Sudah Siap?

1494 Words
“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu. Kebelet,” kilah Brama sambil masuk ke toilet. Nawa menatap punggung Brama sampai hilang dari pandangan. “Kalau sampai dia tadi lihat kalau tompel ini hanya tempelan, mati aku,” gumam Brama sambil membenahi lagi penunjang penampilan buruk rupanya itu. Gigi depan beberapa menghitam, warna mata hitam, dan tompel telah terpasang. Tinggal membubuhkan kacamata. Sempurna. Brama pun keluar kamar mandi dan sudah tidak mendapati Nawa di sana. “Syukurlah. Sepertinya sebentar lagi jam kerja dimulai lagi.” Nawa pergi dan tidak jadi menunggu Brama karena rekannya memanggil untuk melihat hasil pengambilan video tadi. “Aku kok kurang sreg sama hasilnya ya? Kita ubah konsep aja gimana? Jadi gini. Ada dua adegan, satu pasutri dari kalangan orang kaya, satunya dari pasutri orang biasa. Bagaimana cara mereka mencuci itu jelas beda. Orang kaya pakai mesin cuci dan yang pasti baju mereka hanya kotor kena keringat. Kalau orang biasa ada yang pakai mesin cuci, tapi kebanyakan manual dengan tangan dan bajunya tidak hanya kotor keringat, tapi juga debu, lumpur, oli juga mungkin. Kita tonjolkan kelebihan produk kita yang baru ini dengan menunjukkan kalau detergen kita bisa untuk kondisi baju sekotor apa pun,” usul Nawa. “Budget, Wa, budget,” sahut yang lain. “Kita gunakan yang ada di sekitar kantor saja. Ruangan divisi ini kita sulap sedikit menjadi di semacam rumah. Toh, kita hanya ambil gambar dari beberapa sudut saja. Lalu kamar mandi pakai punya kantor. Kalau yang adegan di desa, nanti kita coba cari lokasi di lain tempat. Kosanku aja juga bisa. Kita beri tahu juga ke masyarakat kalau detergen kita itu ramah lingkungan, aman buat mencuci di sungai juga. Gimana?” “Lalu yang pemeran cowok?” “Salah satu dari tim kita yang cowok juga bisa. Atau cari dari divisi lain. Gampang.” “Oke kita coba.” “Gaji triple, Wa. Selain design produk, kamu juga jadi tim kreatif dan model iklan." Nawa hanya tertawa. Ternyata, bekerja membuatnya sedikit lupa dengan masalah yang tengah menimpa. Brama yang mendengarkan dari luar, merekam video percakapan mereka secara diam-diam. Pria itu tersenyum tipis. “Selain bibit unggul untuk pendamping hidup, kamu juga bibit unggul untuk memajukan perusahaan. Kamu bisa mencari solusi di saat genting dan pendanaan macet. Good job, Nawa.” Pria itu lalu menuju ruangannya untuk kembali bekerja. Sepulang kerja, Brama nekat menemui Nawa. “Tadi kamu nyari aku untuk apa, Wa?” “Oh, tadi mau bilang makasih. Tapi dipanggil sama anak-anak. Makasih udah bayarin makan siangku.” “Oh, hanya itu. Aku kira apa. Iya, sama-sama.” “Lalu aku tadi lihat Mas Brama pegangi itunya. Kenapa?” Nawa menunjuk tompel Brama. “Nggak kenapa-napa. Tadi gatal, makanya aku pegangi. Kamu nggak lihat hal aneh, kan?” “Aneh apa? Enggak ada.” “Soalnya tadi kamu teriak ‘kamu’! Aku kira kamu lihat hal horor dalam diriku mungkin.” “Oh, itu tadi aku spontan berteriak saat mau manggil Mas Brama.” Brama menghela napas lega. Penyamarannya masih aman. ** Proses pembuatan video untuk bahan iklan sudah rampung setelah beberapa hari tim marketing bekerja keras. Sekarang tinggal berkoordinasi dengan stasiun televisi, media cetak, dan media massa untuk mulai mengenalkan produk mereka. Arbi hanya iya-iya saja saat karyawannya sendiri yang menjadi bintang iklan. Ia hanya berpikir yang penting jadi. Toh, hasilnya tidak kalah bagus dari iklan yang memakai artis terkenal. Ia juga tidak perlu merogoh kocek untuk menyewa artis. “Kalau sampai produk baru kita ini gagal, saya nggak mau tahu bagaimana caranya tim marketing dan tim kreatif membuat ganti sampai diterima masyarakat,” ujar Arbi saat rapat. “Instruksi, Pak. Mereka sudah mengajukan permintaan dana untuk iklan dan mengontrak artis untuk menjadi BA. Tapi Bapak tidak pernah menandatanganinya, malah menekan mereka agar iklan cepat selesai. Lalu mereka sudah bekerja keras membuat iklan tanpa artis. Dan sekarang Bapak akan menyalahkan mereka kalau produk gagal? Siapa yang harus disalahkan sebenarnya?” tanya Brama berani. Ia berdiri. “Siapa kamu berani sama saya?” “Setidaknya hargai kerja keras mereka. Saya karyawan baru, tapi saya paham masalah ini. Dan saya sedang tidak berani sama Bapak, hanya mengungkapkan kebenaran dan keberatan.” Rekannya, menarik kemeja Brama agar duduk dan diam, tidak membuat masalah. Namun, Brama tidak gentar. “Siapa yang sudah menerima dia kerja di sini? Tomi, kamu selaku HRD. Apa yang kamu pertimbangkan saat menerimanya?” “Saya melihat pengalaman kerja dia bagus, Pak. Untuk itulah, saya terima dia.” Tomi menjawab. “Percuma pengalaman bagus kalau adab nol.” “Oh, adab saya nol? Lalu apa bedanya sama Bapak sebagai pemimpin? Bapak memperlakukan pekerja tidak adil, semaunya, dan berniat menyalahkan mereka saat produk gagal. Apa itu adab yang baik? Pak, ngaca.” “Kur*ng ajar! Kamu saya pecat!” teriak Arbi. “Silakan. Dan akan saya bocorkan betapa bobroknya perusahaan ini pada pihak luar, biar mereka tidak membeli produk Sunmond Care, agar perusahaan bangkrut sekalian!” “Keluar kamu!” Semua yang ada di sana hanya diam. Nawa menatap Brama, menggeleng. Brama hanya menyunggingkan bibir. “Keluar! Kamu saya pecat!” Arbi kembal berteriak. “Saya setuju dengan Brama. Kalau produk ini nanti gagal diterima masyarakat, harusnya tidak menyalahkan tim marketing. Begini saja, selagi iklan belum tayang dan produk belum benar-benar beredar, apa Pak Arbi mau mengeluarkan dana untuk menyewa artis sebagai BA? Kita buat iklan lagi. Agar anak-anak marketing tidak disalahkan kalau produk gagal.” Tomi ikut berdiri. Ia merasa harus berani sekarang. “Saya juga setuju. Tidak seharusnya melempar kesalahan pada kami. Karena kami juga minim budget bahkan nol budget. Makanya kami menjadikan tim kami sebagai bintang iklannya. Rasanya tidak adil jika Bapak menyalahkan kami.” Yang lain ikut berdiri. Lalu, disusul yang lain bahkan dari divisi lain. Nawa dan Restu sebagai bintang iklan berdiri paling akhir. “Sebagai bintang iklan, saya terharu dengan perjuangan teman-teman membela saya dan tim marketing. Jadi, saya juga tidak terima kalau sampai disalahkan. Saya memang tidak cantik, tidak menarik, tapi saya menerima tawaran itu juga demi perusahaan.” Nawa menatap orang-orang yang telah berdiri membelanya. Brak! Arbi menggebrak meja. “Awas kalian semua. Bisa saya pecat!” Ia lalu pergi dari ruang rapat karena sudah merasa tersudut. “Terima kasih.” Nawa menatap mereka bergantian. “Sesekali bos songong itu dilawan. Biar nggak seenaknya terus,” sahut yang lain. Nawa menatap Brama, orang pertama yang berani menentang sang bos. Brama hanya mengangguk, lalu tersenyum. “Lalu bagaimana kalau kita semua dipecat?” tanya Nawa. “Nggak mungkin. Mana berani memecat semua staf. Kita mogok kerja sehari saja dia pasti bingung. Apalagi kalau semua dipecat serentak, kelar perusahaan,” sahut Brama santai. Satu sentilan sudah Brama berikan pada Arbi. Brama ingin melihat sejauh mana lagi Arbi bertindak. ** Arbi akhirnya tetap setuju dengan iklan yang sudah telanjur dibuat. Brama meminta hitam di atas putih untuk memastikan keamanan tim marketing dari lemparan kesalahan. “Siapa pria itu sebenarnya? Berani sekali.” Arbi selalu bertanya-tanya. Ia menyuruh satu anak buahnya menyelidiki latar belakang Brama dan mereka tidak menemukan apa-apa karena permainan Brama cukup lihai dan bersih. Sampai akhirnya, iklan dan produk resmi dipublikasikan. “Kira-kira wajahku sama Mas Restu menjual nggak, ya?” tanya Nawa khawatir. “Bismillah aja semoga laris. Sebagai brand ambasador baru detergen Nuklir, harus yakin. Berhasilnya penjualan bukan hanya dari iklan, Wa, tapi juga bagaimana bekerja sama dengan sales. Udah, kamu tenang saja,” sahut Sari. New Clear, nama dari produk detergen baru mereka yang diplesetkan menjadi Nuklir. Sesuai namanya, mereka berharap produk itu meledak di pasaran. Mereka juga berharap produk baru ini diterima masyarakat di tengah maraknya boikot produk dari perusahaan lain karena membela salah satu negara yang memerangi negara muslim. Boikot itulah yang membuat perusahaan Sunmond mempunyai jalan lebar untuk lebih besar lagi. Saat mengurusi launching produk ini, membuat pikiran Nawa tidak lagi stres memikirkan malam kelam yang pernah terjadi. Pikirannya terpusat pada pekerjaan. Benar kata sang bapak. Kalau hidup dan masalah itu hanya perlu dijalani, tidak harus dipikirkan. Nawa dan Brama pun makin dekat. Brama memberi perhatian-perhatian kecil pada Nawa yang tidak disadari wanita itu. Pun Brama sudah mengumpulkan banyak bukti kecurangan yang dilakukan beberapa oknum petinggi perusahaan yang telah menggelapkan dana. Arbi jelas ikut terseret kasus tersebut. Namun, Brama belum bertindak. Ia masih menahan diri. “Cie, sekarang jadi artis,” ujar Agung saat video call dengan Nawa di kantor ketika jam istirahat. “Mas Agung tahu?” “Tahu. Pas nggak sengaja lewat rumah warga, eh, kayak lihat kamu jadi bintang iklan di televisi. Setelah kuamati, ternyata benar. Selamat, ya.” Nawa hanya mengangguk lemah. “Doakan wajah jelek itu membawa berkah, produk baru kami laris.” “Hust, nggak boleh bilang jelek gitu. Sama saja menghina produk Allah. Harus bersyukur. Yakin saja pokoknya. Harus optimis. Nanti kalau produknya sampai sini, aku bakal borong buat kubagi-bagi. Sebagai ajang syukuran.” Kalau sudah seperti itu, bagaimana Nawa bisa berpaling dari pria berseragam loreng itu? “Aamiin, doakan, Mas.” “Nawa, sebentar lagi aku selesai dinas. Apa kamu sudah siap jadi Nyonya Agung?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD