4

1693 Words
“Nggak perlu, Kak.” Nera menolak dengan cepat. “Nggak apa-apa. Ayo, aku antar aja.” Aidan tersenyum. Melangkah lebih dulu. “Lagipula, kalau aku tahu rumahmu, akan memudahkan urusan kita nanti.” Nera mengerutkan alis. “Maksudnya?” Ia mulai bersikap waspada. Saat ini, di matanya, Aidan terlihat seperti laki-laki yang biasa mendekatinya. Ia sudah hafal dengan tipe laki-laki yang bersikap begitu. Pura-pura hendak mengantarnya, mengajak ngobrol, lalu menggodanya terang-terangan. Aidan menoleh, menghentikan langkahnya, balik badan. Menghadapkan seluruh tubuhnya ke Nera. Ia tersenyum tertahan.. “Aku tidak punya niat buruk, Ra. Lihat ekspresimu sekarang, melihatku seolah aku adalah predator yang sedang mengincarmu.” Ia tergelak. Nera mengangkat alis. Matanya yang jernih membulat. Sedikit terkejut dengan reaksi Aidan. Biasanya, setiap laki-laki yang berusaha mendekatinya kemudian mendapati dirinya memasang ekspresi waspada dan dingin, mereka akan segera melangkah mundur sambil menggerutu. Jika tidak beruntung, keesokan harinya nama Nera akan jadi bahan gosip. Cerita asli yang terjadi ditambah-tambahi, dibumbui, sampai rasanya sudah tidak masuk akal lagi. Aidan masih tersenyum. Ah, laki-laki itu memang sering terlihat ramah dan hangat. Ia melangkah maju, memangkas jarak antara dirinya dan Nera. “Ke depannya, kita akan sering bertemu. Karena kamu ketua pelaksana Neomicin, dan aku ketua BEM. Saling mengetahui tempat tinggal masing-masing menurutku bukan hal yang buruk.” Ia mengangkat bahu. Merasa jalan pikirnya cukup sederhana hingga sikap Nera terlihat berlebihan baginya. Tapi, Aidan berusaha memahami gadis berambut lurus di hadapannya itu. Nera terdiam. Angin senja berhembus, memainkan anak rambutnya, membelai pipinya. Ia menatap lurus ke depan. Aidan, laki-laki jangkung itu berdiri tepat di hadapannya. Masih tersenyum, wajahnya terlihat lembut sekaligus hangat. Semburat jingga di belakang tubuh Aidan, entah kenapa, membuat laki-laki itu terlihat lebih berkarisma. “Kalau kamu menolak, nggak apa-apa, Ra. Aku hanya menawarkan diri.” Drrtt… drrtt… Tepat sebelum Nera memberi jawaban, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Fatih masuk. “Ra, kamu duluan aja, ya? Sepertinya aku bakal pulang malam.” Begitu isi pesannya. Ya, jika jadwal pulang Fatih sama atau berdekatan dengan Nera, mereka sering pulang bersama. Fatih senang berkunjung ke rumah Nera, bertemu Angel dan berbincang sedikit dengan Bambang. Kemudian menyampaikan salam dari orang tuanya untuk orang tua Nera. Nera menghela nafas pelan. Sepertinya sudah menjadi takdir hari ini ia pulang dengan Aidan. “Oke deh.” Ia tersenyum tipis, menerima tawaran Aidan. “Hm? Apanya yang oke?”  “Katanya mau nganter?” Nera melangkah maju, menyamakan posisinya dengan Aidan. “Oh, oke. Ayo.” Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir motor. Aidan meminta Nera menunggu di luar tempat parkir, sementara ia mengeluarkan motornya. Tiin! Aidan membunyikan klakson pelan begitu tiba di samping Nera. Membuat Nera sedikit terkejut. “Ayo, naik!” Ajaknya. “Ah, aku lupa. Aku nggak punya helm, Kak.” “Oh gitu…” Aidan menggantung kalimatnya. Ia tampak berpikir sejenak. Tiba-tiba ia menjentikkan jarinya. “Ayo naik dulu. Di ruang BEM ada helm.” Nera menurut. Mendekati motor Aidan, naik lalu duduk di boncengannya. Aidan memacu motornya pelan. Menyapa beberapa orang yang juga sedang menuju gerbang utama untuk pulang. Setelah seperempat lingkaran luar area kampus mereka lalui, Aidan menghentikan motornya. “Tunggu di sini.” Laki-laki itu segera berlari menuju ruang BEM. Semenit, dua menit, lima menit. Aidan sudah kembali dengan membawa sebuah helm bogo berwarna toska. “Punya siapa, Kak?” Tanya Nera penasaran. “Anak-anak yang lembur di ruang BEM. Mereka pulang malam, nanti aku balik ke kampus. Bisa kukembalikan.” Aidan menyodorkan helm yang ia bawa. Nera agak ragu menerimanya. Sedikit merasa membebani dan merepotkan. Tapi, apa boleh buat. Ia tak mungkin berkendara dengan motor tanpa menggunakan helm. Bagaimanapun, keamanan dalam berkendara tetap nomor satu. Aidan kembali memacu motornya. Berjalan pelan di jalan setapak yang mengelilingi area kampus. Sore hari selalu terlihat lebih syahdu dibanding waktu lainnya. Langit yang bersemburat jingga, semilir angin yang membelai wajah, matahari yang mengintip seolah berpamitan hendak kembali ke peraduan menambah bumbu romansa hari di kala senja. Nera tak pernah menyangka, sore itu ia akan pulang berboncengan motor dengan Aidan.  “Ra…” Aidan memanggil. Motornya sudah melewati gerbang utama kampus. Sedang berhenti, menunggu waktu yang tepat untuk bergabung bersama iring-iringan kendaraan yang sedang melaju di jalanan depan kampus. “Ya, Kak?” Nera setengah berteriak, khawatir suaranya tak terdengar. “Dari mana kamu dapat ide untuk ngadain tour kampus, Ra?” Ban motor Aidan sudah menggilas jalanan beraspal. Melaju pelan. Menjelang malam, kendaraan seolah tumpah ruah memadati jalanan. “Hm? Oh itu… dari pengalaman, Kak.” “Pengalaman?” Aidan menoleh sekilas. Tangannya memutar kemudi ke kiri. Ban motor mengikuti. Mereka terlepas dari barisan kendaraan yang berjalan merangkak. “Iya. Dulu aku pernah jadi peserta Neomicin. Waktu itu berharap ada tour kampus, tapi nggak ada. Padahal aku pengen tahu gimana isinya kampus kedokteran itu.” Nera menjelaskan sembari sibuk menikmati pemandangan ujung bulat matahari yang semakin tenggelam. “Oh, iya. Kamu pernah jadi peserta, ya? Terus waktu itu gimana? Keliling sendiri?” Sepertinya Aidan berniat untuk mengobrol sepanjang perjalanan. “Iya.” Jawab Nera singkat. Ia memang tak terlalu suka mengobrol di atas kendaraan. Terutama motor. “Tapi, pasti lebih menarik kalau ada yang memandu berkeliling, ya, Ra?” Aidan menghentikan laju motornya. Lampu lalu lintas sedang menyala merah. “Iya. Meski sudah berkeliling, kami tetap nggak ngerti itu gedung untuk apa, yang itu apa, dan lain-lain.” Nera bicara sembari sibuk memperhatikan pengendara lain. Aidan terlihat mengangguk-angguk. “Oh, iya. Soal usulan babak penyisihan dilakukan secara online, kamu ada gambaran nggak pelaksanaannya gimana?” Lampu lalu lintas menyala hijau, suara klakson segera bersahutan, Aidan memutar gas. Melajukan motornya bersama puluhan kendaraan lain. “Ya, kayak ujian online biasa aja, Kak. Tiap soal diberi waktu, kalau sudah lewat nggak bisa dikerjakan lagi.” Aidan kembali mengangguk-angguk. “Kak, rumah saya lurus terus, ya.” Nera mengingatkan. Mereka sedang melewati pertigaan. Aidan menurut. Terus memacu motornya dengan stabil. “Tapi, seleksi online begitu perlu persiapan yang matang dan uji coba berkali-kali loh, Ra.” “Iya, betul. Tapi, sekali bisa digunakan, banyak sektor yang bisa dihemat. Tenaga, waktu, bahkan biaya.” Entah sudah ke berapa kalinya, Aidan lagi-lagi mengangguk setuju. Dan itu jadi terlihat lucu bagi Nera yang duduk tepat di balik punggung Aidan karena terjadi berkali-kali. “Rumahku masuk gang situ, Kak.” Nera menunjuk sebuah gang dengan gapura tinggi di depannya. “Oke.” Aidan mengacungkan jempol tangan kirinya. Tanda mengerti. Motor Aidan berbelok, memasuki jalanan sempit yang dilapisi paving block. “Rumah pagar kayu itu, Kak!” Nera berseru. Aidan melambatkan laju motornya. Berhenti tepat di depan pagar kayu rumah Nera. Nera turun dari boncengan, menyerahkan helm. “Makasih, Kak.” Katanya sembari tersenyum tipis. “Wah, rumahmu gede, ya?” Aidan terlihat takjub dengan bangunan rumah Nera. Tentu saja rumah itu terlihat menawan. Bangunan dua lantai dengan halaman sempit yang dihiasi rumput hijau dan beberapa tanaman hias, warna cat rumah yang didominasi krem dan cokelat kayu menambah kesan minimalis yang cantik, senada dengan pagar kayu yang menghias di bagian depan. “Iya. Orang tuaku kaya.” Jawab Nera datar. “Hm?” Aidan menatap Nera heran. “Kenapa?” “Biasanya, kalau orang sedang membanggakan hartanya tuh terlihat sombong. Tapi, apa kamu ini? Kenapa kamu justru terlihat sarkas?” “Entahlah.” Nera mengangkat bahu. “Ya sudah, Kak. Aku masuk dulu.” “Oke!” Nera melempar senyum, kemudian menghilang di balik pagar kayu. Aidan mengendurkan senyumnya ketika pagar kayu di hadapannya menutup rapat. Ia menggantung helm yang dipakai Nera di gantungan motor, kemudian kembali melajukan motornya. Membelah jalan, memasuki kerumunan yang seperti tak berniat untuk bubar. *** Langit sudah mulai gelap, matahari menyelesaikan tugasnya hari itu dengan baik. Ia telah kembali ke peraduannya. Meninggalkan semburat merah di cakrawala. Aidan menatap langit yang kemerahan, sementara bibirnya tersenyum tipis, tangannya sibuk memegang kemudi. Motor bebek miliknya berbelok, memasuki halaman sebuah rumah dua lantai bercat putih. “Baru pulang, Dan?” Seorang laki-laki berkaos oblong dan celana pendek menyapa. Ia juga baru saja masuk ke halaman rumah kos itu. Tangan kanannya menenteng kresek hitam. “Iya.” Aidan melepas helmnya. “Dari mana?” “Beli makan.” Jawabnya sembari mengacungkan kresek hitam di tangannya. “Kamu sudah makan?” “Belum. Gampang.” Aidan menjajari langkah laki-laki itu, berjalan beriringan memasuki pintu rumah kos. “Nih, makasih helmnya, Bil.” Ia menyerahkan helm bogo berwarna toska yang tadi dipakai Nera. “Iya, sama-sama. Buat apa, sih? Tumben banget pinjem helm?” Senyum Aidan mendadak merekah. “Ada deh…” jawabnya penuh misteri. “Mencurigakan.” Sabil memicingkan mata. Menatap kawannya lekat-lekat. “Hahaha!” Aidan justru tergelak. “Dah, sana masuk kamar!” Mereka sudah tiba di kamar Sabil. Kamar mereka bersebelahan. “Kamu… lagi PDKT sama cewek, ya?” Rupanya Sabil sangat penasaran dengan alasan Aidan. “Hm?” Aidan mengangkat alis. Senyumnya belum pudar. “Bisa dibilang begitu.” Mata sipit Sabil melebar seketika. Yah, tidak lebar-lebar amat, tapi lebih lebar dari biasanya. Ekspresi wajahnya terlihat terkejut, lebih tepatnya terkejut yang dilebih-lebihkan. “PDKT sama siapa?” Tanyanya antusias. “Sama Nera!” Seorang laki-laki yang terlihat baru masuk ke rumah kos menyahut keras. “Hush!” Aidan mendelik. “Diam kau, Gan!” Hardiknya. “Aku lihat kalian bocengan tadi!” Gani tak mau kalah. Ia bicara sambil mengacungkan telunjuknya ke arah Aidan. Aidan meremas rambutnya. Runyam sudah. “Nera?” Sabil terlihat berpikir keras. “Adik tingkat persis di bawah kita, anak BEM juga.” Gani sudah bergabung dengan mereka. “Nera… Nera…” Sabil masih berpikir keras. “Nggak usah dipikir terlalu rumit. Sudah sana masuk kamar.” Aidan mengusir kawan-kawannya yang terlihat akan memulai gosip tentang dirinya. “Kamu follow dia di i********:, Bil.” Gani tak mendengarkan Aidan. “Oh!” Mata Sabil membulat, meski tidak bulat-bulat amat. “Nera yang selebgram itu?” “Iya!” Gani terlihat girang. Aidan menggigit bibir bawahnya. Habis sudah. “Wah, gila!” Sabil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Seleramu ketinggian, Dan.” “Terserah kalian!” Aidan tak peduli. Ia sudah memutar pegangan pintu kamarnya. Siap menghindari kawannya yang sudah menemukan bahan gosip baru. “Dia ‘kan terkenal ketus dan dingin, Dan. Kamu yakin mau PDKT sama dia?” Rupanya Sabil belum selesai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD