Sebuah Penawaran

1727 Words
"Seandainya ada pangeran berkuda datang kemari, aku akan maksa ikut dengannya," ucap Alina menunggu pelanggan kopi pagi ini. "Jangan kebanyakan ngayal, banyakin kerja, hari gini mana ada pangeran berkuda, kerja yang betul itu ada pelanggan yang datang," ucap Billy menggagalkan lamunan Alina. "Selamat datang," ucap Alina pada pelanggan yang baru saja masuk. "Mau pesan apa, Kak?" "Kopi s**u gula aren satu, ukuran medium, Kak. Oh ya, esnya sedikit aja." "Ada lagi yang mau dipesan?" "Sudah, Kak. Itu saja," "Totalnya 18.000. Pembayarannya mau pakai apa, Kak?" "Tunai saja," kata pelanggan menyerahkan uang pas. "Terima kasih, silakan ditunggu ya, Kak." Billy meracik kopi pesanan pelanggaran, mereka sudah memiliki takaran sendiri dalam membuat setiap Produk kopi yang ada. Setelah selesai, Billy menyerahkan pada pelanggan. "Bil, hari ini bos datang enggak?" tanya Alina pada Billy setelah pelanggan itu pergi meninggalkan gerai. "Enggak kayaknya, kenapa emang? Kamu mau pinjem uang sama bos?" Billy langsung bertanya to the point. "Mana berani aku pinjem uang sama bos. Nanti sore aku ada janji sama Callista jam 3 sore, dia jemput ke sini, aku izin sampai jam setengah 3 ya, kan mau ganti baju dulu," kata Alina memelas. Di antara ketiga karyawan di gerai, Billy adalah orang kepercayaan Axel yang bertanggung jawab pada gerai. Jika ada temannya yang minta izin, maka mereka biasanya meminta izin pada Billy. "Hmm ... boleh, sih, tapi dari sekarang sampai jam setengah 3 kamu yang bikin semua orderan, jadi nanti pas kamu pergi, aku yang kerjain semuanya." "Terus Dion ngapain?" "Ya kamu sama dia yang kerja, aku istirahat, hemat tenaga, biar nanti malam enggak capek bersih-bersih." "Oh, bener juga sih. Ya sudah istirahat aja sana. Biar aku yang di sini." "Ok, selamat bertugas, bos mau istirahat dulu," kata Billy meninggalkan kedua temannya, dia masuk ke ruang ganti pakaian untuk beristirahat. "Dasar, lagaknya kayak bos, aja," kata Alina sambil menggelengkan kepala. "Yok, Dion kita bertugas, semoga hari ini ramai orderan, biar bulan depan dapet bonus dari bos," ucap Alina penuh semangat. Benar saja, hari itu banyak orderan kopi yang masuk, sampai Alina dan Dion merasa kewalahan menyiapkan semua pesanan. Tetapi membuat Alina melupakan Calista dan rencananya sejenak. Pada jam 2 siang, gerai mulai sepi, hanya satu dua orang saja yang datang memesan kopi, Alina masih sigap melayani pelanggan yang datang. "Dion, aku mau bangunin Billy dulu, ya. Sudah mau jam setengah 3 ini," kata Alina pada Dion yang sedang mengelap meja. Lalu dia berjalan menuju ruang ganti untuk membangunkan Billy dan berganti pakaian. "Bil, kamu enggak salat? Udah mau jam setengah tiga, eh, kamu juga belum makan tuh." "Eh, iya," ucap Billy, dia mengusap wajah. Lalu duduk sebentar. "Kok masih di sini? Aku mau ganti baju nih. Kamu habis begadang tadi malam? Tidurnya pulas banget?" tanya Alina penasaran. "Iya, biasalah, ada yang dikerjakan." "Pasti bantuin emak lemburan bikin pesanan kue, ya?" "Yah, apalagi, ya udah aku mau wudhu, kamu ganti baju aja, nanti keburu Callista dateng." "Ok. Makasih, ya, sudah boleh izin. Aku kan jarang-jarang minta izin." "Iya, udah jangan cerewet, sana cepat ganti baju." Billy meninggalkan Alina untuk salat Zuhur. Alina mengganti pakaian. Mereka bekerja menggunakan seragam yang sama. Jadi setiap pulang biasanya akan berganti pakaian. Tepat jam 3 sore, mobil Callista memasuki area parkiran gerai kopi Axel. Alina sumringah melihat sahabatnya datang. Dia pamit pada dua temannya, lalu meninggalkan gerai. "Callis, aku kangen," ucap Alina menghambur pada pelukan sahabatnya. "Kita mau kemana nih? Tapi bener, ya, kamu mau ngasih aku pinjaman uang." "Sama aku juga kangen, yuk masuk mobil, kamu ikut saja, nanti aku jelasin semuanya." Callista mengajak Alina masuk ke mobil. Setelah semua duduk dan memasang seat belt, Callista mengemudikan mobilnya menuju sebuah pusat perbelanjaan. "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini ya, Lis. Sampai enggak pernah ngabarin aku." "Iya nih. Untungnya hari ini agak santai. Biasalah kemarin-kemarin banyak pesanan masuk, jadi harus segera diurus." "Enaknya kamu habis kuliah, bisa langsung kerja di perusahaan Papamu, beda dengan aku yang kuliah aja enggak selesai," ucap Alina sedih. "Udah jangan sedih. Kamu tetap harus bersyukur, masih bisa kerja di gerai kopi. Gajinya juga lumayan, kan. Jadi bisa nabung." "Iya, sih. Tapi aku capek dikejar-kejar debt collector terus-terusan. Kapan mereka berhenti menagih utang, aku sama ibuku enggak punya uang buat membayar semuanya. Mungkin sampai aku mati utang itu enggak akan lunas." "Sabar, ya, Lin. Mudah-mudahan ada jalan untuk melunasi semua utang itu. Kamu jangan sedih kan ada aku, sekarang kita jalan-jalan dulu biar kamu enggak sedih." "Iya, sih tapi tetap aja sedih, apalagi kalau enggak ada uang minggu ini. Mereka mau bawa aku, makin stress kan aku jadinya." "Kamu yang kuat, ya, yakinlah setiap masalah pasti ada solusinya." "Makasih ya, Lis, buat semuanya, kalau enggak ada kamu, aku enggak tahu lagi deh, bisa jadi kemarin sudah bunuh diri, saking capeknya ketemu debt collector itu." Tiga puluh menit kemudian, Callista membelokkan mobil pada sebuah pusat perbelanjaan, dia mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Setelah mobil diparkirkan dengan baik, Callista mengajak Alina untuk keluar dari mobil. Callista menggandeng lengan Alina mengajaknya masuk pusat perbelanjaan. Di dalam dia mencari toko pakaian langganannya. Lalu mengajak Alina masuk. Callista memilih beberapa pakaian di sana. Alina hanya mengikuti Callista, dia memang biasa menemani sahabatnya berbelanja. Tidak jarang juga Callista membelikan Alina pakaian. Alina hari itu tidak berminat untuk melihat-lihat pakaian, dia hanya berdiri dan mengikuti Callista yang sibuk memilih pakaian. Callista mengajak Alina ke ruang ganti, lalu dia mendorong gadis itu masuk ke ruang ganti, dan memberikan beberapa pakaian. "Kamu coba satu persatu, kalau sudah berganti satu pakaian, keluar dulu, biar aku lihat mana yang pantas buat kamu, ya." Alina masih bingung melihat dengan permintaan Calista, tetapi dia tidak kuasa menolak permintaan sahabatnya. Alina mencoba salah satu dress biru muda yang panjangnya selutut dengan motif bunga. Lalu dia keluar dari rumah ganti. "Hmm ... coba ganti lagi, Lin," kata Callista, Alina masuk ke ruang ganti. Dia tidak memiliki ide apapun, hanya patuh pada semua perkataan Callista. Alina mengambil dress hitam polos selutut, lengan pendek, kemudian dia memakai blazer putih, setelah memastikan penampilannya rapi, dia keluar dari ruang ganti. "Nah, yang ini bagus, udah kamu pakai itu saja. Mana pakaian yang tadi, mau aku kembalikan. Terus pakaianmu masukin di tas ini." Lagi-lagi Alina hanya bisa menurut apa yang dikatakan Callista. Dia melakukan semua sesuai perintah. Callista mengambil semua dress yang diberikan Alina, dia mengembalikan semua ke etalase. Setelah itu Calista membayar pakaian yang sekarang dikenakan Alina. Callista mengajak Alina menuju salon setelah menyelesaikan p********n. "Kamu mau minta tolong apa sih, Lis? Aku sampai disuruh pake baju kaya gini?" "Nanti aku kasih tahu. Ayo ikut aja." Callista masih menggandeng lengan Alina masuk ke sebuah salon. Sampai di dalam dia meminta Alina duduk di sebuah kursi. "Mbak, tolong bikin sahabat saya ini jadi cantik, sampai saya pangling ngeliatnya," ucap Callista pada orang salon. "Lis, aku mau diapain? Kamu enggak akan ngejual aku ke Om-Om genit, kan?" tanya Alina penasaran. Dia sampai berpikiran negatif pada sahabatnya. "Enggak kok, tenang aja, sekarang kamu duduk manis aja di sini." Callista menunggu Alina didandani sambil membaca beberapa majalah. Sesekali dia melihat jam yang melingkar di lengannya. Setelah menunggu satu jam, akhirnya Alina selesai didandani. Callista takjub melihat sahabatnya yang kini berubah cantik seperti seorang bidadari. "Wow, cantik banget, aku sampai enggak ngenalin kamu, Lin. Makasih lho, Mbak udah bikin sahabat saya jadi cantik banget," puji Alina pada orang salon. "Tunggu di sini dulu, Lin, aku mau bayar, kita harus cepat soalnya aku ada janji jam setengah 5 sore ini." Callista berjalan menuju kasir dan membayar di sana. Dia kembali menghampiri sahabatnya, mengajak Alina menuju suatu tempat pertemuan. "Please, Lis, kasih tahu aku, kita mau kemana?" tanya Alina karena rasa penasarannya belum terjawab. "Udah tenang aja, aku minta tolong sama kamu sebentar lagi." Callista mengajak Alina masuk ke sebuah restoran, seorang pelayan mengantarkan mereka ke sebuah meja yang telah dipesan oleh seseorang. Callista meminta Alina duduk di sana. Callista mengambil foto Alina dari belakang. Kemudian dia kirimkan pada seseorang, untuk memberitahukan kalau dia sudah datang. "Kamu tunggu di sini, nanti seorang pria yang akan datang ke sini, dia yang memesan meja ini." "Kamu enggak akan ninggalin aku kan? Lis, kamu enggak berniat menjual aku kan?" "Enggak, tenang aja, kamu duduk aja di sini, aku masih di sini, kok. Dia enggak akan ngapa-ngapain kamu. Aku Nungguin kamu di sini, tapi duduknya agak jauh, biar enggak ketahuan," kata Callista menenangkan Alina. Calista berjalan menjauhi Alina. Dia mencari meja yang letaknya agak jauh tetapi masih bisa mengawasi Alina. Calista fokus melihat ke arah pintu masuk. Jika dia melihat seseorang yang dia kenali akan bertemu dengan Alina. Tak lama seorang pria datang berjalan menuju meja tempat Alina sudah menunggu. Callista menutup wajahnya dengan buku menu agar tidak ketahuan jika dia ada di sana. Pria itu duduk di kursi depan Alina. Alina terkejut melihat pria yang ada di hadapannya. "Bos, ngapain ke sini?" tanya Alina sekenanya. Lama Axel mengamati wajah perempuan yang ada di hadapannya. Sampai akhirnya dia mengenali perempuan itu adalah karyawan di salah satu gerainya. "Alina?" tanya Axel memastikan. "Kamu ngapain di sini? Aku ke sini mau ketemu Callista, meja ini aku yang pesan, kenapa kamu duduk di sini?" Alina menjadi bingung mendengar perkataan bosnya. Dia mengeluarkan ponsel dan menelpon sahabatnya, tetapi tidak kunjung diangkat meskipun beberapa kali mencoba menelpon. "Jadi gini, Bos. Temen saya Callista minta saya duduk di sini, katanya nanti ada pria yang datang. Pria itu Bos?" ucap Alina menjelaskan sekaligus memastikan. "Iya. Saya disuruh Mama saya untuk ketemu Callista. Sudah banyak perempuan yang Mama sodorkan untuk saya, tapi enggak ada yang cocok. Sebenarnya saya sudah malas untuk berurusan dengan perjodohan seperti ini, tapi mau gimana lagi permintaan orang tua. Paling ujungnya akan saya tolak," kata Axel menjelaskan pada Alina. "Oh." "Kamu juga kenapa mau aja disuruh temen kamu buat ketemu saya di sini? Dia bayar kamu berapa? Emang kamu lagi butuh uang?" tanya Axel bertubi-tubi. Alina tidak menjawab, dia hanya menunduk, wajahnya berubah sedih. "Kamu kenapa enggak jawab pertanyaan saya? Kamu bener dibayar sama temen kamu? Berapa?" Alina terpaksa mengaku, karena pria yang di hadapannya adalah bosnya sedangkan dia tidak bisa menghindar. "Iya, Bos saya dibayar buat gantiin temen saya," jawab Alina singkat. "Berapa? Kamu benar-benar butuh uang? Kalau iya sebut saja berapa, saya ada penawaran menarik buat kamu." Axel seketika mendapat sebuah ide. Mata Alina membulat mendengar ucapan bosnya, dia tidak menyangka bosnya mengajak Alina bekerja sama, tapi dia masih belum bisa menebak arah dari pembicaraan bosnya. "Jadi pacar sandiwara saya, nanti kamu saya bayar."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD