Mual

1326 Words
Wajah Nawa yang dari tadi sendu, tambah mendung. Ia belum yakin meneruskan keseriusan bersama Agung. Wanita itu sadar diri, tidak lagi suci. “Wa, kok kayak nggak seneng gitu?” Nawa berusaha menarik sudut bibirnya. “Seneng. Seneng, kok. Ini tuh ekspresi terkejut, Komandan.” “Alhamdulillah. Setelah aku pulang, seperti yang sudah kita rencanakan. Kita lamaran, lalu nikah.” Nawa menunduk, menyembunyikan sudut matanya yang sudah mengembun. “Berarti siap jadi Ibu Persit?” Nawa mengangguk lemah. Hati dan tindakannya tidak sinkron. Ia menghapus sudut matanya. “Mas, aku ini wanita buruk, nggak pantas buat Mas Agung. Aku banyak kurangnya. Yakin tetap mau sama aku?” “Apa pun kekuranganmu, aku terima. Aku pun punya banyak kekurangan, Wa.” Kali ini air mata Nawa kembali menitik. “Mas Agung pria baik, sangat baik. Makin ke sini, aku ngerasa nggak–“ “Apa ada pria lain? Maksudku, kamu sengaja mengatakan ini karena tidak mau serius sama aku?” Nawa menghapus air matanya. “Nggak ada. Sama sekali nggak ada. Hanya saja ... nanti sajalah kalau ketemu langsung aku bakal cerita. Mas, maaf, ya.” “Kalau memang ada pria lain, kamu jujur aja nggak papa. Aku rela mundur.” “Jangan ngaco. Udah, ya, aku ke kantin dulu. Lapar. Assalamualaikum.” Tanpa menunggu jawaban Agung, Nawa mematikan video call-nya. Kondisi ruang divisi marketing sepi. Tangis Nawa pecah. Tanpa disadari wanita itu, Brama dari tadi menguping di dekat pintu. Pria itu membawa minuman hangat untuk Nawa. “Apa itu pacarnya Nawa?” gumam Brama. Ia pun memutuskan untuk masuk. “Nawa, ini aku bawakan minuman varian baru. Jus hangat.” Brama datang seolah-olah tidak tahu apa-apa. Nawa menghapus air matanya kasar. “Nggak usah repot-repot, Mas.” “Kamu nangis?” Brama mengambil kursi, duduk tidak jauh dari Nawa. “Ah, iya. Tadi baca novel online, ceritanya sedih. Lebay emang.” Nawa berkilah. “Tadi aku ke kantin, biasanya ada kamu di sana, eh, nggak ada. Aku cari di pantry juga nggak ada. Makanya aku cari ke sini. Ini, ada jus jambu tapi pakai air hangat. Minumlah.” Brama menyerahkan cup yang masih bersegel pada Nawa. “Makasih.” “Ada masalah?” Nawa menggeleng. “Nggak ada. Udah kubilang habis baca novel.” “Bisa berbagi sama aku kalau mau.” Nawa memaksakan senyum. “Makasih. Tapi untuk saat ini masih belum.” “Oke, nggak masalah. Oh, ya, aku sekarang ngekos di dekat kos-kosan kamu. Nanti pulang mau bareng?” “Serius? Sejak kapan?” “Dari beberapa hari lalu.” Tepatnya setelah Brama melawan Arbi. Ia tidak mau ketahuan memiliki rumah mewah. Bisa-bisa Arbi curiga dan Brama yakin, saudara sepupunya itu mengirim orang untuk memata-matainya. “Diminum jus anehnya. Tenang, aman. Nggak ada racun atau obat berbahaya.” Nawa tersenyum, lalu membuka cup itu dengan sedotan. Ia pun meminumnya. Ia memang tidak terbiasa minum es atau minuman dingin. Kalau tidak air putih, minuman hangat. “Kamu sudah punya pacar?” tanya Brama. “Aku nggak pacaran. Tapi calon udah ada. Tapi ....” “Tapi apa?” “Ah, enggak. Doakan saja yang terbaik untukku dan dia.” “Enak saja suruh mendoakan.” Brama membatin. “Beruntung pria yang mendapatkanmu.” “Aku nggak sebaik yang kamu kira, Mas. Aku ini banyak dosa.” “Nawa, boleh aku jujur sama kamu?” “Apa?” “Sebenarnya aku suka sama kamu.” Nawa tertawa. “Bercandamu lucu.” Brama hanya tersenyum. Ia ditolak mentah-mentah secara tidak langsung. Makin ke sini, pria itu yakin kalau Nawa wanita baik yang sudah dirusaknya. Ia berjanji akan memperbaiki semuanya. “Tahu saja kalau aku bercanda. Sengaja, biar kamu tertawa.” Kepalang malu, Brama memilih meladeni ucapan Nawa. ** Sore harinya sepulang kantor, Nawa dan Brama berjalan bersisian menuju kos-kosan. “Kamu asli orang mana sih, Mas Bra?” “Asli Tangerang. Tapi suka berpindah tempat untuk mencari pengalaman baru, juga pekerjaan yang menantang. Aku ini orangnya nggak suka dipaksa, nggak mau ditekan. Makanya sering berontak kalo ada yang nggak adil di kantor.” “Sebelumnya pasti dipecat karena sering melawan.” “Sembarangan. Aku pindah ke Sunmond karena di kantor sebelumnya gajinya kecil pekerjaannya berat. Nggak kuat aku.” “Agak lain emang.” “Kalau kamu asli mana?” “Aku Nganjuk, masih daerah Jatim.” “Udah lama kerja di Sunmond?” “Dua tahun. Habis lulus kuliah, langsung diterima. Jalur prestasi dan rekomendasi dari Dosbingku.” “Tapi aku akui kamu itu memang keren. Harusnya kerja hanya design produk, ikut turun tangan pembuatan iklan juga.” Nawa tertawa kecil. “Aku nyaman kerja sama timku. Dulu masih ada senior galak banget, tapi sekarang enggak. Orang galaknya udah pergi. Orangnya baik dan enak-enak sekarang. Mas Bra kalau Mas Frengki berbuat nggak baik, jangan diambil hati.” “Aku ini jantan, Wa. Nggak ada istilah dimasukin ke hati.” Keduanya tergelak. Ponsel Nawa berbunyi saat mereka asyik bercengkerama. “Bapakku telepon. Aku angkat dulu, ya, Mas.” Brama mengangguk. “Kamu nggak pulang, Nduk?” tanya Heru setelah saling bertukar salam. “Belum bisa, Pak. Maaf. Doakan proyek yang kugarap berhasil, biar aku bisa pulang dengan tenang. Kalau belum kelihatan hasilnya gini, aku nggak tenang.” “Ya sudah, yang penting jaga diri, jaga kesehatan. Agung katanya sebentar lagi pulang. Kalau dia pulang, kamu juga harus pulang.” “Iya." “Nanti kita atur hubunganmu sama Agung. Nggak baik dekat terlalu lama, banyak dosa. Ya sudah, hati-hati di sana.” “Iya.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Nawa mengambil napas panjang. “Wa.” “Ya.” “Akan kubantu biar produknya laris. Biar kamu bisa pulang kampung dengan tenang.” “Makasih banyak, Mas.” Brama mengangguk. Ia akan melakukan apa pun untuk wanita incarannya ini. ** Setelah menunggu hasil dengan harap-harap cemas, produk detergen mereka benar-benar diterima masyarakat. Dengan promo awal beli dua gratis satu, membuat Nuklir diburu orang. Bukan karena promonya, tetapi memang produknya bagus. Divisi marketing benar-benar puas. Proyek dengan penggarapan seadanya, jika dilakukan dengan sepenuh hati hasilnya akan luar biasa. “Nawa, selamat, ya, produk baru laris di pasaran,” ujar Brama pada Nawa. Keduanya berjalan bersisian menuju kantin. “Iya, alhamdulillah.” “Kamu sama Restu dapat komisi, kan?” Nawa menggeleng. “Enggak, Mas. Kami hanya dapat ucapan ‘kerja bagus’ saja dari bos.” “Serius? Padahal kalau artis itu ada take kontrak di awal. Dikontrak berapa tahun, sekian rupiah royaltinya.” “Itulah kesalahan tim kami. Dulu, kami hanya membuat secara suka rela karena sulitnya dana keluar buat nyewa artis. Kami nggak mikir panjang, hanya mikir gimana produk segera launching karena bos terus mendesak. You know, kami hanya bawahan.” Tangan Brama mengepal. Arbi memperlakukan karyawan dengan tidak manusiawi. “Tapi ya udah, buat pelajaran ke depan biar kami hati-hati. Kerja, kerja. Nggak perlu pakai hati nurani.” Nawa mengedikkan bahu. “Aku traktir, deh. Hitung-hitung untuk ucapan selamat.” “Nggak usah repot-repot. Nawa biar aku yang traktir.” Frengki tiba-tiba datang, menggandeng dan sedikit menarik tangan Nawa masuk kantin. Brama mengepalkan tangan. Setelah topengnya dibuka nanti, Frengki adalah salah satu orang yang akan ditendang dari perusahaan. Brama akhirnya urung menuju kantin. Ia menemui Tomi untuk menjalankan misi-misi penting lainnya. Kesuksesan produk itu tidak luput dari usaha Brama juga. Pria itu bekerja keras mempromosikan lewat online. ** Beberapa hari ini, Nawa merasa tidak enak badan. Ia sering mual dan hari ini suhu tubuhnya sangat tinggi. “Nduk, apa kamu masuk tipi?” tanya Heru saat menelepon Nawa. Wanita itu sedang membuat teh hangat di dapur kecil kos-kosannya. “Iya, Pak. Berkat doa Bapak, proyekku berhasil. Ajak teman Bapak buat pakai produk itu, ya.” “Pasti itu. Bapak bangga sama kamu.” “Huek!” “Kamu kenapa, Nduk?” “Masuk angin atau asam lambung naik mungkin, Pak. Beberapa hari ini aku terlalu stres.” “Ya sudah, istirahat. Nawa.” “Nggeh, Pak.” “Kamu nggak sedang hamil, kan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD