Bab 5. Tidur Sekamar

1392 Words
“Mau ke mana?” Alaric menghadang Ella yang hampir masuk ke kamarnya. Mereka baru saja selesai makan malam dan mengobrol ringan dengan orang tua Alaric di ruang tengah. Wajah Ella nyaris menabrak d**a Alaric. Ia segera mundur selangkah. “Kamu ngapain?” Alaric menghembuskan nafas kasar. “Kamu nggak bisa tidur di kamarmu. Ikut aku,” titahnya kemudian. “Apa maksudmu, Al?” Ella tetap diam di tempat, enggan menuruti perintah Alaric. Melihat Ella tak beranjak dari tempatnya berdiri, Alaric kembali dan mencengkram pergelangan tangan Ella erat. “Ada orang tuaku di sini, kamu nggak bisa tidur di kamar yang berbeda denganku,” desisnya mengancam. Ella mengernyit. “Maksud kamu kita harus tidur sekamar?” “Menurutmu?” Sebelah alis Alaric terangkat, menantang. “Kalau kamu siap menerima rentetan pertanyaan dari orang tuaku, silakan saja.” Ella memicingkan mata, menatap Alaric tajam. “Kita nggak harus tidur sekamar, Al. Aku bisa bangun sebelum orang serumah bangun dan pura-pura keluar dari kamar kamu.” Alaric menggeleng tegas. “Selama ada orang tuaku di sini, kamu tidur di kamarku. Titik.” “Kenapa kamu nggak terbuka sama saran dari orang lain sih?” “Karena saranmu sama sekali nggak membantu. Gimana kalau kamu sama mama lagi di rumah dan mama lihat kamu masuk ke kamar yang berbeda?” “Aku bakal bilang kalau itu ruang kerjaku.” Ella menyahut penuh percaya diri. “Kalau mama memaksa masuk dan tahu kalau itu kamar tidur, kamu mau jawab apa?” tantang Alaric dengan rahang mengetat. Ella terdiam sesaat, mencari jawaban terbaik. “Mamamu nggak akan lancang masuk ke ruangan orang lain, Al.” Alaric mendengus pendek, mencemooh. “Turunkan egomu dan tidur di kamarku sekarang,” desisnya penuh ancaman. Tanpa menunggu jawaban Ella, Alaric berbalik dan menarik tangan Ella agar ikut dengannya ke kamar. Namun bukannya mengekor, Ella justru tak bergeser sama sekali dari tempatnya berdiri. Alaric kembali menghadap Ella. Tatapannya setajam belati. “Jangan membuatku memaksamu, El.” “Coba aja,” tantang Ella dengan dagu terangkat. Tatapan Alaric menggelap sesaat. Sebelum ia tertawa kecil. “Oke, kamu yang minta.” Tanpa aba-aba, Alaric membungkuk dan mengangkat tubuh Ella ke dalam gendongan. Membuat Ella memekik kaget dan melingkarkan lengannya di leher Alaric karena refleks takut jatuh. “Apa-apaan ini, Al?” pekik Ella dengan pipi memerah. Alaric menyeringai, mengeratkan lengannya di tubuh Ella, terus melangkah menuju kamarnya. “Aku sudah bilang, jangan membuatku memaksamu. Ini yang terjadi kalau kamu nggak mau nurut.” “Turunkan aku!” hardik Ella sambil melemparkan tatapan penuh peringatan. Alaric bergeming. Ia terus melangkah masuk ke dalam kamarnya, menendang pintu di belakangnya hingga tertutup. “Al, turunkan aku!” Ella mendelik galak. Jantungnya berdebar tak karuan, entah karena terkejut dengan perbuatan Alaric atau karena yang lain. Begitu tiba di tepi ranjang, barulah Alaric menurunkan Ella dengan cara melemparnya ke tengah kasur. Membuat Ella terkesiap kaget. Seringai di bibir Alaric melebar saat melihat ekspresi syok di wajah Ella. Ia menunduk, mengurung tubuh Ella dengan tubuh dan kedua lengannya. “Tidur dan jangan banyak bicara,” bisiknya dengan nada rendah. Ella bisa merasakan jantungnya nyaris lepas dari dadanya sekarang. Pemandangan Alaric yang berada di atasnya membuat sekujur tubuh Ella meremang. “Minggir,” balas Ella setelah menarik nafas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Alaric bisa melihat rona merah jambu di pipi Ella. Pemandangan itu membuatnya merasa senang dan puas. “Kalau aku nggak mau?” godanya dengan seringai licik. “Kamu nyuruh aku tidur kan? Jadi minggir biar aku bisa tidur.” “Memangnya kamu nggak bisa tidur di posisi ini?” “Siapa yang bisa tidur di posisi ini?” “Aku.” “Apa?” “Aku bisa tidur di posisi ini,” ulang Alaric. Tatapannya sama sekali tak lepas dari wajah Ella yang semakin lama semakin memerah. “Mustahil,” desis Ella tajam. “Mau bukti?” Ella mengernyit, bingung dan ragu. “Gimana caranya?” Kalimat itu lolos dari bibir Ella tanpa bisa dicegah. Alaric semakin menurunkan tubuhnya, nyaris menyentuh tubuh Ella yang berbaring di bawahnya. Tatapannya turun ke bibir Ella yang setengah terbuka. Rasa manisnya, tekstur lembutnya, aroma seperti apel yang menguar dari tubuh Ella, memori itu kembali ke benak Alaric seperti banjir bandang. Membuat akal sehatnya perlahan-lahan runtuh. Alaric mencengkram sprei kuat-kuat. Menahan diri agar tidak melahap bibir Ella sekarang juga. Namun tubuhnya berkata lain. Ia justru terus menurunkan tubuhnya semakin dekat ke tubuh Ella seinci demi seinci. Nafas mereka kini berbaur, bibir mereka hanya terpisah jarak setipis udara. Suara detak jantung mereka yang bergenderang saling sahut-menyahut. Ella menelan ludah gugup. Ia tak tahu apa yang paling ia inginkan sekarang. Mendorong Alaric menjauh atau menariknya mendekat. Otaknya kini terasa kosong. “Ini kesempatan terakhir buat mundur,” lirih Alaric dengan suara serak. Tanpa sadar, Ella justru menggigit bibirnya sendiri mendengar suara seksi Alaric. Dan pemandangan itu membuat Alaric langsung kehilangan seluruh akal sehatnya. Bibir mereka bertemu, Alaric menyesap nektar manis Ella yang sejak ciuman mereka di altar itu terus memenuhi kepalanya. Bibirnya bergerak rakus melahap bibir Ella, seolah ia tidak akan pernah merasa cukup dengan rasa dan tekstur bibir istrinya itu. Otak Elaina terasa meleleh. Ia membiarkan instingnya bekerja. Kedua lengannya melingkari leher Alaric saat ia berusaha mengimbangi ritme ciuman pria itu. Alaric menangkap gerakan Ella sebagai undangan terbuka untuk melanjutkan aksinya. Ia membiarkan tubuhnya menindih tubuh Ella lembut. Satu tangannya mengarahkan kepala Ella agar ia bisa memperdalam ciuman. Sementara tangannya yang lain mulai meraba di sepanjang paha Ella yang masih tertutup pakaian. “Ngh….” Ella refleks mengeluarkan lenguhan lembut, tubuhnya bergetar halus saat tangan Alaric menyusup di balik pakaiannya, membelai kulit pinggangnya yang polos. Suara desahan tertahan itu seolah menjadi bensin bagi hasrat Alaric yang sedang berkobar. Ia menyelipkan pahanya di antara kedua kaki Ella, mendorong kaki Ella agar terbuka hingga ia bisa menempatkan tubuhnya di antara kedua kaki sang istri. “Al ….” Desahan lembut Ella lolos saat bibir Alaric akhirnya melepaskan ciuman. Ella bisa merasakan sesuatu yang keras menekan di antara kedua pahanya. Tapi Alaric tak membiarkan satu detik pun berlalu sia-sia. Pria itu sudah menurunkan bibirnya ke rahang dan leher Ella. Mencium, menggigit lembut, dan menyesap kulit mulus Ella hingga memerah. Serangan bertubi-tubi itu membuat otak Ella sama sekali tak bisa berpikir. Ia hanya bisa merasakan tubuhnya semakin memanas. Tangan Alaric terus bergerak naik, menggoda d**a Ella dari balik branya. Membuat tubuh Ella bergetar halus dan desahan lembut lolos dari bibirnya. Tubuh mereka sudah berada di titik sangat panas dan sensitif. Maka ketika sebuah ketukan di pintu terdengar, tubuh mereka membeku seketika. “Al, Ella, kalian sudah tidur belum?” Suara Mia terdengar setelah ketukan itu. Alaric mundur, menatap Ella yang berbaring di bawahnya dengan pipi memerah, bibir membengkak, dan pakaian yang tersingkap hingga ke perut. “Sudah tidur, ya?” Suara Mia terdengar lagi. Jika menuruti hasratnya, Alaric ingin mengabaikan panggilan itu dan melanjutkan aksinya. Tapi yang dilakukan Elaina justru di luar dugaan. “Belum, Ma. Sebentar Ella keluar.” Elaina menyingkirkan tubuh Alaric yang sebagian masih menindihnya. “Minggir, Mama nyariin,” hardiknya dengan desisan tajam. Seperti papan kayu besar, Alaric bergerak kaku dan duduk di atas kasur dengan ekspresi kesal dan kecewa. Elaina merapikan baju dan rambutnya, menutupi bekas kemerahan di lehernya dengan rambut, kemudian berjalan ke pintu. Ia menarik nafas dalam sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Mia dan Rachel sudah berdiri di depan pintu dengan senyum terkembang. “Sudah mau tidur, ya? Maaf Mama ganggu.” Mia memasang tampang bersalah. “Tapi Rachel mau ketemu kamu.” Kedua mata Ella membola seketika. “Rachel mau ketemu Kak Ella?” Gadis kecil itu mengangguk antusias. “Kak Ella yang tulis buku ini kan?” Ia menyodorkan sebuah buku berjudul ‘Jejak Si Gadis Sepatu Kaca’. Hati Ella meleleh seketika, senyum manis merekah di bibirnya. “Iya, ini Kakak yang tulis.” Wajah Rachel langsung berbinar. “Boleh nggak kalau aku minta Kak Ella bacain buat aku?” “Boleh dong,” sahut Ella antusias. “Yuk, mau dibacain di mana?” “Di kamar Rachel.” “Oke.” Ella segera keluar dari kamar dan menutup pintu di belakangnya. Meninggalkan Alaric yang duduk tercenung seorang diri di atas kasur. “Udah nih? Aku ditinggal gini aja?” gumamnya tak percaya sambil menatap pintu yang tertutup. Ia menunduk, menatap celananya yang menggembung sambil meringis. Lantas ia turun dari kasur dan masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD