Kau adalah keabadian yang terpenjara dalam larangan. Menjadi rindu yang hanya bisa tertulis dalam ingatanku.
***
Senyum penuh kepuasan terbit pada bibir Zoya ketika akhirnya Dokter Maya membawa kabar yang menyenangkan. Bahwa ia diizinkan oleh kepala rumah sakit untuk ikut bergabung dalam tim kedokteran yang akan melakukan pemeriksaan ke penjara. Ya meskipun tidak tetap karena sebenarnya posisi Zoya saat ini hanya menggantikan salah satu Dokter yang absen. Jika nanti ada kunjungan lagi belum tentu Zoya diperbolehkan.
Zoya tidak mempermasalahkan hal itu, ia pun sadar semua butuh proses. Untuk sekarang Zoya ingin menjalani semua yang ada di depan mata sambil belajar memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya.
Ada 6 Dokter yang pergi ke Penjara, 3 Dokter perempuan dan 3 Dokter laki-laki. Masing-masing didampingi oleh satu perawat untuk membantu menyiapkan barang-barang yang diperlukan nanti.
“Loh Dok? Kita akan melakukan pemeriksaan di mana memangnya?”
Ketika dalam perjalanan Zoya dibuat heran tatkala mobil yang ditumpanginya harus keluar meninggalkan kota Jakarta. Ia pikir ada di penjara dekat-dekat daerah sana saja.
“Bukannya Dokter Zoya tahu kita akan ke mana?” Salah satu Dokter yang masih mudah menyahut sedikit sinis. Chelsea namanya.
“Aku hanya tahu kita akan ke penjara, di Indonesia kan banyak penjara.” Zoya menyahut acuh tak acuh, dokter muda yang satu ini selalu sewot setiap bersama dirinya.
“Dokter Maya tidak memberitahu?” Zachary salah satu dokter laki-laki turut menyahut.
“Saya lupa tidak memberikan lokasi pastinya. Maafkan saya Dokter Zoya, hari ini kita akan pergi ke salah satu penjara yang keamanannya cukup ketat. Lokasinya di tengah pulau terpencil, untuk itulah Departemen kita mengirimkan tim khusus untuk datang ke sana. Mengingat banyak tahanan yang terpidana kasus ekstrim,” jelas Dokter Maya.
Zoya mendengarkan dengan seksama, cukup kaget karena memang tidak berpikir akan pergi jauh. Jika seperti ini kemungkinan besar ia akan pulang malam mengingat lokasinya yang jauh. Ia tentu harus mengabarkan kepada orang tua dan juga Matthias jika akan membatalkan makan siang.
Zoya mengirimkan pesan singkat kepada mereka, memberitahu jika akan pulang terlambat lalu memasukan kembali ponselnya ke dalam saku jas Dokter yang dikenakan. Setelahnya ia menghempaskan tubuh ke belakang pada sandaran mobil, memandang gedung-gedung tinggi yang perlahan hilang digantikan pohon-pohon rindang di sepanjang jalan. Mobil mereka telah memasuki area hutan yang luas dan sepi sebelum mencapai penjara tersebut.
Tak ada bayangan apa pun dalam benak Zoya tentang penjara, mungkin mereka hanya terkurung di tempat yang luas dan dibiarkan menjadi satu. Sehingga sering terjadi perkelahian ke sesama tahanan.
“Apa dulu dia juga tinggal di tempat seperti yang akan aku datangi? Atau dimana? Kenapa dia bisa dikeroyok?”
Pertanyaan sialan itu kembali memenuhi otak Zoya, menghimpit jiwa dan memukul telak hatinya hingga kembali rapuh. Zoya memejamkan mata singkat, berusaha menenangkan dirinya.
Dia sudah beristirahat dengan tenang.
*
Sekitar hampir 2 jam lamanya Zoya akhirnya tiba di tempat yang dimaksud. Setelah melewati hutan-hutan yang cukup luas mereka masih perlu pergi menggunakan perahu besar untuk sampai di Pulau tersebut. Zoya rasanya cukup lelah hanya karena perjalanan yang begitu jauh. Tetapi ia tidak ingin mengeluh, malas juga jika nanti akan diledek “anak manja”.
Ya memang, Zoya sejak kecil tidak pernah merasakan susah sedikit pun. Semua hal yang ia inginkan tinggal ia ucapkan maka semua akan diberikan oleh Ayahnya. Setidaknya hal itu sangat bisa dibanggakan dulu kepada teman-temannya. Namun, ada satu hal yang tidak bisa diberikan Ayahnya.
Membawa dia kembali.
“Aku baru tahu ada manusia terkurung di tempat seperti ini. Hah, membayangkan saja aku tidak bisa.” Chelsea membuka obrolan ketika mereka baru naik ke mobil lagi setelah turun dari perahu. Benar-benar memakan waktu untuk perjalanan saja.
“Mereka juga orang-orang yang berbahaya, jika tidak diberikan penjagaan ketat mereka akan membuat kerusuhan kembali,” sahut Zachary.
“Bukankah semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan? Memperbaiki kesalahan misalnya?” Zoya turut menyahut, menahan getir karena terus mengingat sosok Enzo.
Kenapa aku terus mengingatnya?
“Meskipun begitu mereka harus mendapatkan hukuman juga 'kan? Lagipula jika disini mereka bertingkah baik, akan ada pengurangan masa tahanan,” ujar Dokter Maya.
“Memang seperti itu masih ada? Bukannya masa tahanan juga bisa dinegosiasi?”
“Hahaha dibalik layar banyak hal yang tidak diungkap. Penjara itu hanya topeng untuk mereka, dibaliknya jelas menyimpan rahasia yang mengerikan. Kita tahu semua itu.” Doni—salah seorang Dokter senior ikut menyahut dengan bahasa sedikit sarkas. Namun, apa yang dikatakan oleh pria itu ada benarnya.
Siapa yang tidak tahu? Banyak kasus-kasus korupsi yang diungkap di depan publik. Faktanya kasus itu hanya diungkap tanpa dieksekusi. Para penegak hukum kebanyakan menggunakan topeng untuk menipu rakyat jika mereka bekerja dengan benar, nyatanya seberapa tebal amplop yang diberikan mereka yang akan menang.
Di penjara, mereka tak pernah kehilangan semangat. Dalang-dalang keonaran, meski terkurung, terus menyala dengan api perlawanan yang tak pernah padam. Topeng kekuatan mereka tak pernah retak, bahkan di bawah tekanan.
Setelah perjalanan yang cukup panjang mereka akhirnya sampai di lokasi. Sebuah bangunan kokoh dengan tembok beton tinggi yang tak akan bisa dipanjat mengelilingi tempat tersebut. Di depannya ada halaman yang sangat luas yang berisi mobil-mobil polisi.
Mereka disambut dengan baik oleh kepala penjara. Keseluruhan polisi di sana adalah laki-laki, tetapi menyambut mereka begitu ramah. Hal pertama yang dilakukan obrolan basa-basi sembari beristirahat mengumpulkan amunisi kembali sebelum mereka akan melakukan tugas.
“Saya akan meminta Sipir untuk mengumpulkan para tahanan. Dokter lakukan saja persiapannya.”
Para Dokter mengiyakan, segera mempersiapkan diri untuk melakukan pemeriksaan sekaligus memberikan suntikan vaksin kepada para tahanan. Mencegah para tahanan agar tidak terjangkit virus yang belakangan ini ramai menyerang publik.
Pintu besi besar terbuka, Zoya melangkah mengikuti para Dokter yang sebelumnya sudah pernah melakukan hal seperti itu. Melewati lorong-lorong kelam yang membuat bulu kuduk merinding. Cahaya di sana tak terlalu terang mengingat cuaca tengah mendung. Beberapa kali suara guntur terdengar namun mendung belum ingin meneteskan rintiknya.
Setelah beberapa saat mereka akhirnya tiba di aula besar yang dimana alat-alat kesehatan telah ditata. Zoya duduk di kursinya, memakai masker dan juga sarung tangan khusus. Tak lama kemudian pintu besi di bagian belakang terbuka bersamaan dengan suara derap langkah yang mendekat.
Para tahanan telah masuk aula.
***
Enzo sudah cukup bosan duduk di belakang sana. Menyaksikan para tahanan yang sibuk saling bergelut di atas rumput seolah ingin menunjukkan dirinya paling baik. Ia hanya menertawakan orang-orang yang sibuk mencari pengakuan itu, bertingkah layaknya seekor binatang yang haus akan makanan lezat. Sangat menjijikan!
Mendung hitam kembali hadir, ia mendongak ke arah atas. Beberapa saat kemudian ia merasakan setetes demi setetes air hujan turun mengenai kulitnya.
Para tahanan lain mulai berlarian masuk, Enzo masih di sana. Membiarkan hujan itu sedikit membuat tubuhnya basah sebelum akhirnya terdengar teriakan dari sipir.
“Cepat masuk, waktunya pemeriksaan!”
Enzo menghembuskan napas kasar, dengan langkah malas ia pergi meninggalkan kursinya. Bergerak mengikuti para tahanan lain menuju aula besar yang biasanya digunakan untuk pemeriksaan rutin. Mereka berbaris seperti orang yang akan antri sembako. Seperti biasa Enzo berada di urutan paling belakang, sengaja pastinya karena malas berkerumun dengan orang-orang tidak penting itu.
Sejenak Enzo melirik ke arah petugas medis yang duduk di depan, jika Dokternya seorang wanita ia biasanya akan menghindar dan memilih Dokter laki-laki saja. Akan tetapi kali ini ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Mata itu ... ”
Bersambung~