Jam 12 aku datang. ~ Kak Matty 🦎 Zoya menyudahi berkirim pesan dengan Matthias. Belakangan ini hubungannya memang sangat baik sekali. Beberapa kali mereka juga pergi makan, nonton atau melakukan olahraga bersama. Zoya merasa Matthias yang sekarang lebih hangat dan tak pernah sedikit pun mengungkit perihal gelang dan tato di tangannya. Mengingat tato itu Zoya mengangkat tangan kirinya. Gelang pemberian Enzo masih ia pakai setelah dibenarkan, ia mengusapnya perlahan. Bagaimana penampilanku hari ini? Semakin cantik bukan? Aku sudah bukan gadis kecilmu lagi, aku sudah dipanggil Dokter. Apa kau juga bahagia melihatku sekarang? Aku ... rindu. Zoya menarik napas panjang untuk mengusir sesak yang kembali menghimpit. Pandangannya beralih ke gelang pemberian Matthias yang dipakai di tangan sebelah kanan. Ia tersenyum getir, menatap ke arah langit yang sangat cerah. Langit, aku tidak akan pernah melupakanmu. Aku tetap menyukai segala cuacamu, entah itu cerahmu, mendungmu, senjamu atau warna birumu yang indah. Tapi bolehkan aku sesekali menunduk? *** Suara kebisingan bergema pada lorong-lorong yang di sampingnya berjajar sel-sel penjara. Keseluruhannya berupa pintu yang sudah berkarat dan usang termakan usia. Enzo berjalan di sana bersama beberapa narapidana lain karena jam sarapan telah dimulai. Ia memilih berjalan di bagian paling akhir. Saat berbelok menuju ruangan khusus untuk makan Enzo mendengar suara makian dari salah seorang tahanan tetapi beberapa detik kemudian terdengar kembali sebuah pukulan dari tongkat polisi yang menjadi balasan pada tahanan yang dinilai pembakang. Enzo hanya memasang wajah datar seolah hal seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Ia segera duduk begitu sudah mendapatkan makanan di samping tahanan lain yang terdengar saling berebut makanan. Kebanyakan dari mereka berwajah bengis dengan aura mengancam yang kuat. Ada yang berbadan besar memiliki tato di seluruh tubuh, ada juga yang bertumbuh biasa saja namun memiliki aura mengancam yang kuat. Kebanyakan dari mereka berkelompok untuk memperkuat diri mereka. Sudah menjadi hal lumrah agar mereka bisa bertahan pada penjara yang keras. Hanya Enzo yang tidak ingin terlibat dengan siapa pun. Selagi dirinya tidak disentuh ia pun diam saja, namun jika ada yang berniat mencari gara-gara mereka pasti akan merasakan pembalasannya. Enzo melirik makanan yang ada di depannya. Jelas tidak menyelerakan sama sekali, bahkan seperti makanan basi yang tak layak dimakan. Tetapi Enzo tetap memakannya karena itu satu-satunya hal yang digunakan untuk bertahan hidup. Sesekali mata Enzo mengedar ke arah sekeliling, melihat beberapa tahanan tergeletak setelah mengkonsumsi obat-obatan yang masih diperjualbelikan dengan bebas di penjara. Sudah menjadi hal biasa karena hukum negara yang bisa dinegosiasi. Enzo melanjutkan makannya, entah perasaannya saja atau bagaimana. Ia menjadi cukup resah hari ini. Tapi kenapa? Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD