Elaina terbangun dengan keringat dingin membasahi keningnya. Dadanya naik turun dengan cepat, nafasnya memburu, tubuhnya bergetar halus.
“Lagi-lagi mimpi buruk,” keluhnya sambil menyambar air minum di atas nakas dan meneguknya hingga tandas.
Detak jantungnya perlahan-lahan kembali normal. Ia melirik jam di ponselnya, pukul empat subuh.
Sejak kecelakaan itu, Ella tidak pernah tidur nyenyak. Ia hampir selalu terbangun karena mimpi buruk.
Suara benturan yang amat keras, pecahan kaca yang menyayat kulitnya, suara jeritan Anna yang memilukan, tubuh Ella yang terlempar keluar mobil dan berguling-guling di atas tanah berumput, lalu gelap.
Semua adegan itu terus terulang di dalam mimpi buruknya. Membuat Ella terbangun dan tidak bisa tidur lagi.
“Gambar aja deh,” gumamnya sambil turun dari kasur dan menuju meja di ujung kamar tidurnya.
Ia menyulap salah satu sudut kamar tidurnya menjadi ruang kerjanya.
Ella sudah mencintai dunia anak sejak masih kuliah. Ia mulai serius mengasah bakatnya menggambar setelah lulus kuliah. Dua hal itu yang kini membawanya menjadi salah satu ilustrator sekaligus penulis buku anak yang cukup dikenal.
Demi menyingkirkan perasaan gundahnya setelah mimpi buruk itu, Ella memilih untuk menggambar dan menyelesaikan naskah buku terbarunya.
Hingga sebuah ketukan di pintu menginterupsi kegiatannya.
“Siapa?” seru Ella sambil mendongak. Rupanya matahari sudah meninggi.
Ella memang bisa bertahan hingga berjam-jam saat menggambar.
“Bibi, Neng.”
Ella bangkit dan segera menuju pintu. Dan hal pertama yang ia dapati begitu membuka pintu adalah Bi Lastri yang mendekap sebuah buket bunga lili putih.
“Ada kiriman bunga buat Neng Ella.” Bi Lastri memberikan buket bunga itu sambil tersenyum.
Refleks, Ella menerima dan mengendusnya. Aroma bunga lili menggelitik indra penciumannya.
Bukan hanya itu, ada sebuah kartu ucapan yang terselip di antara kelopak bunga lili. Ia sudah hampir meraihnya ketika sebuah tangan lain menyambar kartu ucapan itu lebih dulu.
“Aku teringat padamu saat melihat bunga lili ini. Kamu bilang kamu suka bunga lili putih kan? Semoga kamu suka. Tertanda, Dilan.” Alaric membaca kalimat dalam kartu ucapan itu dengan nada mengejek yang kental.
“Apa yang kamu lakukan, Al? Berikan padaku.” Ella mengernyit tak suka dan menyambar kartu ucapan di tangan Alaric.
Pria itu berhasil berkelit. Kartu ucapan di tangannya dengan cepat berpindah ke saku dalam jasnya.
Kernyitan di kening Ella semakin dalam. “Kenapa kamu simpan? Itu punyaku, Al.”
Alaric tak menjawab dan malah menyambar buket bunga lili dari tangan Ella. “Memangnya pantas seorang istri menerima bunga dari laki-laki lain?” bisiknya tajam kemudian berjalan melewati Ella dan Bi Lastri sambil membawa buket bunga itu.
Ella menyusul segera. “Mau kamu bawa ke mana bunganya, Al?”
Alaric tak menjawab dan terus melangkah lebar. Barulah ketika tiba di dapur, ia melemparkan buket bunga itu ke dalam tempat sampah.
“Alaric!” Ella berseru kesal saat melihat bunga lili putih itu teronggok tak berdaya di dalam tempat sampah. Beberapa kelopaknya jatuh berhamburan di lantai. “Kenapa kamu buang?” tanyanya tak terima.
Alaric berbalik menghadap Ella. Tatapannya masih sedingin Antartika. Namun itu tak seberapa dibandingkan dengan nada mengancam dalam suaranya ketika ia berbisik tepat di depan wajah Ella.
“Sekali lagi kamu menerima bunga dari laki-laki lain, aku akan membakarnya di depan matamu. Atau perlu aku potong tangan laki-laki kurang ajar itu?”
Tubuh Ella menegang seketika. Bulu kuduknya meremang. Dan sebelum ia sempat merespons, Alaric sudah berlalu dari sana.
***
“Aku dikurung,” keluh Ella sambil terus menggambar di atas tablet grafis miliknya.
Ia meletakkan ponselnya di depannya, layar ponselnya menampilkan wajah seorang wanita bermata cokelat gelap dengan rambut hitam lurus.
“Dikurung gimana maksud kamu?” Alya, salah satu sahabat dekat Ella sejak masa kuliah itu bertanya.
Mereka sedang melakukan panggilan video karena Ella tak bisa keluar rumah untuk bertemu langsung.
“Ya dikurung, nggak boleh keluar rumah,” jawab Ella dengan nada kesal yang tidak ditutup-tutupi.
“Alasannya?”
“Nggak jelas.” Ella mengedikkan bahu, menghentikan kegiatannya menggambar dan menatap layar ponsel.
Alya mengernyit. “Memang gimna awalnya?”
“Gara-gara aku nggak bisa senyum di depan dia.”
“Apa?” Alya ternganga. “Kepala suamimu kebentur tembok atau gimana?”
Ella menghembuskan nafas kasar, bersandar di kursi. “Nggak tahu. Makanya aku nggak bisa keluar rumah, entah sampai kapan.”
Wajah Alya segera kembali ke setelan awal, datar. “Kabur aja,” usulnya kemudian.
“Kalau bisa, aku pasti sudah kabur.”
“Elaina!” Tiba-tiba Alaric berseru sambil mengetuk pintu kamar Ella cukup keras.
Ella nyaris terperanjat dari kursinya. “Al, udah dulu, ya? Kapan-kapan kita vicall lagi,” katanya pada Alya sambil melambaikan tangan.
“Oke. Kalau dia macem-macem sama kamu, bilang aku.”
Ella tertawa mendengar kalimat Alya. Ia tahu sahabatnya itu hanya bercanda, tapi itu sudah cukup untuk membuat hatinya bahagia.
“Panjang umur banget, baru juga diomongin,” gumam Ella sambil berjalan ke arah pintu. Ia sudah mematikan panggilan videonya dengan Alya.
Begitu pintu terbuka, wajah tampan tanpa senyum milik Alaric langsung menyambut.
“Siap-siap, orang tuaku akan datang sebentar lagi,” katanya dengan nada datar.
“Kok kamu baru bilang?” Ella protes.
“Yang penting aku sudah bilang. Cepat ke depan, mereka sebentar lagi sampai.”
Lagi-lagi, Alaric berlalu sebelum Ella sempat merespons.
Ella memejamkan mata, menggeram kesal. Namun ia cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih pantas.
Sepuluh menit kemudian, ia sudah keluar kamar dan berjalan menuju teras untuk menyambut mertuanya.
Namun perhatian Ella segera teralihkan. Ada sesuatu yang berbeda dari rumah itu.
Bunga lili putih terlihat di mana-mana. Di atas meja ruang tengah, di atas bufet, di rak buku, di meja dapur, bahkan di meja ruang tamu juga terdapat vas bunga berisi bunga lili putih.
Ella tiba di samping Alaric dengan wajah melongo bingung. Ia melirik suaminya, wajah Alaric masih tanpa ekspresi seperti biasa.
“Kenapa ada banyak bunga lili di rumah?” tanya Ella setelah berdehem pelan.
Alaric melirik Ella sekilas. “Mama suka bunga lili,” sahutnya acuh tak acuh lalu berjalan menuruni tangga teras.
Sebuah mobil Alphard berwarna hitam merapat. Pintunya terbuka, papa dan mama Alaric turun dari sana.
Sejenak, Ella melupakan jawaban Alaric dan segera menyambut mertuanya.
“Selamat datang, Ma.” Ella menyalami Mia, mama mertuanya.
Mia tersenyum ramah, mencium pipi kiri dan kanan Ella.
Seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun muncul di belakang Mia. Membuat kedua mata Ella membola.
Seolah bisa membaca ekspresi Ella, Mia tertawa pelan sambil menggendong anak perempuan itu.
“Kamu pasti belum ketemu Rachel kan? Dia lagi pengobatan di Singapura beberapa bulan terakhir,” jelas Mia tanpa diminta.
“Oh, hai, Rachel.” Ella menyapa anak perempuan itu sedikit canggung.
“Hai, Kak.” Rachel menyambut dengan nada malu-malu.
Ella mengerutkan kening, mengingat-ingat. “Tapi kayaknya kita pernah ketemu beberapa kali, ya?”
Rachel mengangguk semangat. “Iya, pernah. Waktu di toko buku, aku beli buku Kakak.”
Kedua mata Ella membulat senang. “Oh iya, betul!”
“Masuk dulu, yuk? Biar Rachel istirahat setelah itu kita bisa ngobrol. Maaf karena Mama langsung pergi setelah pesta pernikahan kalian.” Mia memotong obrolan.
Benar juga, mereka pasti lelah dan butuh istirahat. Maka Ella mengangguk dan masuk ke dalam rumah bersama Mia yang masih menggendong Rachel.
“Astaga!” Tiba-tiba Mia terkesiap begitu masuk rumah. “Siapa yang menghias rumah ini dengan bunga lili?” Kedua matanya berbinar saat melihat vas bunga berisi bunga lili tersebar di berapa titik.
Ella tersenyum. “Mama suka? Katanya Mama suka bunga lili?”
“Kata siapa?” Mia kembali tertawa. “Mama bukan pecinta bunga. Tapi kalau harus memilih, Mama paling suka bunga mawar merah.”
“Oh?” Ella melongo bingung. “Tapi … Alaric tadi bilang ….” Ia mendadak terdiam, Mia sudah berlalu dari hadapannya.
Lalu, kenapa sebenarnya Alaric memenuhi rumah ini dengan bunga lili putih?
“Nggak mungkin karena dia tahu aku suka bunga ini kan?” gumam Ella tak percaya.