Malam hari di rumah Shania, dia menunggu papinya pulang dari kantor. Tepat jam 10.00 malam, mobil yang ditumpangi papinya masuk ke pekarangan rumah. Shania menunggu papinya masuk rumah. Dia duduk di salah satu sofa di ruang tengah.
"Papi, pulangnya malem banget. Shania nungguin dari tadi," ucap Shania begitu melihat papinya melewati ruang tengah.
"Anak Papi tersayang, kenapa belum tidur? Papi hari ini ada meeting di kantor sampai malam, jadi baru pulang jam segini. Ada apa? Kamu kurang uang? Mau beli tas keluaran terbaru?" tanya papi Shania mendekati anak tersayang.
"Bukan, Pi. Tapi ada yang lebih menyebalkan. Papi masih inget Alina kan?"
"Alina? Tentu saja masih ingat, gimana? Ada apa dengan Alina?" tanya papi Alina penasaran ketika mendengar anaknya menyebut nama Alina. Yang tidak lain adalah keponakannya sendiri.
"Shania ketemu Alina. Tau enggak Papi, Shania ketemunya di mana?"
"Di mana? Di kafe atau resto?"
"Di gerai kopinya Axel, Pi."
"Ngapain Alina di sana?"
"Alina kerja di sana, Pi, jadi karyawannya Axel."
"Bagaimana ceritanya Alina bisa kerja di sana? Jangan-jangan dia tahu kamu perna nikah sama Axel terus pengen nikah juga sama Axel, begitu?"
"Murahan banget memang Alina itu, Pi. Pasti dia ada niatan enggak bener tuh kerja di tempat Axel. Dia patsi tahu kalau Axel itu kaya banget," ucap Shania dengan nada tidak suka.
"Tapi, kamu sudah tidak ada perasaan lagi dengan Axel itu kan, Sayang?"
"Enggak, Pi. Shania cuma tidak suka dengan Alina. Dia tidak pantas untuk hidup bahagia. Biar pun kami saudara sepupu, tapi tidak boleh ada kebahagiaan untuk Alina."
"Betul sekali, Sayang. Sementara ini kamu awasi dulu saja Alina. Kita harus melakukan sesuatu padanya. Oh ya, Papi mau istirahat dulu, kamu juga istirahat."
"Selamat malam, Pi."
"Iya, selamat malam, Sayang," ucap papi Shania berjalan ke kamarnya yang terletak di lantai 2. Papi Shania menaiki tangga, tiba di lantai 2 dia berbelok ke ruang kerja, karena ingin melakukan sesuatu.
Di dalam ruang kerjanya, papi Shania menelpon seseorang.
"Bagaimana kerja kalian seminggu terakhir ini?"
"Tidak ada perubahan, Bos. Mereka tetap sama saja, miskin," lapor seseorang di ujung telepon.
"Awasi terus dari dekat. Jika ada perubahan kabari saya."
Papi Shania memutus panggilan telepon sebelum mendapat balasan dari penerima teleponnya.
***
Di tempat lain, orang yang di telepon oleh papi Shania penasaran dengan obrolan temannnya.
"Siapa yang menelpon? Bos besar?"
"Iya. Dia bertanya perkembangan terakhir."
"Oh, kamu tidak bilang kalau kita mendapatkan uang kan?"
"Tidak. Lagi pula Bos besar tidak membutuhkan uang itu. Dia hanya ingin informasi saja. Uang yang kita dapatkan itu bisa kita habiskan, bukankah uang itu sudah habis?"
"Uang kemarin sudah habis, tetapi kita mendapatkan kesenangan. Tinggal menunggu uang dari Bos besar, untuk kebutuhan kita."
***
Axel datang ke gerai kopi tempat Alina bekerja menjelang makan siang. Dia membawa mesin kopi baru untuk dipakai di sana, setelah sebelumnya dia sudah mengantar mesin kopi baru di gerai yang lain.
Setelah meletakkan mesin kopi yang baru, Axel meminta Alina untuk istirahat terlebih dahulu. Saat Alina sedang istirahat Axel mengajari Billy dan Dion untuk menggunakan mesin kopi yang baru. Cara menggunakannya tidak jauh beda dengan mesin sebelumnya tetapi Axel tetap mengajari kedua pengawainya dengan baik.
Masuk jam istirahat, Axel memanggil Alina dan meminta dua temennya kerjanya untuk beristirahat. Alina berada di depan mesin kopi baru untuk memperhatikan perbedaan bentuk mesin kopi yang lama dan yang baru.
Saat Alina sedang serius memperhatikan mesin kopi baru, Axel mendekat dari belakangnya. Dengan jarak yang dekat itu Axel berbicara di telinga Alina.
"Begini caranya menggunakan mesin kopi yang baru," ucap Axel mengajari Alina dengan cekatan, kedua lengannya melewati tubuh sisi kanan dan kiri tubuh Alina.
Alina terkejut saat Axel tiba-tiba mendekatinya dari belakang. Aroma dari parfum milik Axel menguar ke hidung Alina. Suara Axel terdengar indah di telinga Alina membuat jantungnya berdebar kencang dan kedua pipinya memanas. Kini dia seperti berada dalam pelukan Axel.
"Iya, Bos," jawab Alina menunduk tidak tahu harus berkata apa lagi.
Axel menarik lengannya setelah mesin menngeluarkan espresso di kedua gelas yang tadi diletakkan oleh Axel. Dia melangkah mundur. Sebenarnya Axel juga merasakan perasaan aneh saat dia tiba-tiba mendekati Alina tadi, tetapi dia berusaha mengabaikan perasaan aneh itu.
"Bos, mesin yang lama mau dibawa atau tetap ada di sini? Kayaknya cara pakainya sama aja, ya?" kata Alina berusaha mengusir rasa canggung yang dia rasakan.
"Mesin lama di sini saja, masih bisa dipakai, kalau pesanan numpuk, semua bisa dipakai," kata Axel sambil meracik kopi dari espresso yang tadi dia buat. Dia membuat dua gelas kopi gula aren. "Kamu mau pakai es apa enggak?"
"Pake es aja, Bos. Kayaknya cuaca hari ini agak panas, enak minum yang dingin-dingin."
Axel mengisi kedua gelas itu dengan es, lalu memberikan satu gelas untuk Alina.
"Ini buat kamu. Saya mau pergi dulu, ada perlu di tempat lain. Selamat bekerja," pamit Axel pada Alina meninggalkan gerai kopi membawa satu gelas kopi yang dia buat tadi.
Alina memandangi punggung Axel yang meninggalkan gerai kopi masuk ke mobil hingga mobil itu menghilang dari pandangannya. Alina merasa ada yang hilang setelah kepergian Axel.
"Hei! Melamun saja," ucap Billy mengagetkan Alina. "Liatin siapa sih? Smape enggak sadar temennya udah di sebelah?" tanya Billy penasaran karena Alina terus memandang keluar.
Alina menoleh pada Billy. "Eh, udah selesai makan siang?"
"Udah dari tadi, kamu ada masalah apalagi? Masih kepikiran utang?"
"Oh, enggak ada apa-apa."
"Bos mana? Katanya besok mau keluar kota tuh, ada pembukaan cabang baru, tapi aku lupa mau buka di kota mana," kata Billy menjelaskan tanpa diminta oleh Alina.
"Udah pergi lagi barusan. Oh, ya, makasih infonya. Tapi aku kan enggak tanya. Biasanya juga enggak mikirin Bos mau kemana, suka-suka Bos aja deh."
Alina merasa sedih mendengar perkataan Billy, entah kenapa dia merasa tidak senang mendengar berita jika Axel akan pergi keluar kota.
***
Dalam perjalanan ke suatu tempat, Axel menelpon seseorang.
"Halo, Bro. Gue mau minta tolong nih. Minta tolong jagain seseorang. Fotonya sudah aku kirim, ya," ucap Axel pada seseorang di seberang telepon.
"Cewek, nih? Tumben, siapa dia yang membuat seorang Axel jadi meminta penjagaan khusus."
"Karyawan, tapi ada debt collector yang suka datangin rumahnya tiap hari. Nanti kamu lihat aja dulu orang-orang DC itu, baru cari informasi tentang mereka."
"Oke. Nanti gue kabari lagi, Bro kalau sudah lihat orang-orangnya."
"Ok, thanks ya." Axel menutup panggilan telepon, kembali fokus menyetir dengan kecepetan sedang untuk menemui seseorang.