Alina Candra seorang gadis yang bekerja di sebuah gerai kopi kekinian bersama dua orang temannya Billy dan Dion. Sudah enam bulan dia bekerja di sana. Di usianya yang ke-21 Alina harus menelan pil pahit karena ayahnya bangkrut dan meninggalkan utang milyaran. Meskipun rumah dan semua aset ayahnya disita, tetap tidak cukup untuk membayar semua utang itu. Sampai saat ini, walaupun sudah dua tahun berlalu mereka masih dikejar-kejar debt collector.
Carissa, ibunya Alina bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga, karena hanya itu yang bisa dilakukan ibunya untuk bertahan hidup dengan Alina. Mereka tidak memiliki tabungan sepeser pun. Sejak Alina bekerja, dia mulai menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung.
Hari ini Alina juga bekerja seperti biasa. Dia harus datang untuk persiapan sebelum membuka gerai. Bersama dua orang temannya mereka berbagi tugas memberikan gerai, dan mempersiapkan semua bahan untuk menjual kopi pada hari itu. Di toko tempat mereka bekerja hanya berjualan kopi, sedangkan di beberapa gerai lain, ada produk lain seperti roti dan pastry.
Pemilik gerai tempat Alina bekerja adalah Axel Denver. Seorang duda tanpa anak sekaligus pengusaha kopi kekinian yang sedang berkembang. Tidak hanya di kota Jakarta, dia juga membuka gerai di beberapa kota besar lainnya.
Untuk membantu pengelolaan bisnis, dia memiliki rekan kerja yang membantu Axel mengatur semuanya. Awalnya Axel membangun bisnisnya lima tahun lalu dengan membuka satu gerai. Dia meracik kopinya sendiri, hingga menemukan racikan yang pas dan disukai banyak orang, karena itu bisnisnya berkembang pesat.
Sambil menunggu gerai dibuka, Alina melamun di depan mesin espresso. Billy yang melihat Alina begitu, merasa penasaran dengan sikap Alina.
"Lin, kamu kenapa? Ada masalah? Kok masih pagi sudah melamun? Enggak kaya biasanya, selalu ceria, ada apa?" tanya Billy penasaran, dia merasa tidak enak melihat wajah Alina yang ditekuk.
"Biasa, Bil," jawabnya pendek.
"Oh, debt collector lagi? Heran, sama debt collector itu, hidup kalian susah saja masih datang menagih utang. Memangnya dia enggak laporan apa ke bosnya, ya?" kata Billy yang merasa iba pada Alina.
"Yah, begitulah tugas debt collector, mana mereka mau terima kalau kami enggak punya uang buat bayar utang. Mungkin sampai kami mati, enggak akan lunas semua utang itu, selama dua tahun ini, kami belum membayar utang itu sepeser pun."
"Sabar, ya, Lin, mudah-mudahan para debt collector itu insyaf, enggak nagih utang lagi ke kamu dan ibumu."
"Semangat, Lin, pasang senyum manis, sebentar lagi kita buka gerai," kata Dion menyemangati.
Tanpa mereka sadari, Axel datang melalui pintu belakang, dan mencuri dengar obrolan tiga orang karyawannya. Hari ini jadwalnya mengunjungi gerai tempat Alina bekerja.
"Ehem ... sudah siap buka gerai? Mari kita berdoa bersama dulu, ayo kumpul di sini," kata Axel memanggil ketiga karyawannya. Setelah semua mendekat, mereka berkumpul membentuk lingkaran. "Mari kita berdoa untuk kelancaran hari ini, berdoa sesuai agama masing-masing, ya. Berdoa mulai." Semua berdoa dengan khusyu, memanjatkan doa masing-masing.
Selesai berdoa, Alina, dan kedua temannya siap-siap menuju tempat masing-masing. Sedangkan Axel ke lantai 2 untuk memeriksa laporan penjualan di gerai itu. Billy membuka pintu depan toko, memutar papan tulisan buka.
Hari itu gerai kopi ramai seperti biasanya. Di tanggal muda toko semakin ramai, karena memang racikan kopi di toko itu disukai banyak orang. Perpaduan kopi Arabica dan kopi Robusta dengan komposisi dominan kopi Robusta. Bahan lain yang digunakan adalah bahan premium sehingga rasa yang ditawarkan adalah yang terbaik di antara racikan kopi sejenis.
Siang hari mereka akan bergantian untuk makan siang dan salat. Makan siang biasanya disediakan, karena mereka sibuk melayani pelanggan tidak akan sempat untuk membeli makan siang di luar.
Aturan lain yang berlaku adalah untuk karyawan perempuan pulang di jam 19.00 malam, agar mereka tidak pulang terlalu larut. Jadi tugas membersihkan gerai adalah tugas karyawan laki-laki.
Alina pulang tepat jam 19.00, dia pamit dengan dua orang temannya. Sedangkan Axel sudah pergi sejak siang. Alina pulang dengan angkutan umum. Satu jam perjalanan harus dia tempuh sampai akhirnya tiba di rumah.
Tiba di depan rumah, Alina melihat dari luar ibunya sedang duduk menangis, menutup telinga. Dua orang bertubuh tinggi besar sedang berteriak menagih hutang.
Alina tidak tahan melihat perlakuan dua orang itu pada ibunya. Dia berlari masuk rumah, langsung memeluk ibunya.
"Pergi dari rumah ini, atau saya panggilkan polisi!" teriak Alina pada dua debt collector itu.
"Silakan saja, kami tidak takut, kan kamu dan ibumu yang punya utang," kata salah satu dari debt collector itu menggeretak.
"Saya bilang, pergi dari rumah ini," teriak Alina lagi, dia tidak tahu lagi harus berkata apa untuk mengusir dua orang debt collector itu.
"Kali ini, kami tidak akan pergi sebelum kalian membayar utang malam ini."
"Kalian tidak akan mendapatkan sepeser pun malam ini!"
"Pilih nyawamu atau ibumu yang akan kami habisi malam ini!"
"Beri saya waktu satu minggu, saya akan cicil utang itu."
"Satu minggu itu terlalu lama. Kalau dalam waktu tiga hari, tidak membayar utang, saya akan bawa anak gadis ini sebagai bayarannya. Kamu masih muda, pasti laku jika dijual pada lelaki hidung belang."
"Ok, tiga hari lagi saya bayar utang. Datang malam hari jam saya pulang kerja," kata Alina dengan percaya diri tinggi. Sebenarnya dia belum tahu akan mendapatkan uang dari mana, dia harus berpikir keras untuk mendapatkan uang berapa pun dengan cara yang baik.
Dua orang debt collector itu pergi meninggalkan Alina dan ibunya yang menangis. Alina memeluk ibunya erat sekali. Dia mencoba terlihat berani di hadapan kedua orang tadi, padahal dalam dirinya terselip rasa takut.
Kini dia harus memutar otak untuk mendapatkan uang. Alina teringat pada sahabatnya Callista, dia tidak menghubungi sahabatnya beberapa hari ini. Alina dan Callista berteman sejak SMA, bahkan kuliah pun mereka masuk di kampus yang sama. Hanya saja Alina tidak bisa menyelesaikan kuliahnya karena tidak ada biaya sejak ayahnya bangkrut, lalu meninggal dan mewarisi hutang pada istri dan anaknya.
Callista kini bekerja di perusahaan ayahnya, dia pikir mungkin saja Callista bisa meminjamkan uang untuk Alina gunakan mencicil hutang. Alina mencari ponselnya di tas, setelah mengantar ibunya ke kamar untuk beristirahat. Alina keluar rumah agar ibunya tidak mendengar obrolannya dengan Callista.
Alina menelepon Callista, pada jam itu Callista biasanya sudah tiba di rumah. Alina menunggu hingga panggilannya diterima oleh Callista.
"Halo, Callista, kamu lagi apa? Aku mau curhat, boleh enggak?" kata Alina langsung berbicara ketika Callista menerima panggilan darinya.
"Hai, Lin, aku lagi di kamar, baru aja mau telepon kamu, ternyata kita sehati ya. Aku juga mau cerita, tapi kayaknya kamu lebih penting ceritanya. Cerita sama aku ada apa?" ucap Callista karena senang menerima telepon dari sahabatnya.
"Kamu tahu kan kalau rumah aku sering didatangi debt collector? Dan kami enggak pernah bisa bayar utang itu, biasanya aku cuek kali ini ancamannya mengerikan, aku takut juga."
"Mereka mengancam apa?" tanya Callista penasaran.
"Mereka mau bawa aku, terus mau ngejual aku ke lelaki hidung belang, kamu bisa bantu aku enggak?" tanya Alina memelas.
"Apa? Mereka bilang begitu? Jahat sekali, terus aku bisa bantu apa?"
"Aku minta bantu pinjem uang Lis, kamu ada enggak? Berapa pun aku butuh banget."
Seketika muncul ide gila dalam pikiran Callista. "Aku mau bantuin kamu, tapi enggak banyak, tapi kamu juga mau enggak bantuin aku?"
"Bantu apa, Lis? Aku akan bantu sebisa aku."
"Besok aku datang ke gerai kopi tempat kamu kerja jam 3 sore, tapi kamu harus udah siap, jadi kita langsung jalan. Kamu izin aja sama temen kerja yang lain, ada keperluan gitu."
"Enggak akan di-spill sekarang nih?" tanya Alina penasaran.
"Besok aja aku kasih tahu. Jangan lupa jam 3 sore, eh udah dulu ya, Lin, aku dicariin Mama, bye." Alina mengakhiri panggilan telepon. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu Callista esok hari, rasanya seperti menunggu seseorang mengungkapkan perasaannya pada kita.