Z-8

2110 Words
"Keinginan untuk bersatu adalah benteng terkuat untuk bisa mengatasi segala kesulitan." Marie dan John, berjalan cepat, berpacau dengan waktu. Sebelum gelap, mereka berencana untuk sampai di perumahan terdekat, bukan perumahan milik John dulu, jaraknya terlalu jauh untuk mereka kembali ke sana. Lagipula, setelah drama yang cukup melelahkan, akan sangat konyol, kalau mereka kembali ke tempat awal John memulai perjalanannya. Jadi, sesuai informasi dari Marie, dia menuju ke perumahan terdekat, di mana, perumahan itu dulu, terkenal sebagai perumahan mewah, hanya orang-orang kaya yang berada di sana. Jelas, itu bukan untuk John ataupun Marie. Mereka dulu hidup pas-pasan, sehingga tidak memiliki banyak uang untuk dihamburkan hanya untuk membeli perumahan elite dan mahal. Perumahan itu juga terkenal sepi, hanya penghuninya, kebanyakan ada di dalam rumah, tidak berinteraksi dengan banyak orang, terutama yang tak selevel dengan mereka, atau sibuk bekerja, membuat mereka tidak memiliki waktu untuk sekadar menyapa tetangga atau menunjukkan muka. John, hanya mendengar rumor itu dari beberapa orang, yang dulu pernah satu pekerjaan darinya, tidak benar-benar bertemu atau melihatnya sendiri. Jika boleh menilai, John, setidaknya, sama dengan para orang kaya itu dalam hal sikap individual. Selama ini, dia hanya hidup untuk bekerja. Berangkat pagi, pulang sore, kadang lembur sampai malam, selama 6/7. Setiap Minggu, dia juga hanya diam di rumah, menghabiskan waktu di dalam kamar, untuk tidur, menonton film atau melamun. Dia tak banyak berinteraksi dengan tetangga, tetapi dia mengenal beberapa tetangga, nenek Marta, paman Frans dan beberapa anak mereka, yang bersedia menyapa dirinya yang cenderung pendiam terhadap orang-orang baru. John, bukannya tidak mau mengobrol atau berinteraksi lebih, tetapi dia hanya tak suka banyak bicara dengan orang asing. Setelah hubungan yang memburuk dengan Annie, adiknya, John, lebih suka menahan lapar di kamar sampai Annie tidak lagi keluar dari kamarnya, daripada harus berpapasan dengan perempuan muda itu. Namun, tentu semua berubah, setelah ancaman kematian di mana-mana, hubungan mereka membaik, bahkan tanpa perlu diminta, direncanakan atau diperkirakan duluan. Mungkin, ini yang dinamakan akan selalu ada hikmah di setiap kejadian. Akan tetapi, John berharap, hubungannya dan Annie akan membaik, tanpa perlu adanya wabah mematikan seperti wabah zombie. Sebab, setiap manusia hanya memiliki satu nyawa, salah sedikit, maka akan game over, tidak akan bisa direstart atau direset lagi. Itu sebabnya, John harus berhati-hati dan waspada, tentang ancaman yang bisa datang kapan saja. John dan Marie berjalan dengan mengendap-endap. Wanita dengan celana jogger itu, mengawasi bagian belakang, dengan posisi John di depan, tetapi jarak mereka sangat dekat. Marie memegang pistolnya, pelurunya, tinggal 4. Dari 12 peluru, dia sudah menggunakan 8. Jadi, dia mungkin harus mencari peluru tambahan sesegera mungkin sebelum senjata yang dimilikinya kehabisan peluru dan menjadi tidak berguna. Bagaimanapun zombie-zombie itu, akan mati setelah kepalanya dihancurkan, entah karena ditembak, dipukul, ditebas atau ditikam. Ada banyak cara menghancurkan kepala zombie, tetapi dengan pistol tanpa peluru, tentu itu tidak dihitung. Alih-alih menghancurkan zombie, mungkin, itu akan menjadi senjata makan tuan. Bagaimanapun, memerlukan jarak saat ingin menghancurkan kepala mereka, untuk meminimalkan kemungkinan untuk diserang balik seperti tergigit, terhempas dan lain-lain. John mengamati sekitar lantas mengarah pada satu rumah yang pagarnya tertutup, tetapi tidak dikunci. "Bagaimana kalau rumah ini saja, Marie?" John meminta pendapat Marie. Marie yang mengawasi bagian belakang hanya mengangguk dan mengiyakan dengan cepat, "Kamu yakin tidak ada zombie di dalam?" Marie menjadi tidak yakin saat melihat pintu rumah itu tertutup rapat dan tak terdengar suara apapun. Entah karena tak berpenghuni atau penghuninya sudah menjadi zombie, sedang menunggu ransangan suara untuk bisa bergerak maju. John membuka pagar rumah, lantas masuk setelah menutupnya. Kali ini, John mengaitkan pengunci gerbangnya. Dia tak ingin ada zombie luar yang masuk. Setelahnya, mereka berdua menuju ke pintu utama. John menghela napas panjang. Dia mengeluarkan samurai dari sarungnya lantas menghunusnya ke depan dengan penuh tekad. "Marie, dalam hitungan ketiga buka pintunya lalu menjauhlah dari sana, aku akan menghadapi zombie yang keluar dari dalam, lantas kamu di belakangku, menembaklah kalau memang aku sudah sangat terdesak, mengerti?" John memberikan arahan. "Oke." Marie menjawab singkat sebagai tanda mengerti. Pintu dibuka, John bersiap, tetapi tidak ada siapapun atau apapun yang menyambut kedatangan mereka. "Aman?" Marie bertanya. "Sejauh ini iya. Ayo masuk!" John memberikan perintah dan Marie mengiyakan. Keduanya masuk ke rumah itu, lantas menutup pintunya kembali. Rumah itu cukup megah, ada dua lantai. Isinya berantakan, seolah pemiliknya terburu-buru mengambil barang dan pergi, atau memang, pemiliknya tidak ada di sana saat kejadian dan rumah ini didatangi manusia lain yang hidup, sekadar memasok makanan atau berlindung sementara. Entahlah, John tidak tahu. Sebelum memutuskan untuk tinggal, Marie dan John memeriksa setiap ruangan. Kamar di lantai satu aman. Kamar mandi aman. Ruang tamu, dapur, semuanya aman. Sisanya, hanya ruangan di lantai atas. John dan Marie berpindah ke atas. Mereka menemukan satu kamar terkunci. Di pintunya terdapat tulisan, "Kamar Joni." "Apa menurutmu Joni di dalam, sudah menjadi zombie?" Marie menebak-nebak. "Entahlah, pintunya terkunci dan kita tidak akan membukanya." John berjalan menuju ruangan lain, mengambil beberapa meja dan kursi kayu yang disusun menutupi pintu. "Untuk apa itu?" Marie penasaran. "Seandainya Joni ini mengamuk dan bisa keluar dari kamarnya, kita akan tahu soal itu, meja dan kursi ini akan bergeser jika ada pergerakan dari dalam," jelas John. "Kamu cerdas, John," puji Marie. John hanya mengulas senyuman kecut, "Tidak sepintar Annie," kilahnya. "Apa dia sangat hebat? Kamu selalu memujinya di setiap kesempatan, kamu yakin dia hanya adikmu? Atau, kamu memiliki perasaan khusus padanya?" Marie menatap John sebentar lalu mengangkat bahunya, "What? Aku hanya bercanda." John menggelengkan kepala, "Kita sebaiknya turun. Aku akan ke dapur, sementara kamu pergilah mandi." "Sendiri?" Marie protes. "Aku tak mungkin menemanimu, Marie. Jangan konyol." John langsung menolak ide konyol Marie. Meskipun tidak diucapkan, John tahu isi otak dari wanita yang sudah menjadi janda itu. Dia bukannya berburuk sangka, hanya waspada. "Kamu tidak mau berjaga di depan kamar mandi? Bagaimana kalau ada zombie menyerang saat aku mandi?" Marie mengungkapkan kekhawatirannya. "Kamu bisa membawa pistolmu ke kamar mandi," usup John. "Hah?" Marie tidak percaya dengan jawaban John. Sepertinya, lelaki kurus, tetapi atletis itu sedikit tersinggung dengan perkataan Marie yang dianggapnya hanya lelucon barusan. "Oke, aku minta maaf soal perkataanku. Namun, bisakah kamu berjaga saat aku mandi? Kita memiliki waktu yang cukup banyak kan?" Marie mencoba membujuk John. "Aku janji, aku tak akan berkomentar apapun lagi jika kamu bercerita soal Annie lagi." Ia mengangkat dua jarinya, bersumpah. "I swear." John berpikir sejenak lalu mengangguk, "Baiklah. Tidak lebih dari sepuluh menit, setelahnya, aku akan mencari makanan, senjata atau apapun yang bisa kita bawa dan butuhkan." John memberikan syarat. Marie mengangguk senang, "Tentu saja. Terima kasih." Marie pun bergegas masuk ke kamar mandi, sementara John berjaga di luar. Perumahan yang mereka tuju, memang sangat sepi. Meskipun ada banyak bekas kekacauan, sejauh ini, John hanya melihat zombie yang sudah mati, entah karena dibunuh atau tidak sengaja terbunuh. Beberapa zombie masih hidup, tetapi bagian tubuh mereka tidak lengkap, entah tersisa bagian atas saja, kehilangan kedua tangan atau kaki, dan isi perut yang tidak ada. John nyaris muntah, tetapi melihatnya berkali-kali dalam waktu yang cukup lama, membuatnya kebal dengan sensasi geli dan menggelitik yang hadir karena melihat hal menjijikkan seperti itu. John pergi ke kamar sebelah, mencarikan pakaian ganti untuk Marie. Dia melihat kamar itu bernuansa merah muda, sehingga John berasumsi kalau itu adalah kamar perempuan. John membuka lemari dan langsung tersentak kaget. Dia langsung mundur, mengeluarkan pedangnya dan menghantamkannya ke kepala zombie perempuan yang tiba-tiba muncul dari dalam lemari. Kepala zombie itu pun terpotong, menggelinding dan berakhir di lantai. Darah memuncrat dari lehernya yang kehilangan kepala, memenuhi lantai dengan segera. John mencengkram kuat pedangnya, lantas memeriksa setiap sudut kamar itu sekali lagi. Setelahnya, dia memasukkan pedang dan mencari pakaian untuk Marie. Saat hendak keluar, dia melihat zombie itu masih menatapnya, ada sesuatu yang bergerak-gerak, keluar dari bola matanya, membuat John tidak tega meninggalkannya begitu. Itu pun menghunus pedangnya sekali lagi dan menikam makhluk kecil yang belum keluar sepenuhnya itu, membuat makluk itu mati dan tak bergerak lagi. Bentuknya seperti cacing. John mengamati kepala zombie wanita tersebut. Ada yang menarik perhatiannya. Menurutnya,  wanita yang kira-kira berusia sekitar 30 tahunan itu, bersembunyi di lemari dan mati karena kehabisan napas atau dehidrasi. Melihat kondisi mulutnya yang mengeluarkan banyak liur, cairan hitam pekat dengan gigi yang meruncing, John tahu, perempuan itu mungkin sudah lama menjadi zombie, dua hari yang lalu mungkin. Sebab, penampakannya, sama dengan nenek Marta, tetangganya, yang kini sudah menjadi zombie dan dibunuh oleh Annie, adik perempuannya. Bibir perempuan itu juga terlihat membiru, seolah sudah akan membusuk karena waktu atau hal lain, John sama sekali benci Biologi. Dia tak ingin menganalisa lebih jauh perihal hal itu. John bergegas kembali ke kamar mandi, mengetuknya beberapa kali dan memberikan pakaian ganti dengan mata terpejam pada Marie, membuat wanita itu tersenyum geli dengan sikap John yang malu-malu, sedikit naif juga, menurutnya. Namun, Marie yakin, kalau John adalah orang baik, itu sebabnya, dia percaya dan bersedia mengikuti John ke manapun  lelaki itu akan pergi, meskipun dia terkadang sebal jika John berbicara tentang Annie.  Tidak! Marie bukannya cemburu atau semacamnya, dia hanya kesal karena John sering bersikap pesimis dna menganggap dirinya tidak lebih hebat atau sehebat Annie, adiknya. Padahal, di mata Marie, John sangat hebat. Kekurangan John, dia hanya kurang percaya diri saja. Itu kadang membuat Marie kesal, tetapi tidak membuatnya membenci Annie ataupun John. Marie hanya ingin John lebih percaya diri lagi. Saat lelaki itu memimpin, Marie merasa aman. Itu menandakan kalau John berbakat untuk menjadi seorang pemimpin. Selain itu, dia juga cukup kuat dan cepat. Tekhnik pedang samurainya cukup tinggi, meskipun gerakannya seperti seorang atlet anggar, dibandingkan seorang ninja. Marie pun keluar setelah berganti pakaian. Dia merasa hidup kembali setelah mandi. John memberikannya handuk, mengatakan padanya untuk menjaga rambutnya tetap kering adalah cara agar dia tidak masuk angin. Marie mengucapkan terima kasih. Saat itu, dia tahu ada cipratan darah di wajah John. "Ada zombie?" tanyanya. John mengangguk, "Ya, maafkan aku," ujar John. "Namun, jangan khawatir, aku sudah membereskannya." Marie mengangguk pelan. Wanita cantik yang menggunakan funnel-neck knit jumper dengan balutan jaket biru-putih dan atasan hitam. Pakaian yang diambilkan John, terlihat sangat cocok untuk Marie, meskipun wanita itu sudah berusia 29 tahun, bentuk tubuhnya masih sangat bagus. Selain itu, dengan celana stunning dan sepatu boots hitam, Marie menjadi seperti mirip tokoh pahlawan wanita di film atau drama heroik. Marie melihat gunting di meja rias, segera dia mengingat rambutnya menjadi satu lantas memotongnya menjadi pendek. Dia keluar setelah merapikan penampilan barunya. John cukup terkejut dengan tampilan baru. "Bagaimana? Apa ini aneh?" Marie bertanya. "Tidak, kamu luar biasa," ujar John beropini, membuat Marie tersipu malu. "Terima kasih." John hanya mengangguk, "Aku akan ke dapur untuk mencari makanan. Kamu ikut?" Marie segera mengangguk, kedua pun menuju ke dapur, mencari makanan dan minuman, yang masih layak untuk dikonsumsi. Bagaimanapun, mereka butuh asupan makanan dan minuman untuk tubuh mereka agar tetap kuat, terlebih di situasi dan kondisi seperti saat ini. Setelah mengumpulkan makanan, mereka tahu, itu bahkan tidak cukup untuk dua hari, hari ini dan esok. "Jadi, apa yang akan kita lakukan, John?" Marie bertanya. "Kita akan mencari makanan besok. Sekarang sudah mulai gelap, aku khawatir kita akan terpojok jika nekad keluar dari sini. Untuk semntara, sebaiknya kita bermalam di sini. Kamu tidak keberatan berbagi kamar denganku kan? Hanya ada satu senter, itu pun, tidak bisa kita nyalakan terus-menerus. Kita tidak boleh sampai menarik perhatian," John mengingatkan. Marie mengangguk. Mereka kemudian menuju ke kamar utama, menutup pintunya dan mengganjalnya dengan beberapa benda, seperti meja dan lemari pakaian. Mereka sengaja memilih kamar itu, karena berada di lantai dua dan memiliki jendela yang langsung menghadap ke jalanan. Mereka bisa mengecek keadaan dari sana. Selain itu, jika terjadi hal buruk, dikepung zombie misalkan. Mereka bisa menyelinap keluar dari balkon, naik tangga untuk bisa ke atas dan kabur melalui atap rumah. Semua sudah diperiksa dan John sudah memikirkan banyak cara, dari kemungkinan terburuk sampai yang paling buruk. Hal itu membuat Marie semakin menganggumi lelaki yang baru dikenalnya itu. Dia pun tidur dengan nyaman, demikian pula John, meskipun John, beberapa kali bangun, memastikan keadaan aman dan tidak terjadi sesuatu pada mereka. Bagaimanapun, perjalanan mereka, akan sangat panjang dan melelahkan besok. "Bertahanlah, Annie. Aku akan segera menyusulmu," batin John. Dia masih memikirkan adiknya, bukan khawatir kalau Annie akan terluka atau mati, melainkan, tak ingin sampai adiknya kekurangan panah dan bahan makanan, karena dirinya. Dia juga, berpikir, kalau Annie, mungkin, akan kembali ke tempat di mana dia pergi, mencarinya, tetapi John berusaha menepis anggapan itu. Sebab, dia tidak mau Annie melakukan itu. Annie harus selamat. Itu adalah tekad dan keputusan yang sudah John putuskan, melebihi dirinya, keselamatan Annie, jauh lebih penting. Dia sudah berjanji pada ibunya untuk menjaga Annie. Dia tak bisa bertemu dengan ibunya, jika tak bisa menepati janji itu, kalau-kalau terjadi dia mati lebih dulu. Setidaknya, dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Annie, adiknya, masih hidup dan baik-baik saja. Itulah keinginan John.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD