5

1528 Words
“Iya, Dan. Bukannya aku ngedukung kamu buat jomblo terus, tapi kayaknya jangan Nera.” Gani menggeleng lemah. Aidan mengernyit. “Kenapa? Dia nggak ketus, kok. Dia… cuma bersikap waspada dengan laki-laki yang coba mendekatinya.” Ia teringat kejadian sore tadi, saat tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantar gadis itu. Biasanya, teman-teman perempuannya selalu bersedia jika ia menawarkan diri untuk mengantar. Kecuali memang mereka ada urusan. Tapi, sikap Nera memang cukup baru baginya. Apalagi mereka sudah saling kenal. “Begitu?” Gani melebarkan matanya. “Kenapa kamu menyimpulkan begitu?” “Sepertinya dia punya pengalaman buruk yang bikin dia kayak gitu.” Entah kesimpulan dari mana, tapi itulah yang terlintas di benaknya. “Hm… ya terserah kamu saja lah.” Gani akhirnya menyerah. “Yang pasti, jangan tergoda sama tampang!” “Iya, iya. Sudah, sudah, bubar!” Aidan mengusir Gani dan Sabil. Aidan masuk ke kamarnya, menutup pintu, menghempaskan tubuhnya ke kasur. Ia menghembuskan nafas kuat-kuat. Aidan diam beberapa saat. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya. Lalu, tiba-tiba ia terbangun. Mengambil sebuah buku tulis dari lemari. Buku itu berisi kliping koran. Ada cukup banyak berita koran yang ditempel di sana. Aidan membuka-buka lembarannya, membaca dalam diam judul-judul berita itu. Penggelapan uang berkedok pembangunan ruang NICU terbongkar. Dokter spesialis anak berinisial WA diduga pelaku penggelapan uang berkedok pembangunan ruang NICU. Sidang penggelapan uang digelar hari ini! Dokter WA ditetapkan sebagai terdakwa. Begitulah sebagian judul-judul berita dari koran delapan tahun lalu yang ditempel di buku tulis yang dipegang Aidan. Seketika, wajah laki-laki itu berubah gelap. Ekspresinya mengeras. Rahangnya mengatup rapat. Aidan meremas tepian buku itu sekuat tenaga. Menjadikannya kusut. Ia seolah sedang menyalurkan seluruh amarah ke kedua tangannya. Aidan tersadar dengan tindakannya. Ia segera menutup buku itu, memasukkannya kembali ke lemari. Cepat-cepat ia menguasai diri, sebelum api amarah menjalar hingga ke kepala. Aidan memejamkan matanya, menarik nafas dalam, menghembuskannya perlahan. Perlahan, gemuruh di dadanya mereda. “Waktu tidak pernah mengungkapkan kebenaran. Kita yang mengetahui kebenaran itulah yang harus mengungkapkannya.” Aidan bergumam sembari menerawang menatap langit-langit kamarnya. *** “Pagi, Ra.” Aidan menyapa Nera yang duduk di gazebo kampus. Ia duduk di sebelahnya tanpa permisi. “Eh, pagi, Kak.” Nera menoleh sekilas. Lalu kembali ke laptopnya. Ia sedang mempelajari proposal Neomicin tahun lalu. “Yang lain belum datang?” Aidan terlihat celingukan. “Belum. Nggak apa-apa, masih ada waktu tiga puluh menit lagi.” Nera melirik jam di laptopnya. Mereka punya janji bertemu dokter Anita pukul sembilan. “Kamu lagi ngapain?” Aidan melirik laptop Nera. “Ah, lagi baca proposal tahun lalu.” Jawabnya datar.  Nera memang tidak begitu tertarik mengobrol dengan orang lain. Baginya, orang-orang yang bertemu dengannya selalu punya dua wajah. Wajah yang mereka tunjukkan padanya, dan wajah yang mereka sembunyikan dan hanya tersingkap saat berpaling darinya. Setiap kali mengingat wajah kedua itu, Nera selalu enggan beramah tamah dengan orang lain. Untuk apa? Mereka semua munafik. Saat ia bersikap baik, ia justru dicurigai. Sedangkan saat ia bersikap dingin, ia malah dijadikan bahan gosip. Jadi sekalian saja bersikap seadanya. Pagi hari, suasana sejuk dan segar melingkupi Aidan dan Nera. Taman rumput yang hijau terlihat berkilau dari tempat mereka duduk. Beberapa mahasiswa terlihat lalu lalang di sekitar mereka, beberapa ada yang juga duduk di salah satu gazebo kosong. Tiba-tiba, suara semilir angin terdengar lebih jelas di telinga Nera. Ia tersentak. Menoleh ke samping. Di sanalah, ia mendapati dua bola mata jernih milik Aidan sedang menatapnya. Tak berkedip. “Ke-kenapa, Kak?” Nera mendadak merasa gugup. Sorot mata Aidan seolah menenggelamkannya. Aidan tak menjawab, masih terus menatap Nera. Nera menelan ludah. Jarak mereka cukup dekat, ia bahkan bisa melihat pantulan bayangan dirinya di kedua bola mata Aidan. “Kak Aidan?” Panggil Nera tegas. Suaranya sedikit lebih keras. Ia memilih untuk tak terhanyut dengan serangan tatapan sendu yang memabukkan itu. Aidan menghela nafas pelan. Lalu mengalihkan pandangannya. “Sepertinya, Tuhan sedang senang saat menciptakanmu.” “Maksudnya?” “Kamu nggak nyadar?” Aidan membulatkan matanya. Menatap lurus ke manik mata Nera. Lihat dirimu, kamu mendekati sempurna, Ra. Cantik, pintar, cekatan, dan yang paling aku suka, kamu nggak suka basa-basi dan berlagak manja.” Aidan tersenyum. Garis matanya ikut melengkung. Nera mendengus. “Bukannya laki-laki lebih suka perempuan yang manja dan pandai bicara? Mana ada laki-laki yang suka perempuan dingin dan ketus?” “Siapa memangnya yang ketus dan dingin itu? Kamu?” “Eh?” Nera jadi serba salah. “Jangan bilang kamu menganggap dirimu persis seperti anggapan orang-orang?” Nera menelan ludah. Sebenarnya ia samar-samar tahu bahwa teman-teman di sekitarnya sering mengeluh tentang sikapnya yang ketus. Bahkan ada beberapa teman laki-lakinya yang menganggap dirinya sombong. Padahal, ia hanya malas berurusan dengan orang lain. Ya, sudah lama Nera merasa tak perlu berhubungan terlalu akrab dengan orang lain. “Wah, ternyata benar!” Aidan mengangguk-angguk. Nera melengos. “Tetap saja, laki-laki lebih suka perempuan yang manja.” Ia kembali ke laptopnya. Segera menyibukkan diri dengan proposal Neomicin. Dalam hati, ia bahkan mendengus. Tak percaya dengan dirinya yang sibuk mengobrol hal tak penting dengan Aidan. “Hm, benar juga. Sebagian besar laki-laki memang suka perempuan yang manja. Tapi, perempuan yang terlihat tegar juga punya daya tarik sendiri.” Lagi-lagi Aidan tersenyum, menatap Nera dalam. Nera yang tak sengaja langsung menoleh, sekali lagi merasa terperangkap dengan tatapan itu. Namun, ia cepat-cepat menguasai diri. “Wah, bahaya!” Gumamnya. “Kenapa, Ra?” “Kalian udah dari tadi?” Beruntung, Wina tiba tepat waktu. Gadis berkerudung panjang itu ikut bergabung. Duduk di sebelah Nera. “Lagi apa, Dek?” “Cuma baca-baca proposal tahun lalu, Kak.” Wina mengangguk. Tak lama kemudian, Izza juga datang. Pukul sembilan tepat, mereka masuk ke ruangan dokter Anita. Wanita berkerudung rapih itu menyambut empat mahasiswa yang beberapa bulan ke depan akan sering ia temui. *** “Wah, nggak nyangka usulanmu bakal direalisasikan, Ra.” Aidan menjajari langkah Nera. Mereka baru saja keluar dari ruangan dokter Anita. “Usulan yang cukup mudah, Kak.” Jawabnya setengah tak peduli. Ia melirik ke belakang. Izza dan Wina tampak sibuk mengobrol. “Bukan, aku bicara soal babak penyisihan yang