Bab 9. Jejak Yang Memudar

1474 Words
Tak ada yang bisa dilakukan selain diam menunggu di ruangan khusus penjara, tempat itu merupakan mes untuk para sipir yang berjaga di sana. Para Dokter diamankan di sana sementara polisi melakukan pengamanan pada para tahanan yang beberapa dikabarkan telah nekat melarikan diri dengan melawan aparat. Suara-suara tembakan terdengar mengerikan bagi siapa pun yang mendengar, makian serta pukulan tak kalah mengerikan dari suara tembakan itu. Suasana benar-benar kisruh, padahal di luar hujan turun cukup lebat namun para tahanan itu semakin menggila dengan tingkahnya. Untuk pertama kalinya Zoya merasa kakinya cukup gentar, ia melihat dari celah kecil jendela tak tertutup rapat. Beberapa tahanan berlarian dan dikejar aparat. Mereka yang tertangkap sudah pasti akan menerima hukuman yang tak akan bisa dibayangkan. Namun, di antara lalu lalang itu Zoya masih teringat akan tahanan berambut blonde yang menghajar tahanan yang tadi melecehkannya. Entah ia yang terlalu berharap atau bagaimana, tetapi ia merasa pria itu adalah pria yang namanya masih terus bersemayam dalam hati. “Pacarku orang yang kejam, jika kau melihat wajahku mungkin kau akan tamat hari ini.” Dan hal yang membuat Zoya semakin yakin, tahanan blonde itu mengamuk setelah ia hendak dilecehkan. “Apa mungkin? Dia sangat mirip,” lirih Zoya dengan hati yang berkecamuk. Tak pernah sebelumnya Zoya merasa seperti ini. Ia sudah berusaha mengikhlaskan pria itu dengan segala luka yang ingin ia telan sendiri. Kini kenapa perasaan rindu itu bangkit kembali? Benar-benar rindu hingga mengira pria itu kembali dan bisa dilihat. “Dia sudah pergi 4 tahun lalu, aku pasti salah lihat.” Mengurangi kegusaran, Zoya duduk di tepian ranjang bersama anggota Dokter lain. Mereka saling membuka obrolan namun Zoya sama sekali tak tertarik, pria yang dilihatnya tadi benar-benar sangat menganggu. “Bertahun-tahun aku memberikan vaksin, baru kali ini ada pemberontakan. Sepertinya ini sudah direncanakan.” Doni—dokter senior itu berbicara cukup serius dengan Dokter Maya. “Sudah pasti direncanakan, ini sepertinya tidak bisa dilanjut sebelum suasana membaik,” sahut Dokter maya. “Tentu, tidak mungkin kita memaksa untuk memberikan vaksin lagi. Ish, padahal baru beberapa orang yang mendapatkan vaksin,” keluh Dokter Doni terlihat sudah muak jika harus kembali ke tempat yang dinilai mengerikan itu. “Mungkin nanti suasana akan membaik Dokter, kita bisa melanjutkan memberikan vaksin,” ujar Zoya ikut menyahut. “Kau gila, ya?” Chelsea menimpali dengan sarkas. “Kita tidak bisa melanjutkan vaksin hari ini, yang ada kita akan menjadi sasaran mereka,” imbuhnya terang-terangan melirik Zoya sangat sinis. Zoya mengertakkan gigi geram, kali ini sikap Chealse benar-benar membuat kesabarannya habis. “Aku hanya memberikan usulan, apa salahnya?” sergah Zoya. “Ngasih usulan yang ngotak dikitlah. Kau tidak lihat suasana kisruh gini? Kalau kau ingin mati sia-sia pergilah berikan vaksin itu sendiri," tukas Chelsea tak mau kalah. Ia benar-benar tak menyukai Zoya sejak wanita itu masuk, pasalnya semua Dokter pria menjadi lebih akrab dengan wanita itu daripada dirinya. “s**t! Sebenarnya apa masalahmu?” Zoya yang sudah muak bangkit mendorong bahu wanita yang dinilai sok cantik itu. “Katakan, apa masalahmu denganku ha? Kau ingin ribut?” “Ribut? Ayolah, jangan sok cantik deh. Anak manja!” Chelsea meladeni saja, balas mendorong bahu Zoya cukup kasar namun tak membuat wanita itu bergeming. “Aku memang cantik, kenapa? Kau iri?” Zoya menjawab sarkas, jangan dikira ia tidak berani dengan sikap diamnya selama ini. “Eh, eh, kenapa kalian malah ribut?” Zachary segera menengahi sebelum keduanya semakin memanas. Menarik lembut tangan Zoya menjauh dari Chelsea yang juga ditarik oleh rekan dokter lain. Keduanya masih ingin beradu sengit namun Dokter Maya selaku senior serta tetua dalam tim turut menenangahi. “Dokter Chelsea, Dokter Zoya tidak seharusnya kalian bersikap seperti ini. Ingat kita datang untuk pertolongan dan niat yang baik. Jangan sampai niat baik kita gugur karena sikap seperti itu. Tolong jaga sikap kalian, jika kalian tidak bisa koperatif saya akan mencoret nama kalian dari tim khusus ini,” tutur Dokter Maya dengan suara tegas membuat keduanya diam seribu suara. “Kami tidak butuh tim yang saling iri satu sama lain,” imbuhnya lagi menatap kedua wanita itu bergantian. Zoya memasang wajah jengah, menarik tangannya dari Zachary. Memilih menjauh daripada berurusan dengan Chelsea lagi. “Ratu drama banget,” gerutu Zoya dalam harinya. Beberapa waktu yang cukup lama seorang sipir penjara datang setelah keriuhan mulai cukup reda. Pria itu mengabarkan jika kondisi sudah aman dan mereka bisa meninggalkan tempat itu untuk saat ini. Kunjungan berikutnya akan dikabari jika kondisi di penjara benar-benar sudah kondusif. Namun, karena hujan masih sangat deras para Dokter diminta untuk singgah sebentar mengingat perjalanan mereka nanti akan menaiki perahu yang rentan akan badai di lautan. *** Suara hujan kian lama kian deras, mendung semakin gelap hingga gemuruhnya terdengar cukup berisik. Enzo masih terduduk di sel kecil yang hanya dilengkapi ventilasi udara yang sangat kecil, jika malam datang tempat itu benar-benar gelap. Hatinya resah, kian resah setelah melihat wanita kesayangannya ada di sana namun ia tidak bisa melakukan apa pun. Bertahun-tahun ia selalu memimpikan wanita itu, menjadikan kenangan mereka sebagai satu-satunya asa untuk bertahan di penjara yang keras ini. Kini wanita itu begitu dekat, ia ingin, sangat-sangat ingin meraihnya ke dalam pelukan. Membisikan untaian rindu yang semakin lama tergerus akan derita. Semula mungkin bisa ditahan, tetapi rindu itu seperti telah menjelma menjadi retakan demi retakan dalam hati yang perlahan membuatnya berdarah tak karuan. Rasa sesak mulai hadir, udara sekelilingnya seperti menipis. Ia berusaha untuk tetap terjaga namun kondisinya sangat kritis dengan perut yang kosong sejak siang. Ia masih mencoba bertahan, namun perlahan tubuhnya goyah lalu luruh begitu saja ke lantai. Ia sempat mengetuk pintu sel dengan tenaga yang tersisa sebelum matanya benar-benar tertutup sempurna. “Cassandra ...” * Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika hujan benar-benar berhenti. Tim Dokter sudah siap untuk pergi meninggalkan lokasi. Mereka sudah ditawari menginap namun karena waktu belum terlalu malam mereka sepakat untuk pulang saja. “Kami akan menginformasikan begitu keadaan disini tenang, Dokter Maya. Untuk waktu dekat ini sepertinya belum bisa, mohon maaf atas ketidaknyamanan ini,” ujar kepala kepolisian di sana yang tampak lelah raut wajahnya. Tentu saja beberapa tahanan telah kabur dan membuat keonaran seperti itu. “Kami memaklumi itu, Pak. Kabari saja jika sudah siap.” Semua tim Dokter akhirnya berpamitan dengan para petinggi polisi di sana. Mereka diminta menunggu sejenak saat mobil mereka baru disiapkan. Disaat yang tak terduga ada sebuah mobil masuk ke area tersebut. Sebuah mobil tentara khusus yang dikawal oleh beberapa mobil lain. Semua mata memandang ke arah yang sama hingga sosok tak terduga muncul. “Matthias.” Zoya sangat terkejut saat tunangannya itu datang. Pria itu turun dari mobil setelah dibukakan pintu oleh Ken, melangkah dengan gagah dibawah rintik hujan masih tersisa. Tidak akan ada satu wanita yang bisa menolak pesona pria yang satu ini. Wajahnya tak diragukan, apalagi kedudukan? Siapa yang tidak ingin menjadi pendamping hidupnya? Chelsea sampai melongo melihat mahluk ciptaan Tuhan yang sangat mempesona itu. Setidaknya mata kembali segar setelah tadi melihat tindakan ekstrim dari para manusia jahat yang terkurung di sana. Matthias mengulas senyum saat melihat sosok wanitanya, ia segera mendekat dan berdiri di depan wanita itu. Tanpa mengatakan apa pun ia menarik wanita itu ke dalam pelukannya. “Syujurlah kau baik-baik saja, aku khawatir, Ndut,” bisik Matthias menghembuskan napas lega begitu melihat wanitanya baik-baik saja. Mata Zoya mengerjap antara terkejut dan bingung kenapa Matthias ada di sana? Ia melirik ke arah rekan timnya yang saling berbisik, terutama Chelsea yang memasang wajah masam. “Ck, kenapa sama Zoya sih,” gerutu Chelsea dalam hatinya. “Kau benar-benar tidak apa-apa 'kan, Ndut?” Matthias mengurai pelukannya, mengusap pipi Zoya perlahan. “Ehem.” Zoya mengangguk pelan, melirik ke arah para manusia lain yang masih berjajar menatap adegan itu. Matthias mengikuti arah pandang Zoya, ia tersenyum santai. Mengurai pelukannya lalu meraih pinggang Zoya agar merapat. “Mohon maaf kedatanganku membuat kalian bingung. Perkenalkan, aku Matthias tunangan Zoya,” ujar Matthias mengangguk sebagai bentuk hormatnya. “Oh Dokter Zoya sudah tunangan? Sebentar lagi married nih?” Dokter Maya menanggapi dengan tawa kecil meski cukup kaget mendengar Zoya ternyata sudah punya tunangan. “Doakan saja yang terbaik,” sahut Matthias dengan senyum bergula. “Ini tugasnya sudah selesai bukan? Boleh saya ajak Zoya pulang?” ucapnya lagi. “Boleh, boleh. Ini kita juga akan pulang, tinggal menunggu mobil saja.” Dokter Maya mempersilahkan saja begitu pula Dokter yang lain. Toh memang mereka akan pulang juga. Matthias mengucapakan terima kasih serta basa-basi sejenak kepada mereka serta ketua kepolisian yang ternyata mengenal Matthias cukup baik. Mereka pernah bertemu di istana negara saat ada acara-acara tertentu. Mengingat Matthias juga telah diajak masuk ke dunia politik oleh calon Ayah mertuanya Ethan. Zoya berpisah dengan tim Dokter lain, mengikuti Matthias ke mobil yang dijaga ketat. Pria itu kini merengkuh bahunya sambil menutupi kepalanya dengan jas agar tidak terkena rintik hujan. “Aku kaget Kakak datang kesini, kakak tahu dari mana kalau aku disini?” Bersambung~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD