41 - Tiga Kehidupan

1630 Words
“Kenapa Om Pram masih berputar-putar di situ aja, sih?” Aidan menatap Pramana tajam. Wajahnya jelas mengekspresikan kekesalan yang meluap. “Padahal ‘kan sidang kedua juga si Bambang itu nggak bisa bawakan bukti apa-apa untuk menyangkal. Kenapa nggak dikeluarkan aja bukti yang aku kasih? Atau… Om Pram berniat untuk berkhianat?” “Wow, wow, wow!” Reza yang baru saja ikut bergabung segera berseru. “Tenangkan dirimu, Dan. Sudah berapa kali aku bilang, masalah seperti ini tidak akan bisa selesai kalau emosimu terus meledak-ledak begitu.” Pramana yang tetap duduk tenang meski disemprot oleh Aidan itu mengangguk. “Aku sudah memprediksi hasil sidang hari ini, Dan.” “Maksudnya?” Tanya Aidan, masih dengan raut wajah kesal. “Kau tahu? Hakim ketua yang memimpin sidang kasus kita itu sekutu Bambang.” “Apa?!” Aidan mendelik. Terkejut bukan main. “Karena itu, aku sengaja mengulur waktu. Meski dari sidang hari ini aku sudah tahu bahwa Bambang tidak bisa banyak bergerak, tapi apapun hasil sidangnya, hakim ketua tetap akan mengadakan sidang tambahan.” Jelas Pramana dengan ekspresi datar. “Tentu dia ingin memberi waktu tambahan untuk Bambang supaya dia tetap bisa memenangkan kasus ini.” “Gila!” Pekik Aidan kemudian, setelah sadar dari keterkejutannya. “Om Reza juga tahu?” Reza mengangguk. “Lawan kita bukan lawan yang mudah, Dan. Karena itu Om harap kamu bisa lebih bersabar. Belajarlah untuk mengendalikan emosimu.” Lanjutnya tenang. Aidan jadi merasa bersalah. Ya, ia memang hanya memikirkan soal menang saja. Tanpa berpikir strategi apa yang tepat untuk mengalahkan lawan sekelas Bambang. Apalagi ternyata Bambang memiliki sekutu yang tak kalah kuat. “Sidang berikutnya adalah babak final. Saat ini, mereka pasti sedang bergerak menyusun strategi untuk menjatuhkan kita di sidang berikutnya.” Pramana membeberkan prediksinya. Aidan dan Reza mendengarkan dengan seksama. “Dan jika prediksiku benar, di sidang berikutnya, semua sekutu Bambang akan memunculkan batang hidung mereka.” Saat ini, Aidan dibuat terkesiap oleh cara pikir Pramana. Rupanya, bukan kebetulan jaksa muda itu cukup ditakuti oleh lawan saat sidang. Meski terhitung pemula, laki-laki itu memiliki pola pikir yang cukup detail dan penuh perhitungan. Setiap tindakannya selalu memiliki alasan dan tujuan. “Nah, saat itulah aku akan menyerang mereka sekaligus.” Pramana melanjutkan. Aidan dan Reza mengangguk paham. Kali ini, Aidan sangat setuju dengan rencana Pramana. Itu strategi yang cantik. Karena dengan menyerang lawan yang sedang berkumpul bersama, akan menghemat amunisi dan tenaga. Sekali tebas, dua-tiga kepala terpenggal. Sekali peluru melesat, dua-tiga musuh tumbang. “Tapi, apa kamu yakin mereka benar-benar tidak mengetahui soal bukti yang kita miliki?” Tanya Reza. Itu pertanyaan yang masuk akal. Bisa jadi hasil sidang berikutnya justru terbalik jika pihak Bambang mengetahui senjata terbaik Pramana. “Menurutku tidak. Seharusnya tidak.” Kalimat Pramana terdengar tegas. Entah memang ia yakin akan kemampuannya atau ia juga sedang meyakinkan diri. “Ah… iya. Kamu pernah cerita soal flashdisk ini pada ibumu, Dan?” Kali ini ia menoleh pada Aidan. Aidan menggeleng. “Bagus. Jadi selain kita bertiga seharusnya tidak ada yang tahu soal ini.” Sekali lagi, Aidan dan Reza mengangguk bersamaan. “Serius banget ngobrolnya?” Seorang wanita dengan rambut kuncir kuda terlihat keluar dari dalam rumah dengan membawa nampan. “Hahaha, sudah selesai, kok.” Reza yang menjawab. “Kalau gitu, selamat atas kemenangan sidang hari ini juga.” Wanita itu tersenyum sumringah. Tangannya sigap memindahkan piring-piring berisi camilan dan gelas-gelas air. “Masih terlalu dini untuk menerima selamat.” Jawab Pramana sembari tersenyum tipis. “Eh? Masih ada sidang lagi? Belum selesai?” Kedua bola mata wanita itu membulat. Tiga orang laki-laki yang duduk di ruang tamu menggeleng serempak. “Wah, kalau gitu selamat bekerja lagi.” Wanita itu nyengir. Memamerkan barisan giginya yang rapih. “Tenang saja, rumah ini selalu terbuka untuk kalian.” Ujarnya tulus. Aidan tersenyum, pun Pramana. Setelah berbulan-bulan saling bekerja sama, mau tak mau perasaan terikat satu sama lain itu memang muncul. Seperti Aidan yang sudah menganggap Reza seperti Omnya sendiri. Pun Reza, menganggap Aidan seperti keponakannya sendiri. Tapi, entah bagaimana dengan Pramana. Ia menganggap Reza dan Aidan sebagai klien atau sedikit lebih daripada itu, tidak ada yang tahu. *** Atmosfer ketegangan tak hanya sempat mengudara di ruang tamu Reza, tapi juga terjadi di ruang tengah rumah keluarga Bambang Herlambang. Semenit lalu, Nera baru tiba di rumah. Ia segera menyemprot ayahnya. Menumpahkan kekesalan yang selama ini ia tahan. Tapi, seperti es yang terkena cahaya matahari yang hangat, Nera segera meleleh begitu Bambang memeluknya erat. “Maafkan ayah, Nak…” Bisik Bambang di sela isak pelannya. Nera menelan ludah. Permintaan maaf itu terdengar tulus. “Kalau bukan kalian, siapa lagi yang akan mendukung ayah di situasi seperti ini? Ayah… hanya punya kalian.” Bambang terus terisak. Seolah hatinya benar-benar terasa nyeri. Seolah hidupnya selama ditinggalkan oleh anak dan istrinya benar-benar kesepian. Entahlah, tak ada yang tahu itu benar atau tidak. Hati orang, siapa tahu? Nera melepas pelukan ayahnya. Ia ingin memastikan bahwa tangisan itu benar-benar tangis penyesalan. “Ayah yakin kamu sudah tahu apa yang terjadi di luar sana.” Bambang mengusap wajahnya. Menatap putri bungsunya dengan mata yang berlinang air mata. “Karena itu, jangan tinggalkan ayah, Nak. Ayah butuh kalian.” Bambang tergugu. Kepalanya tertunduk dalam. Nera terlihat ragu, ia melirik mamanya yang sejak tadi terdiam menyaksikan adegan ayah dan anak itu. Wanita itu mengangguk, matanya ikut menyorot sedih. Nera maju selangkah. Kini, gilirannya untuk memeluk sang ayah. “Ayah mau berjanji?” Bisiknya dengan suara serak. Sepertinya ia juga sedang menahan tangisannya. “A-apa?” “Jangan ulangi lagi.” Meski serak, suara Nera tetap terdengar tegas. “Te-tentu saja, Nak. Tentu saja. Maafkan ayah, sungguh maafkan ayah, Nak.” Bambang mempererat pelukannya. Tangisnya semakin pecah. Ia tak pernah tahu, sebelum hari ini, bahwa dukungan orang-orang yang ada di sekitarnya benar-benar memberikan energi luar biasa. Ini… agak berbahaya untuk kubu Pramana. Karena kini kondisi Bambang benar-benar prima. Energinya, tenaganya, kemampuan otaknya, semua telah diisi daya oleh kasih sayang keluarganya. Tak ada lagi yang bisa mengahalangi Bambang untuk mencapai tujuannya. *** Matahari sudah sempurna tenggelam saat Fatih tiba di rumahnya. Rupanya, ayahnya itu juga sudah tiba di rumah. “Baru pulang, Tih?” “Iya, Pa. Tumben Papa sudah di rumah jam segini?” Bapak dan anak itu saling bertegur sama di ujung anak tangga, sebelum Fatih naik ke kamarnya. “Iya. Nggak banyak kerjaan di rumah sakit.” Fatih mengangguk. “Fatih naik dulu, ya?” “Iya. Habis mandi langsung turun buat makan, ya?” Farhan berpesan. “Eh? Fatih udah makan.” “Oh, ya sudah kalau gitu.” Fatih segera berlari naik ke atas. Meletakkan barang bawaannya. Kemudian mandi. Meski sudah makan, ia tetap berencana akan turun saat waktunya makan malam. Ini hari yang cukup langka. Hari di mana orang tuanya pulang cepat ke rumah sampai bisa makan malam bersama di rumah. Karena itu, ia tak ingin melewatkan kesempatan berkumpul bersama keluarga seperti hari ini. Satu jam berlalu, Fatih sudah membersihkan diri dan merapikan kamarnya. Samar-samar ia mendengar bunyi alat makan yang beradu. Gegas Fatih turun. Orang tuanya pasti sedang menyantap makan malam. “Loh, katanya sudah makan?” Tanya Farhan begitu melihat putranya muncul dari balik tembok yang menempel ke tangga. “Iya nggak apa-apa. Fatih pengen gabung. ‘Kan jarang-jarang kita makan bareng gini.” “Nah, duduklah.” Mamanya mempersilakan. “Kalau kamu jadi tergoda buat makan lagi, ambil sendiri, ya?” “Siap, Ma!” “Tadi makan apa?” Farhan membuka topik obrolan. Sepertinya bakat kecerdasan linguistik Fatih itu didapat dari sang ayah. Farhan selalu bisa menghidupkan suasana dengan obrolan-obrolan hangat. Ia juga pandai mempersuasi orang lain, termasuk pasien-pasiennya. Memainkan kata-kata untuk menjaga interaksi yang baik dengan orang lain. “Makan bakso. Sama Nera.” Jawab Fatih singkat. Ia mencomot ayam goreng yang tersaji di tengah meja makan. Aromanya menggoda sekali. “Oh, terus nganter dia juga ke rumahnya?” “He’em.” “Ketemu Om Bambang, dong?” Fatih menggeleng. “Cuma sampai depan rumah doang.” Farhan mengangguk-angguk. Menyuapkan nasi ke mulutnya dengan tangan. “Tih…” Panggil Farhan, setelah mengunyah dan menelan suapannya barusan. “Hm? Kenapa, Pa?” “Kamu… naksir anak Om Bambang, ya?” “Uhuk… uhuk…” Fatih tersedak ayam goreng. Entah karena daging ayam gorengnya terlalu cepat meluncur ke depan kerongkongan atau karena terkejut mendengar pertanyaan Farhan. Farhan mengangguk-angguk. “Apa, Pa? Kok ngangguk-ngangguk?” Fatih mendelik. Di seberang meja makan, mama Fatih sudah sibuk menahan tawa. “Papa sudah tahu jawabannya.” Jawab Farhan tenang. “Hah? Apa, sih? Fatih aja belum jawab.” Tiba-tiba, laki-laki berkacamata itu jadi panik. Meski ia tidak tahu alasan kepanikannya. “Fatih…” Farhan menyentuh pundak putranya, mencengkramnya sedikit erat. “Kamu tahu? Manusia itu tidak melulu berbicara dengan bahasa verbal. Ada bahasa lain yang bisa jadi alat komunikasi.” Fatih semakin panik. “Papa bicara apa, sih?!” Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan papanya. Namun, gagal. Farhan tak berniat melepaskannya. “Ada yang namanya bahasa tubuh. Pasti kamu tahu. Bukan hanya gestur tubuh, sikap, tapi juga eksrpesi wajah. Ekspresi wajah juga ada mikro dan makro. Kamu paham sekarang kenapa papa bisa tahu jawabanmu bahkan sebelum kamu bicara?” Farhan menatap putranya lekat. Fatih tak menjawab. Tapi ekspresi wajahnya sudah menunjukkan segalanya. Ia terlihat persis seperti seseorang yang tertangkap basah. Farhan melepaskan cengkramannya. Kembali fokus ke piring makan malamnya. “Jadi gimana? Kamu sudah bilang?” Tanya Farhan. “Bilang apa?” Fatih justru bertanya balik. “Soal perasaanmu.” Fatih terdiam beberapa saat, bahkan gerakannya terhenti. Lalu, bibirnya mulai bergerak. “Nera… sudah punya pacar.” Jawabnya lirih, bahkan terdengar sedih. Farhan menghela nafas. Menepuk punggung putranya lembut. Memberi semangat. “Itulah, Nak. Pentingnya menyadari dan mengakui perasaan sendiri. Supaya kamu nggak keduluan.” Katanya mengingatkan. Hati Fatih terasa mencelos. Tapi ia mengangguk. Benar yang dikatakan papanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD