Menjelang matahari tenggelam, Alaric baru pulang ke rumah. Ia turun dari mobil dan berjalan melewati taman. Tatapannya langsung jatuh pada sosok Ella yang duduk di gazebo taman bersama seorang pria.
Kedua alis Alaric bertaut, matanya memicing tajam. “Dia editor baru Ella itu?” gumamnya sambil terus berjalan.
Pada akhirnya Alaric mengizinkan Ella bertemu editor barunya, tapi dengan syarat Ella tetap tidak boleh keluar rumah. Maka Ella mengundang editor barunya ke rumah ini.
Dari jarak ini, Alaric tidak bisa mendengar percakapan Ella dan pria itu. Tapi ia bisa melihat dengan jelas wajah Ella yang tampak berbinar cerah.
Dan entah apa yang diucapkan si pria, Ella terlihat tertawa dan tersenyum lebar.
Langkah kaki Alaric terhenti seketika. “Dia bisa tertawa dan tersenyum seperti itu di depan laki-laki lain?” gumamnya dengan rahang terkatup rapat.
Sekali lagi, Ella terlihat tertawa dengan tangan menutup mulutnya. Sorot matanya tampak berbinar gembira.
Alaric tak tahan. Ia segera memutar langkah dan menghampiri mereka. “Dia harus tersiksa, dia nggak boleh tertawa dan berbahagia seperti itu,” ucapnya pada diri sendiri.
Namun, siapa yang tahu bahwa memang itu alasan sebenarnya ia tak tahan melihat Ella tertawa dengan pria lain?
Alaric berdehem cukup keras, membuat Ella dan tamunya menoleh.
“Oh, kamu sudah pulang?” Ella berdiri, berjalan mendekati Alaric. “Al, kenalkan ini Dilan, editor baruku.”
Pria bernama Dilan itu berdiri, menyalami Alaric dengan senyum cerah. Ada lesung pipi manis di pipi kirinya saat ia tersenyum.
“Alaric, suami Ella,” kata Alaric datar.
Dilan meringis saat merasakan cengkraman tangan Alaric yang sangat kuat. “Aku Dilan, editor baru Ella. Sepertinya aku akan sering berkunjung ke rumah ini karena kata Ella, dia susah dapat izin keluar rumah.”
Alaric tahu Dilan sedang menyindirnya, tapi ia tak peduli.
“Kamu juga perlu mendapat izinku untuk masuk ke rumah ini,” tukas Alaric sambil menatap Dilan dari atas ke bawah dengan sorot merendahkan.
Ella menyikut lengan sang suami, barulah perhatian Alaric beralih padanya.
“Apa?” tanya Alaric dengan kernyitan di dahi.
“Kalau sudah, aku mau lanjut ngobrol sama Dilan. Kamu bisa beristirahat dengan tenang di dalam rumah,” ucap Ella berusaha terdengar tidak seperti mengusir Alaric, padahal ia memang ingin Alaric cepat pergi dari sana.
Alaric memicingkan mata curiga. Namun kemudian, sebuah seringai tipis muncul di bibirnya. “Aku mau masuk ke rumah kalau kamu juga masuk.”
Ella mengernyit. “Tapi aku masih punya tamu di sini, Al.”
“Suruh tamu kamu pulang,” ucap Alaric enteng.
“Apa?” Darah Ella mulai mendidih. Ia menyambar tangan Alaric dan menariknya menjauh dari Dilan. “Mau kamu apa, El?” bisiknya kesal setelah mereka berada dalam jarak yang cukup jauh dengan Dilan.
Ella melirik Dilan dan tersenyum canggung padanya. Namun itu hanya sekilas, karena detik berikutnya, tangan Alaric sudah mencengkram dagunya dan membuat kepala Ella menoleh hingga tatapan mereka bertemu.
“Suamimu di sini, El,” tegur Alaric masih dengan tatapan tajamnya. “Kamu tanya aku mau apa? Aku mau tamumu pergi.”
“Nggak bisa.” Ella menepis tangan Alaric kasar. “Aku masih punya urusan sama dia.”
“Kalau begitu, biar aku yang mengusirnya.”
“Tunggu, Al!” Ella buru-buru menyambar tangan Alaric yang sudah melangkah menuju Dilan. “Kenapa kamu begini? Kamu mau menghancurkan karirku?”
Seringai lebar Alaric terbit di wajahnya. “Tepat sekali. Aku bilang apa saat di pesta pernikahan kita, El? Aku akan menghancurkanmu seperti kamu menghancurkan Anna.”
Ella tak perlu diingatkan soal itu. Kalimat itulah yang setiap hari membuatnya waspada saat berada di sekitar Alaric.
“Jadi, sebelum aku benar-benar menghancurkan karir yang kamu cintai itu, suruh dia pergi sekarang,” imbuh Alaric dengan nada mengancam yang nyata.
Ella muak menerima ancaman dan peringatan Alaric. “Kalau aku nggak mau?”
Tawa sinis Alaric mengudara. Namun bukannya menjawab, ia justru menyalakan rokok. Menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke wajah Ella. Membuat Ella terbatuk, ia tak suka dengan bau asap rokok.
Alaric melangkah maju, mengikis jarak. Satu tangannya yang bebas menangkup tengkuk Ella, cengkramannya begitu erat dan posesif.
“Kamu mau mencoba membangkang, El?” bisiknya sambil menghembuskan asap rokok ke wajah Ella lagi.
Ella menahan nafas, menatap Alaric nyalang. “Ya. Kamu nggak bisa memperlakukanku seperti tahanan, Alaric.”
Pria itu justru tersenyum lebar, senang mendengar namanya meluncur dari bibir ranum Ella. “Suruh dia pergi sebelum aku memaksamu.”
Ella mendengus pelan, mencemooh. “Memangnya apa yang bisa kamu lakukan untuk memaksaku?”
Tatapan dingin Alaric menggelap, berbahaya. Ia menurunkan rokoknya dan mendekatkan ujungnya yang menyala merah ke kulit Ella.
Nafas Ella kembali tertahan. Ia tahu apa yang berusaha Alaric lakukan padanya.
“Coba membangkang lagi, El.” Alaric berbisik kejam. “Dan kulitmu tidak akan semulus ini lagi.”
Ella mencoba bertahan dan tidak gentar dengan ancaman Alaric. Namun saat ujung rokok Alaric menggoreng kulitnya sedikit, ia berjengit dan mendesis menahan sakit.
Alaric terkekeh seperti iblis. “Nah, sekarang suruh dia pergi,” ucapnya sambil melepas cengkramannya di tengkuk Ella. “Sebelum aku sendiri yang menyeretnya keluar dari sini.”
Dada Ella bergemuruh oleh amarah. Tapi ia tahu kapan harus mengakhiri peperangan. Maka tanpa banyak bicara, Ella berbalik dan melangkah menuju Dilan.
Kali ini, ia mengaku kalah. Tapi lain kali, Ella akan mencari cara untuk mengalahkan iblis laknat bernama Alaric itu.
***
Salah satu hal yang paling dihindari oleh Ella adalah berada dalam satu ruangan dengan Alaric. Tapi malam ini, ia harus makan malam berdua dengan suaminya. Ini penyiksaannya double. Karena Ella sama sekali tak bisa menikmati makan malamnya, bahkan menelannya saja susah.
Tapi apa daya? Bi Lastri tadi memanggilnya ke ruang makan karena Alaric mau mereka makan malam bersama.
“Aku yakin ini bentuk penyiksaan dia yang lain,” gumam Ella dalam hati sambil melirik Alaric yang makan dengan tenang.
Meski begitu, Ella mencoba menggunakan kesempatan ini untuk mencari tahu lebih dalam tentang suaminya. Siapa tahu ada kelemahan Alaric yang bisa ia jadikan celah untuk menyerang.
Seolah mengerti isi pikiran Ella, Alaric angkat suara lebih dulu sebelum Ella bicara.
“Coba tersenyum,” katanya tiba-tiba.
“Hah?” Ella meletakkan pisau dan garpunya, menatap Alaric bingung. “Apa kamu bilang?”
Alaric melakukan hal yang sama, tapi itu karena makanan di piringnya sudah tandas. Ia meneguk air dari gelasnya lalu bersandar di kursi, menatap Ella lurus-lurus.
“Coba tersenyum, Ella,” ulang Alaric dengan sedikit penekanan.
“Buat apa?”
“Kamu nggak perlu tahu. Sekarang, coba tersenyum dan jangan banyak tanya.”
Ella meneguk airnya sendiri, lalu setelah mengembalikan gelas ke meja ia mulai menaikkan sudut bibirnya. Berusaha untuk tersenyum meski terasa canggung.
Alaric menggeleng. “Bukan senyum yang seperti itu. Itu kaku sekali.”
“Jelas saja. Senyum itu nggak bisa dipaksakan, Al.”
“Bisa.” Alaric memajukan tubuhnya, kedua tangannya di atas meja. “Coba lagi.”
“Apa maumu sebenarnya?”
“Aku mau kamu tersenyum.”
Ella menarik nafas dalam, mulai kesal. Tapi ia menurut, mengembangkan bibirnya membentuk senyum.
Alaric berdecak kesal dan berdiri, menghampiri Ella dengan langkah lebar. “Bukan yang seperti itu, Ella.”
“Lagipula kamu aneh banget. Senyum itu cerminan kalau kita sedang bahagia, nggak bisa dipaksakan.”
Alaric sudah berdiri di depan Ella, tatapan tajamnya terkunci pada wajah sang istri. “Jadi kamu nggak bahagia sekarang?” desisnya tajam.
“Apa sebenarnya mau kamu, Al?”
“Kamu suka steak sirloin, kan? Barusan kamu makan steak sirloin dan kamu masih nggak bahagia?”
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. “Iya, aku memang suka steak sirloin. Tap–”
“Nah, sekarang tersenyum, tunjukkan kalau kamu memang bahagia,” tuntut Alaric tanpa mengalihkan tatapannya sedikit pun dari wajah Ella.
Helaan nafas pelan lolos dari bibir Ella. Ia berusaha melengkungkan senyum, tapi sepertinya Alaric tetap belum puas.
“Kamu bisa tersenyum dan bahkan tertawa di depan Dilan, tapi kenapa nggak bisa di depanku? Padahal aku sudah membuatmu bahagia dengan steak sirloin ini kan?”
“Apa hubungannya dengan Dilan?” Kernyitan di dahi Ella semakin kentara. Sikap Alaric ini membuatnya benar-benar heran.
Alaric mendengus kasar, memasukkan kedua tangannya di saku celana sambil menatap Ella tajam. “Kamu dilarang keluar rumah sampai kamu bisa tersenyum di depanku,” pungkasnya kemudian berlalu dari ruang makan.
Begitu tiba di kamar, Alaric menempelkan ponselnya ke telinga, menerima telepon dari Bayu —asistennya.
“Ada apa, Bay?”
“Pak, ini ada lagi artikel yang menjelek-jelekkan istri Bapak. Artikel baru tadi pagi dari blog pribadi.”
Rahang Alaric mengetat. Ia pikir ia sudah mengurus semua artikel berita yang menuduh Ella sebagai dalang atas kematian Estiana. Ternyata masih ada saja yang berani mengunggah artikel baru.
“Temukan siapa pemilik blog itu dan beri dia pelajaran sampai dia benar-benar jera,” perintah Alaric tegas. "Ingat, Bayu, sampai kamu membersihkan semua artikel dan unggahan medsos yang menjelekkan istriku, aku tidak bisa membiarkan Ella keluar rumah. Jadi sebaiknya kamu menyelesaikan tugasmu secepat mungkin."
“Baik, Pak.”