Seperti biasa, setiap pulang kerja Axel akan mengantar Alina pulang ke rumah. Mirip seperti cowok yang sedang melakukan pendekatan sama cewek sebelum pacaran. Tetapi Axel merasa itu seperti tanggung jawab atasan pada bawahan, karena Alina bekerja padanya. Meskipun masalah debt collector itu sudah ada sejak Alina belum bekerja dengan Axel.
"Eh, Lin, obrolan kita tadi pagi belum selesai. Saya pengen kamu pindah dari rumah itu. Mungkin sekarang debt collectornya lagi enggak macem-macem, tapi kalau mereka galak lagi gimana? Saya juga enggak bisa nemenin kamu pulang terus, kalau tiba-tiba ada yang penting saya enggak bisa nganter," kata Axel dalam perjalanan pulang mengantar Alina.
"Bos, kan saya sudah bilang, saya pindah kemana pun mereka pasti menemukan saya, apalagi kalau saya pindah deket tempat kerja, bisa-bisa mereka datang ke tempat kerja, gimana kalau mereka bikin onar di gerai?" kata Alina berusaha membuat Axel memahami maksudnya.
"Terus gimana biar mereka enggak datang lagi? Dikasih uang?"
"Bos kan tahu mereka pasti balik lagi mau diberi uang ratusan juta sekali pun."
"Oh iya ya. Kenapa sekarang saya jadi enggak ada ide. Ya sudah nanti saya pikirkan lagi caranya."
"Iya, saya juga masih mikir gimana caranya."
"Saya harus menemukan orang yang menyuruh mereka. Gimana kalau kita tangkap saja mereka?"
"Ditangkap gimana, Bos?" tanya Alina merasa bingung karena belum mengerti ucapan Axel.
"Ya, kita tangkap, bawa mereka buat ditanya-tanya siapa yang menyuruh mereka datang ke rumah kamu, gimana?"
"Kalau gitu harus direncanakan dengan baik, Bos. Salah dikit, Bos yang dihajar sama mereka."
"Enggak mungkin saya sendirian. Kemungkinan besar saya akan minta bantuan. Eh, tapi kamu perhatian juga sama saya."
"Bos ngomong apaan sih? Perhatian gimana maksudnya?"
"Ya itu kamu melarang saya menghadapi debt collector itu sendirian, artinya kan kamu peduli sama saya, yang artinya juga kamu perhatian sama saya."
"Lebih tepatnya saya khawatir. Kalau Bos kenapa-kenapa nasib kerjaan saya gimana? Cari kerja zaman sekarang susah."
"Oh ya, besok kamu saya jemput jam 10 pagi. Saya tunggu di pinggir jalan, pokoknya sebelum saya datang, kamu sudah harus ada di sini. Biar saya enggak perlu telepon kamu sama nungguin kamu lagi. Ok?" kata Axel meminta persetujuan Alina.
"Enggak mau telepon kata Bos? Yang kemarin malam telepon cuma tanya saya baik-baik aja itu maksudnya gimana?"
"Kalau telepon kemarin itu perlu, untuk memastikan kamu enggak diganggu lagi sama debt collector itu. Pokoknya besok saya enggak mau nunggu, ya. Titik!" kata Axel tidak mau dibantah.
"Iya, deh. Saya nurut apa kata Bos aja, daripada saya dipecat kan berabe."
"Nah, pinter juga kamu. Ngomong-ngomong saya laper nih, ada enggak tukang jualan makanan di pinggir jalan?" tanya Axel ketika mendekati jalan masuk ke rumah Alina dan dia juga masih ingin bersama perempuan itu.
"Bos, makan di pinggir jalan juga? Saya enggak nyangka. Kalau tukang nasi goreng aja banyak di depan sana, jalan terus aja, Bos. Nanti Bos pilih sendiri mau makan di tukang nasi goreng yang mana."
"Kamu ikut makan kan?"
"Kalau diajak, saya enggak nolak. Memang sudah lapar dari tadi."
Axel mengemudikan mobilnya sampai menemukan tukang nasi goreng pinggir jalan. Dia memarkirkan mobil di dekat tukang nasi goreng. Axel mengajak Alina turun untuk makan nasi goreng, dia memesan dua porsi nasi goreng untuk dimakan di tempat dan satu nasi goreng untuk dibawa pulang, yang akan dia berikan pada ibunya Alina.
Setelah pesanannya datang, Axel menikmatinya dengan lahap. Entah karena lapar atau karena nasi gorengnya memang enak atau karena makan ditemani Alina.
Selesai makan nasi goreng, Axel mengantarkan Alina sampai ke depan rumah. Saat mereka datang sudah tidak ada debt collector lagi di depan rumah Alina. Axel pamit pulang setelah memberikan nasi goreng untuk ibunya Alina.
***
Pagi hari di rumah Axel, mama Axel mencari anaknya ke kamar.
"Kamu mau pergi sama Alina jam berapa? Mama mau ikut dong," ucap Mala Axel setelah mengetuk pintu dan masuk kamar. Saat itu Axel sedang duduk di ranjang memegang ponselnya.
"Jam 10an sudah jalan ke sana. Mama ngapain mau ikut?"
"Alina memang libur atau kamu yang suruh dia libur? Kalau weekend kan biasanya gerai kamu rame tuh. Mama pengen beli baju baru juga, siapa tahu bisa kembaran sama Alina. Boleh kan Mama ikut?"
"Alina aku kasih jatah libur satu hari terus kalau Mama ikut, nanti aku enggak bisa mesra-mesraan dengan Alina," jawab Axel asal karena dia tidak mau jika ketahuan berbohong bersama Alina.
"Belum nikah, enggak boleh macem-macem lho. Nanti kalau kejadian Alina hamil duluan gimana? Itu dosa lho."
"Mama ini mikirnya negatif aja. Mama kan tahu aku enggak akan aneh-aneh. Mama jangan ikut ya, please."
"Ya sudah, kalau Mama enggak boleh ikut, anter aja dia ke salon yang sama dengan Mama, gimana?"
"Harus ke salon ya? Lama dong nungguin di salon," protes Axel karena menunggu di salon itu membosankan.
"Iya, kan biar keliatan cantik. Masa iya ke kondangan mukanya polosan gini," kata mama Axel menunjuk wajahnya yang tanpa make up.
"Tapi aku enggak mau Alina pake make up tebel gitu, maunya tipis aja biar keliatan natural gitu, Ma."
"Boleh juga, berarti kamu mau anter Alina ke salon bareng Mama. Nanti Mama kabari nama dan alamat salonnya, kamu tunggu nyusul aja."
"Ok. Nanti habis beli baju, Axel nyusul ke salon."
"Kamu kok enggak siap-siap, katanya mau jemput Alina?"
"Nanti aja, Ma. Masih pagi ini. Masih ada kerjaan yang harus diurus."
"Ok. Mama mau telepon supir dulu, mau minta dianter pergi. Kamu nanti hati-hati di jalan, ya."
"Iya, Ma."
Mama Axel meninggalkan kamar anaknya, karena dia juga harus siap-siap untuk pergi keluar hari ini.
Jam 9.30 pekerjaan Axel telah selesai, dia memiliki pakaian di lemari untuk dikenakan. Axel memilih pakaian yang pas. Kaus kerah dengan celana jeans, agar terlihat santai. Tidak lupa dia menyemprot parfum yang banyak pada pakaian dan pergelangan tangan.
Laki-laki berbadan tinggi dan atletis itu menatap dirinya di depan kaca. Penampilannya sudah rapi dan siap menjemput Alina.
Axel keluar dari kamar mencari Mamanya. Mama Axel sedang duduk di depan TV menunggu supir datang.
"Ma, aku pergi dulu, ya," kata Axel menghampiri mamanya lalu mencium tangan mamanya.
"Duh, anak Mama cakep banget. Penampilan kamu lebih rapi dari biasanya, pasti karena mau ketemu Alina kan?"
"Kayaknya sama aja deh dengan hari biasanya, penampilanku kan begini, Ma. Pakai kaus kerah dan celana jeans."
"Kamu lebih wangi dari biasanya," ucap mama Axel menghidu wangi parfum yang dipakai anaknya.
"Itu perasaan Mama aja kali. Aku pamit ya, Ma. Jangan lupa nanti kabari nama salonnya biar bisa nganterin Alina ke sana," ucap Axel sebelum meninggalkan rumah untuk menjemput Alina.