dilakukan online.” “Oh itu…” Rupanya, usul itu sudah hampir direalisasikan tahun lalu. Tapi, karena saat uji coba sering terjadi kendala, maka rencana itu dibatalkan. Tahun ini, setelah perbaikan dan penyempurnaan di sana sini, rencana itu diharapkan bisa direalisasikan agar memudahkan banyak pihak. “Kamu ada kelas setelah ini?” Aidan masih mengajak Nera bicara. “Iya, Kak.” “Oke. Aku juga ada kelas sampai sore. Sore nanti kita rapat sebentar, ya? Menyamakan persepsi, mematangkan rencana, lalu mulai menyusun proposal. Proposal butuh segera dapat persetujuan, buat dikirim ke pihak sponsor.” “Oke, Kak.” Nera menjawab singkat. Bukan karena ia jengah dengan Aidan yang terus mengajaknya bicara. Tapi, karena ia risih dengan tatapan puluhan pasang mata yang sejak tadi berpapasan dengannya. Aidan memang cukup populer di kampus Fakultas Kedokteran. Selain karena jabatannya sebagai ketua BEM FK, juga karena wajahnya yang tergolong tampan dan prestasi akademiknya. Maka tak heran setiap mahasiswa yang berpapasan dengan mereka, tampak tertarik melihat keakraban Aidan dan seorang adik tingkat yang juga terkenal berparas menawan namun dingin dan tertutup itu. Untungnya, jarak antara ruangan dokter Anita dan ruang kelas Nera tak terlalu jauh. Mereka sudah tiba di tangga menuju ruangan yang akan dipakai Nera mengikuti kelas. “Kak, kita naik dulu, ya.” Nera sudah berdiri di sebelah Izza. Mereka adalah teman seangkatan. “Iya. Sampai ketemu nanti sore.” Aidan tersenyum. Nera dan Izza balas tersenyum. Mereka balik kanan, gegas menaiki tangga. “Ra!” Tepat di anak tangga yang pertama, Aidan memanggil Nera. Mau tak mau, gadis itu menoleh. “Ya, Kak?” Aidan maju beberapa langkah. Mempersempit jaraknya dengan Nera. Kini, mereka berhadapan dalam jarak kurang dari setengah meter. “Jangan terlalu menghiraukan anggapan orang-orang tentangmu. Jadilah dirimu sendiri, Ra.” Ucapnya sembari tersenyum. Lagi-lagi, Aidan melancarkan serangan tatapan dalam nan sendu. Nera tak merespon, ia segera berbalik dan melanjutkan perjalanan. “Bahaya. Tadi itu sangat bahaya.” Gumamnya sembari terus menenangkan hatinya. “Wah, tadi itu apa, Ra?” Izza tersenyum menggoda. Mereka berjalan cepat menuju ruang kelas. “Apanya?” “Kamu sama Kak Aidan.” “Kenapa?” Nera memilih pura-pura bodoh. Ia sangat malas meladeni Izza yang sudah siap menggodanya. “Dih, pura-pura nggak tahu.” Izza menyenggol lengan Nera pelan. “Kak Aidan kayak perhatian banget sama kamu. Kalian deket, ya?” “Sebatas urusan kegiatan kampus aja.” Nera menjawab datar. Beberapa langkah lagi mereka akan tiba di ruang kelas. “Hm, nggak yakin, deh.” Nera tak menggubris. Ia berjalan cepat, bergegas masuk ke ruang kelas yang sudah hampir penuh. Melepaskan diri dari Izza yang terlihat belum selesai menggodanya. Dan sayangnya, gadis itu benar-benar belum selesai mengganggu Nera. Karena Izza bahkan memilih duduk di sebelah Nera. “Kenapa duduk di sini?” Tanya Nera heran. Ia memasang wajah tak suka. Padahal, ia sudah memilih duduk di kursi barisan paling belakang. “Kenapa, sih? Nggak boleh?” Izza pura-pura ketus. Tetap duduk di sebelahnya. Jauh di sudut hati Nera, ia senang Izza tak peduli dengan sikap ketusnya. Gadis itu juga menarik dijadikan teman bicara. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis tersemat si wajah Nera yang ayu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD