Pernikahan mewah itu diliput oleh tim produksi dari media televisi milik keluarga Alaric. Mulai dari upacara pernikahan hingga resepsi yang diadakan di sebuah ballroom hotel bintang lima, semuanya diliput media.
Para tamu undangan mengisi kursi yang tersedia, duduk sambil menikmati hidangan saat suara musik mengalun indah.
Didampingi Darius, Elaina berjalan dengan anggun menuju pelaminan tempat Alaric menunggu. Ketampanan dan kegagahan Alaric bertambah berkali-kali lipat dengan tuksedo berpotongan fit yang memeluk tubuh atletisnya.
Alaric menyambut tangan Ella, membawa wanita itu ke tengah-tengah ruangan untuk mulai berdansa.
Ella menggenggam tangan Alaric, mendaratkan tangannya yang lain di bahu pria yang telah resmi menjadi suaminya itu. Sementara tangan Alaric bertengger di pinggang Ella, membelainya dengan gerakan menggoda. Sengaja meledek Ella.
“Kamu bisa berdansa, kan?” ejeknya dengan tatapan merendahkan.
Tubuh mereka mulai bergerak mengikuti irama musik.
Ella tak langsung menjawab pertanyaan Alaric, tapi sebuah ide jahil datang ke benaknya. Dan tiba-tiba, ia menginjak kaki Alaric dengan heels tajamnya, membuat pria itu mendesis menahan sakit.
“Maaf, mungkin aku tidak bisa berdansa,” bisik Ella sok polos.
Alaric memicingkan mata, maju selangkah. Tangannya menangkup tengkuk Ella kuat-kuat hingga membuat Ella meringis menahan sakit. Kemudian ia memajukan wajahnya untuk berbisik di telinga Ella.
“Kamu mau bermain-main denganku, Ella? Kamu salah memilih lawan. Karena aku akan menghancurkanmu seperti kamu menghancurkan Anna.”
Ella memejamkan matanya rapat-rapat, tengkuknya terasa sakit saking kuatnya cengkraman tangan Alaric.
“Kalau kamu memang sangat membenciku.” Ella balas berbisik. “Kenapa kamu tidak membunuhku saja?”
Alaric menyeringai. Ia memundurkan kepalanya, lalu mendekatkan bibirnya ke bibir Ella.
“Tidak, aku tidak akan membunuhmu, Ella. Aku akan menghancurkanmu, menyiksamu, melihatmu menanggung semua rasa bersalah dan sakit karena kamu telah membunuh tunanganku. Aku akan memastikan kamu mencicipi neraka di dunia ini sebelum kamu mati.”
Lantas, tanpa menunggu respons dari Ella, Alaric melumat bibir Ella kasar.
Di mata para tamu undangan, bahkan di layar kamera yang menangkap momen mereka, sepasang pengantin baru itu tampak berciuman dengan penuh gairah. Mereka tidak tahu, ciuman itu adalah siksaan pertama Alaric untuk Ella.
“Hmph!” Ella terkesiap saat merasakan gigi Alaric menancap di bibirnya.
Cengkraman tangan Alaric di tengkuknya menahan Ella agar tidak menjauh. Bau anyir dan rasa besi dari darah di bibir Ella menghiasi ciuman mereka yang kasar. Bibir Alaric seolah menghukum bibir Ella, menyiksanya bahkan di hari pertama mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
Ella tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan pernikahannya ke depan. Kini ia terjebak dalam pernikahan neraka yang diciptakan oleh Alaric khusus untuknya.
Namun, satu hal yang pasti. Ella takkan pernah menyerah apapun yang terjadi.
***
Jika Alaric menganggap pernikahannya dengan Elaina sebagai neraka untuk menyiksa Ella, maka Ella menganggapnya sebagai medan perang. Dan untuk memenangkan perang, ia harus mengatur strategi.
Strategi pertama Ella adalah mencari sekutu untuk melawan Alaric.
Hari kedua pindah ke rumah besar keluarga Bagasditya, Elaina membeli roti dan kue dari Petite Parfaite, salah satu toko roti premium di ibukota. Lalu ia membagi-bagikannya pada seluruh pekerja di rumah Alaric.
Kedua mata Bi Lastri –pembantu senior di rumah ini– berbinar saat menerima kue dari Ella. “Wah, makasih banyak, Neng. Neng Ella baik banget. Beruntung banget mas Al dapet istri kayak Neng.”
“Kalian bergosip?” Suara Alaric yang dingin dan dalam terdengar dari balik punggung mereka.
Bi Lastri dan Ella spontan menoleh, mendapati Alaric melangkah masuk ke dapur dengan kedua tangan di saku celana. Tatapan dinginnya bergeser pada Ella sekilas, kemudian kembali pada wajah Bi Lastri.
“Kenapa namaku disebut?” tanya Alaric lagi setelah berdiri di sebelah Bi Lastri.
“Mas Al harus baik sama Neng Ella. Coba mukanya jangan kayak orang marah terus begitu, Mas.”
Inilah alasan Ella menargetkan Bi Lastri sebagai sekutu di rumah ini. Bi Lastri sudah mengurus Alaric sejak masih bayi. Bahkan Alaric lebih banyak menghabiskan waktu dengan Bi Lastri daripada dengan ibu kandungnya sendiri. Jadi dengan kata lain, Bi Lastri adalah ibu kedua Alaric.
“Aku nggak marah, Bi,” sahut Alaric datar, kemudian melirik Ella. “Aku mau makan apel.”
Bi Lastri mengangguk dan bergegas menuju kulkas.
“Bukan Bibi. Aku mau dia yang menyiapkan apelnya.” Alaric menunjuk Ella dengan dagunya.
“Mas Al, minta tolong sama istri tuh yang baik,” tegur Bi Lastri kemudian.
Alaric mendengus kasar, tak memedulikan teguran Bi Lastri dan memilih untuk duduk di kursi bar yang ada di dapur. “Cepat, Ella!”
Ella ingin menolak perintah kasar itu. Tapi demi menghindari pertengkaran tidak penting, akhirnya ia bergerak menuju kulkas dan mengeluarkan sepotong apel.
Melihat itu, Alaric segera menyergah. “Aku mau kamu menyiapkan semua jenis apel.”
“Semua?” Ella membelalak.
“Semua yang ada di kulkas.” Alaric mengangguk mantap lalu beralih menatap Bi Lastri. “Bibi keluar, aku mau berduaan sama istriku.”
Bi Lastri mengulum senyum dan mengerling pada Ella. “Iya, iya, duh pengantin baru nggak mau diganggu,” katanya sambil terkekeh senang dan keluar dari dapur.
Jika Ella tidak tahu janji pernikahan Alaric padanya, ia bisa saja tersipu sekarang. Untungnya pria itu sudah mengatakan dengan gamblang tujuannya menikahi Ella.
Kurang dari sepuluh menit, Ella sudah selesai menyiapkan beberapa mangkuk berisi beberapa jenis apel yang berbeda. Ia sudah memotongnya menjadi potongan kecil agar mudah dimakan.
“Nih.” Ella menyodorkan mangkok-mangkok itu ke hadapan Alaric.
“Garpu.”
Ella mendengus pelan, tapi ia tetap mengambilkan garpu untuk Alaric.
Alaric mengambil masing-masing apel satu potong, mengendusnya, lalu mengunyahnya pelan.
Ella mengernyit melihat Alaric mengendus makanan seperti itu. Bagi Ella, itu terlihat aneh.
Ella pun semakin dibuat bingung saat Alaric menyuruhnya mendekat. “Coba ke sini, El.”
“Buat apa?”
“Ke sini sebentar.”
Ella menurut, menundukkan kepalanya seolah Alaric akan berbisik padanya.
Namun bukannya berbisik, Alaric justru hanya menarik nafas dalam. “Sudah,” katanya kemudian.
“Hah?” Ella ternganga, tak mengerti dengan sikap Alaric yang aneh itu.
Alaric mengunyah satu potong apel lagi sambil menatap Ella dengan ekspresi yang sulit digambarkan. “Aku yakin dia wangi apel, tapi apel apa?” gumamnya dalam hati.
Ingatan akan ciuman pertama mereka di pesta pernikahan itu kembali membanjiri pikiran Alaric, membuatnya tanpa sadar menurunkan tatapannya ke bibir Ella. Rasa manisnya, tekstur lembutnya, hingga aroma seperti apel yang menguar dari tubuh Ella terasa seperti candu untuk Alaric.
Setelah pesta pernikahan itu, dorongan untuk mencicipi bibir itu terus menggebu. Membuat Alaric kerap sulit berkonsentrasi.
“Sudah?” tanya Ella memastikan. “Kalau sudah, ada yang mau aku bicarakan.”
“Ya, silakan bicara.” Alaric menanggapi santai, mengalihkan tatapannya dari Ella.
“Besok aku ada meeting dengan editor baru. Jadi mungkin aku akan keluar rumah sekitar jam sep–”
“Kamu nggak boleh keluar rumah,” potong Alaric cepat, tapi suaranya tetap terdengar datar.
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. “Apa?”
“Kamu punya telinga, El. Aku bilang, nggak boleh keluar rumah.”
“Apa alasanmu?” Ella berusaha terdengar tenang, meski ia mulai merasa kesal.
“Karena aku mau begitu,” jawab Alaric santai, bahkan tanpa menatap Ella.
Ella mengetatkan rahangnya. “Aku bukan tahananmu, Al. Jadi aku bebas ma–”
“Kamu lupa?” Sepasang mata tajam Alaric akhirnya bertemu mata bulat Ella. “Kamu lupa apa janjiku saat menikahimu? Aku akan menyiksamu, Ella. Jadi kalau kamu berani keluar rumah tanpa izinku, aku akan menyiksamu sampai kamu memohon untuk mati.”
Rahang Ella mengatup rapat. Kedua tangannya mengepal erat di samping tubuhnya. Tapi ia menarik nafas dalam, berusaha untuk tetap tenang seperti yang biasa ia lakukan selama ini.
Alaric berdiri, menangkup tengkuk Ella dan membawa wajah Ella mendekat. “Dan biar kuberitahu, aku akan menikmati setiap detik saat aku menyiksamu,” bisiknya dengan nada mengancam yang begitu kental.