Axel mengantar Alina sampai depan rumah. Alina yang merasa malu karena hanya tinggal di kontrakan sepetak dengan ibunya—Carissa, meminta Axel segera pulang sebelum ibunya Alina mengetahui keberadaan dia.
"Bos, saya sudah sampai dengan selamat, terima kasih sudah diantar. Bos pulang saja. Enggak perlu saya antar lagi ke depan kan?"
"Oh, ok. Saya pulang dulu," ucap Axel meninggalkan Alina kembali ke mobilnya yang diparkir di pinggir jalan raya.
Alina masuk rumah setelah Axel menghilang dari pandangannya. Saat Alina masuk rumah, Carissa sedang melipat pakaian, dan tidak mengetahui jika Alina diantar oleh Axel. Melihat penampilan anaknya yang tidak biasa mata Carissa membulat.
"Kamu habis dari mana? Kenapa pakai pakaian seperti ini? Jangan bilang kamu habis dari tempat yang tidak baik?" Carissa tidak ingin menuruti pikiran buruknya setelah melihat anaknya.
"Enggak, Bu. Alin habis kerja diajak Callis jalan terus dibelikan baju ini, berbagi rezeki katanya," kata Alina agar Carissa tidak berpikiran negatif padanya.
"Bener? Jangan sampai demi mendapat uang kamu cari dengan jalan haram, Ibu enggak mau. Gimana kalau kita pindah saja, Nak?"
"Kita pindah juga enggak menyelesaikan masalah, Bu. Pasti mereka bisa menemukan kita. Sudah kita pasrah saja. Semoga besok ada rezeki buat mencicil utang ya, Bu," kata Alina menenangkan Carissa. "Alin mau mandi dulu, Bu."
Alina beranjak ke kamar untuk mengambil pakaian ganti, berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi dia kembali ke kamar duduk di ranjang memeriksa ponselnya. Lalu menelpon Callista, untuk membahas pertemuan tadi sore.
"Callis, kamu tega ya sama aku, enggak ngasih tahu kalo aku harus gantiin kamu ketemu Bosku sendiri," protes Alina saat tahu panggilannya dijawab oleh Callista.
"Ya, maaf. Kalau aku kasih tahu pasti kamu enggak mau, jadi gimana hasil pertemuannya?" tanya Callista penasaran.
"Tidak semudah itu meminta maaf. Kamu harus ganti rugi," ucap Alina kesal.
"Iya, aku siap ganti rugi, nanti aku transfer uangnya. Oh ya, jadi gimana rasanya ketemu Bos sendiri?" tanya Callista terus memancing jawaban Alina.
"Kamu kenapa enggak mau sama Bosku? Kan dia anak orang kaya, satu level dengan kamu?" Alina bertanya balik.
"Enggak suka aku sama dia, terlalu kaku orangnya, enggak asyik. Mending sama yang lain. Mana bisa aku jalan sama orang sekaku Bos kamu."
"Apa iya?"
"Lho memangnya kamu enggak ngerasain begitu?" tanya Callista karena merasakan sikap berbeda pada Axel.
"Enggak tuh, mungkin karena sering ketemu di gerai juga kayaknya. Tapi kan kamu bisa nyoba dulu, Lie. Jangan langsung ditolak begitu, atau mau aku bantu comblangin?" ucap Alina menawarkan bantuan.
"Enggak deh. Lagi aku udah punya cowok yang aku taksir, yang ini orangnya baik, jauh deh dibandingkan sama Bos kamu."
"Siapa tuh, kamu kok belum cerita?" tanya Callista penasaran, karena Alina belum cerita apa-apa.
"Nantilah, aku ceritain kalau aku sudah berhasil dekat dengan orangnya. Jadi aku transfer berapa nih?"
"Kasih cash aja, Lis. Besok ke rumah, ya."
"Aku antar aja ke tempat kerja kamu sebelum kamu pulang, ya. Tapi aku cuma punya 10 juta, enggak apa-apa?"
"Ok, enggak masalah. Makasih, ya."
"Tapi, Lin, kemarin kan aku lihat kamu diajak pergi sama Pak Bos, kamu diajak kemana itu?"
"Ke rumah Bosku dong, Lis. Jadi dia minta aku jadi pacarnya. Tapi cuma pacar bohongan aja kok. Aku dikenalin ke Ibunya, malu banget rasanya, Lis."
"Ciyeee ada yang dibawa ke rumah Bos, nih. Terus gimana kenalan sama Tante Gina? Baik kan orangnya?"
"Iya baik banget. Tapi kan bikin aku takut banget, gimana kalau Tante Gina tahu kalau aku sama Bos cuma pura-pura pacaran, bisa berabe."
"Iya juga sih. Kamu tinggal tanya aja sama Bos, sampai kapan sandiwara itu berlaku. Biar enggak jadi pikiranmu juga."
"Iya juga ya, nanti deh aku bilang ke Bos, takutnya malah jadi keterusan, aku bingung nanti mau jawab gimana, kemarin aja pas diajak ke rumah Bos ditanya kapan nikah, pusing deh aku, Lis."
"Serius? Tante Gina tanya begitu? Berarti Tante Gina nerima kamu apa adanya dong, Lin. Ini kesempatan emas, gimana kalau kamu manfaatin aja, nikah beneran sama Bosmu."
"Ngaco kamu, ya. Mana mungkin karyawan miskin kaya aku nikah sama Bosnya yang kaya raya, dalam mimpi aja enggak mungkin."
"Ya, siapa tahu kan memang jodoh. Lumayan lho Lin, jadi istri Bos, kamu enggak usah kerja lagi, tinggal shopping aja sama aku," ucap Callista meyakinkan Alina.
"Aku enggak mau ngerasain sakit karena terlalu berharap. Saat ini bisa bebas dari utang aja udah bikin aku bahagia. Entah kapan utang ini lunas. Kayaknya mau bayar berapa pun enggak bakalan lunas deh."
"Jangan sedih, harapan itu masih ada. Semoga suatu hari utang itu lunas semua dengan cara yang baik, aamiin," doa Callista.
"Aamiin, semoga, ya. Sering banget aku tuh putus harapan, tapi kamu selalu ngingetin, makasih banget ya kamu masih mau jadi temenku, dengerin ceritaku yang enggak pernah jauh dari masalah utang, kamu memang teman terbaik."
"Iya, aku enggak bisa bantu dengan nominal yang banyak, makanya aku kasih bantuan yang lain, dengerin cerita kamu, bantu doa dan selalu mendukung setiap keputusan kamu. Jadi gimana dengan Bos Axel? Mau diseriusin apa gimana?" tanya Callista lagi, sepertinya dia bahagia bisa menggoda Alina sekaligus menghibur sahabatnya yang sedang ada masalah.
"Aku enggak mau berharap, Lis," kata Alina skeptis. Dia memang tidak berharap kesepakatannya dengan Axel bisa berlanjut terus. Bagi Alina yang penting dia bisa mencicil utang almarhum ayahnya. Alina merasa sangat tidak pantas bisa menjalin hubungan yang serius dengan Axel.
"Ya sudah. Lin, udah dulu, ya. Aku mau tidur ini udah ngantuk, kamu istirahat, ya. Jangan banyak pikiran."
"Makasih ya, Lis sudah banyak bantu. Met istirahat deh, ya. Bye." Alina mengakhiri panggilan telepon dari Callista.
Dia juga harus istirahat, karena tubuhnya merasakan lelah setelah seharian bekerja di gerai kopi, pergi dengan Callista, dan makan malam di rumah Axel.
Alina memejamkan matanya, tak lama kemudian dia sudah masuk ke alam mimpi. Dia bermimpi bertemu dengan Axel, mereka sedang berjalan bersama di pinggir pantai, menikmati keindahan matahari sore hingga terbenam. Malam harinya Alina diajak makan malam romantis, candle light dinner, pengalaman yang belum pernah dirasakan oleh Alina.
Selesai makan malam, Axel beranjak mendekat pada Alina. Lalu dia berlutut di depan Alina seraya berkata, "Lin, menikahlah denganku," ucap Axel sambil memasangkan cincin di jari manis tangan kiri Alina. Alina tersipu melihat perlakuan Axel padanya.
Suara Axel masih terngiang-ngiang memanggil nama Alina hingga suara itu berubah menjadi suara ibunya yang sedang membangunkan Alina untuk salat Subuh.
"Ya Tuhan, kenapa Enggak berikan mimpi yang sangat indah dengan Bos," batin Alina.
Hal ini membuat perasaannya pada Axel mulai berubah jadi perasaan yang lain, mungkin saja jadi perasaan simpati atau suka? Alina belum menemukan jawabannya.