Bab 6. Hujan Bulan Juni

1030 Words
Seperti embun di pagi hari, menyirami kehidupan tanpa pamrih dan tanpa cela. Kehadirannya terasa dalam setiap hembusan napas. Meskipun tak terlihat rupa, kasihnya terasa nyata. *** Enzo melempar piring bekas yang digunakan untuk makan setelah usai, salah seorang tahanan dengan tubuh kurus segera membereskan sisanya. Ia kemudian melangkah menuju sisi kantin, melihat ke arah jendela yang didesain dengan tralis besi dapat. Bertujuan agar tak ada celah untuk pada narapidana kabur. Satu orang sipir menghampirinya, memberikan rokok yang langsung disulut dan dinikmati. Apa pun kondisi di sana Enzo hampir tak pernah merubah ekspresi, benar-benar dingin seperti embun pada pagi hari. Kehidupan di sana tidak selalu keras dan mengerikan seperti bayangan orang-orang. Ada kalanya mereka diperlakukan dengan manusiawi. Saat keadaan sedikit kondusif para tahanan bisa menikmati waktu di halaman belakang untuk olahraga atau aktivitas lainnya. Bahkan beberapa narapidana ada yang dipaksa untuk keluar sel oleh sipir. Tetapi saat kondisi sedang memanas bisa terjadi pemberontakan, penyerangan dan juga pembunuhan. Intinya para tahanan harus percaya kepada dirinya sendiri daripada orang lain, dia yang bisa bertahan maka dia yang akan menjadi penguasa. Bibir Enzo terasa sangat kering, ia mengusapnya perlahan setelah menghabiskan rokoknya. Ia melirik ke arah keriuhan para tahanan yang masih berkeliaran bebas. “Aku sudah selesai makan,” kata Enzo bermaksud memberitahu ingin kembali ke selnya. “Hari ini ada pemeriksaan dari dinas kesehatan. Masuk setelah pemeriksaan,” jelas sipir tersebut. Enzo mengulum bibirnya, pantaslah mereka masih dibiarkan bebas seperti sekarang. Biasanya mereka hanya diberikan waktu beberapa menit sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam sel. Akhir-akhir ini juga kondisi di sana tidak kondusif karena beberapa kali terjadi pemberontakan. “Kau ini memang aneh, semua orang sibuk ingin keluar untuk menghirup udara segar sedangkan kau malah ingin ke sel-mu.” Enzo tak menggubris ucapan dari sipir itu, sengaja berlalu meninggalkan kantin untuk pergi ke halaman belakang penjara. Ia duduk tanpa melakukan apa pun, melihat beberapa tahanan lain dengan segala aktivitasnya. Di sana cuaca sedang cukup mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan entah badai. Enzo tak begitu peduli, hanya sedang merasa resah hingga ia terus waspada. Enzo berusaha menenangkan dirinya, memejamkan mata mengingat sosok gadis cantik yang 4 tahun lalu menangis di depannya dengan keputusaan. “Kau apa kabar? Ah pasti baik-baik saja. Jangan tanya kabarku, jelas aku juga baik-baik saja karena pernah kau titipi kenang-kenangan.” *** Zoya sedikit tidak bersemangat saat sesampainya di rumah sakit. Pasalnya ia tiba-tiba ditarik mundur oleh beberapa dokter senior saat ingin ikut memberikan suntik kesehatan di sekolah-sekolah. Mereka mengatakan Zoya masih baru sehingga diberikan tugas untuk menggantikan dokter umum memeriksa pasien yang datang untuk berobat. Sedikit kecewa memang karena ia sudah membayangkan bisa bersosialisasi dengan anak-anak kecil dan menambah pengalaman. Tapi sayang para senioritas di sana ternyata cukup kuat hingga seperti menguasai seluruh departemen kedokteran. Benar-benar menjengkelkan. Mereka pasti sering meremehkan “anak baru bisa apa?” Padahal memberikan suntikan seperti itu sudah menjadi hal biasa untuk Dokter. Mereka menganggap seolah Zoya akan bertindak ceroboh saja. Merasa tidak ada lagi pasien yang melakukan pemeriksaan Zoya meninggalkan ruangannya untuk mengisi amunisi sejenak. Ia butuh kopi untuk membuang kantuk, padahal baru jam 10 ia sudah cukup pusing. Ketika melewati lorong khusus dokter, Zoya dibuat heran melihat lalu lalang para petugas medis yang membawa beberapa tas cukup besar. Mereka sepertinya juga akan bersiap pergi, tapi bukankah yang akan melakukan pemeriksaan di sekolah sudah berangkat sejak tadi jam 8? “Dokter Maya.” Zoya menghentikan langkah salah seorang Dokter senior yang hendak berlalu melewatinya. “Ya Dokter Zoya?” Zoya melirik ke arah lalu lalang petugas medis tadi. “Mau ada pemeriksaan ke mana?” tanya Zoya. “Oh ini, setiap 3 bulan sekali ada pemeriksaan rutin di Penjara.” “Penjara?” Zoya menekuk dahi, baru mendengar jika di penjara pun ada pemeriksaan. “Ya, itu kebijakan baru dari presiden, Dokter. Akhir-akhir ini juga banyak orang terpapar virus, kita akan memberikan vaksin kepada mereka agar tidak terjangkit seperti anak-anak sekolah juga.” Zoya mengangguk mengerti, ia baru ingat jika rumah sakit tempatnya bekerja memang rumah sakit umum dimana yang mengelola pemerintah. Jelas saja semua yang akan dilakukan telah diatur oleh dinas kesehatan juga. “Saya baru tahu loh Dok kalau ada pemeriksaan seperti itu,” beritahu Zoya. “Hahaha iya, Dokter Zoya kan masih baru disini. Nanti akan ada lagi setiap 3 bulan sekali. Kami juga akan mengirimkan obat-obatan untuk stok di sana,” sahut Dokter Maya dengan gelak tawa. Zoya tersenyum ramah, jika dengan Dokter yang satu ini Zoya memang cukup dekat karena pembawaannya santai. Mungkin karena umurnya sudah matang jadi lebih bijak dalam bersikap. Sedangkan dokter senior yang dimaksud sebelumnya masih muda, mungkin umur 30 an sehingga masih cukup labil dan menggebu-gebu emosinya. “Wah, saya beneran baru tahu. Udah tugas Dokter Maya kah ini?” tanya Zoya lagi. “Ya secara simbolis memang saya yang ditunjuk oleh ketua departemen. Tapi saya juga tidak sendiri, nanti ada beberapa Dokter lain. Dokter Zoya juga bisa ikut.” “Memangnya boleh?” Zoya segera menyahut. “Bukankah penjara wilayah terlarang?” “Ya memang, apalagi penjara tempat kita berkunjung nanti. Tapi kita kan tenaga medis, Dokter.” Zoya lagi-lagi mengangguk mengerti. “Kalau memang boleh, saya mau ikut dong, Dok?” pinta Zoya dengan penuh harap. “Boleh saja, saya akan laporan dulu kepada atasan. Dokter Zoya beneran mau ikut? Agak ngeri loh di sana.” Dokter Maya tersenyum tipis seolah meragukan Zoya yang semenjak masuk dinilai perfeksionis itu. “Lebih mengerikan lagi kalau saya bisa memberikan bantuan tapi saya malah diam karena rasa takut yang tidak perlu,” sahut Zoya balas tersenyum. “Hahaha Anda benar sekali, Dokter Zoya. Jika memang Anda ingin ikut saya akan melaporkan dulu ke atasan. Dokter siap-siap saja, nanti bertemu di lobi.” Zoya mengiyakan dengan patuh. Tidak semata-mata Zoya ingin sekali ikut, tetapi ia teringat akan satu pria yang harus meregang nyawa di tempat mengerikan itu. Saat menyebut nama penjara hati Zoya seperti diiris-iris. Membayangkan pria yang dulu pernah menitipkan kebahagiaan padanya meregang nyawa karena dikeroyok tahanan lain. Setiap membayangkannya bulu kuduk Zoya seperti merinding hebat. Tidak melihatnya tapi seolah bisa merasakan setiap kesakitan dari pria itu. “Andai dulu aku sudah seperti sekarang, aku pasti akan sering datang menjengukmu. Enzo ....” Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD