40 - Persiapan

1656 Words
“Bagaimana bisa sidang kedua juga begini?!” Bambang berteriak berang di ruangannya. “Pramana… sialan kau!” Brak! Bambang menggebrak meja. Meluapkan amarahnya yang meletup-letup. “Tenang dulu, Pak…” Danu, asisten yang merangkap sebagai sekretaris Bambang yang sejak tadi berdiri mematung akhirnya maju meski takut-takut, hampir menyentuh tangan atasannya. Namun, dengan cepat ditepis oleh Bambang. “Bagaimana aku bisa tenang, hah?! Kita kalah dalam dua kali sidang!” Mata Bambang melotot marah. Amarah berkobar di sana. “Benar kata sekretarismu.” Seorang laki-laki bertubuh tambun yang duduk di sofa ikut angkat bicara. “Kita harus tenang. Aku memberimu waktu satu kali sidang lagi bukan tanpa maksud. Pikir pakai otakmu, bagaimana caranya supaya kali ini kau juga menang.” Ya, ia adalah si hakim ketua. Sekutu Bambang. “Seharusnya tadi aku sudah bisa mengambil keputusan. Tapi aku menaruh harapan besar padamu untuk bisa memenangkan kasus ini. Kau mengerti?!” Hakim ketua itu melotot. Tapi, bola matanya tetap tidak terlihat membesar. Mungkin karena kelopak mata bagian bawahnya terdorong oleh pipinya yang mengembang. Bambang terdiam di posisinya, tak menjawab. Sejujurnya, ia sedikit sakit hati dengan kalimat si hakim ketua. Tapi, ditinjau dari sudut manapun, kalimat laki-laki tambun itu ada benarnya. Tak ada gunanya mengedepankan amarah dalam hal ini. Kesempatan yang mereka miliki tersisa satu kali lagi. Jika pada kesempatan itu mereka kalah, maka hancurlah semua. “Danu.” Panggil Bambang. “Ya, Pak?” Danu gegas mendekat. “Hubungi Dokter Baskara.” Bambang memberi perintah. Raut wajahnya terlihat lebih baik dari sebelumnya. “Ba-baik, Pak.” Danu segera meraih gagang telepon, menekan nomor telepon sembari melihat catatan. Tuuut… tuuut… tuuut… Bambang menatap asistennya. Ia yang akan bicara jika telepon itu sudah tersambung. “Halo?” Danu mulai bicara. “Tersambung? Berikan padaku!” Bambang mendekat. “Halo, Dokter Baskara.” “Halo, ada apa, ya? Saya sedang di jalan.” Suara di seberang sedikit tenggelam oleh suara bising kendaraan. Sepertinya benar bahwa ia sedang tidak berada di dalam ruangan. “Wah, kebetulan sekali. Kalau begitu, ke manapun tujuan Anda pergi, tolong ubah dan datanglah ke kantor firma hukum saya. Ada yang perlu kita bahas.” “Hm? Ini… siapa, ya?” Bambang melirik asistennya. Benar, gagang telepon sudah berpindah ke tangan Bambang sebelum Danu sempat memperkenalkan diri tadi. “Ah, maafkan saya. Saya Bambang Herlambang, pengacara yang menangani kasus Rumah Sakit Suka Sembuh.” “Oh… Pak Bambang!” Suara Baskara terdengar antusias. “Kebetulan sekali saya memang ingin mendatangi kantor Anda. Oke oke, saya akan tiba dalam lima menit.” “Bagus kalau begitu. Saya tunggu, ya.” “Oke.” Sambungan telepon terputus. Bambang terlihat menghela nafas lega. Urusan ini memang harus dipikirkan oleh banyak kepala. Mencari jalan keluar dari kemungkinan terburuk itu sungguh memusingkan. Lima menit lebih sedikit, Baskara benar-benar muncul di pintu masuk kantor Bambang. Danu gegas membukakan pintu. Sedikit membungkuk, mempersilakan tamunya masuk. “Apa kabar, Pak?” Tanya Baskara basa-basi. Ia mengulurkan tangan. Bambang menyambut uluran tangan itu. “Anda masih bisa bertanya kabar? Tentu saja tidak baik-baik saja.” Jawabnya sinis. “Oh? Maaf. Hahaha.” Baskara tertawa sumbang. “Tidak apa-apa. Silakan duduk.” Baskara duduk di hadapan si hakim ketua. Menyalami laki-laki tambun itu. Bambang ikut duduk di salah satu sofa kosong, pun Danu. “Dokter Baskara tentu tidak melewatkan siaran langsung sidang kasus rumah sakit anda, ‘kan?” Bambang langsung ke inti pembicaraan. “Tidak, tentu saja tidak.” Bambang mengangguk puas. “Harus itu. Meski rumah sakit itu sudah tidak lagi menjadi rumah sakit tempat Anda bekerja, Anda harus tetap menaruh perhatian. Karena apa? Anda tahu?” “Karena…” Baskara terlihat gugup. “Karena jika Pramana memiliki bukti bahwa Dokter Wirahadi tidak bersalah, kemungkinan terburuknya adalah kasus korupsi yang Anda lakukan delapan tahun silam juga bisa terungkap.” Bambang menatap tajam ke arah lawan bicaranya. Baskara menelan ludah. Ia tahu betul akan hal itu. “Ka-karena itu saya datang ke sini…” “Bagus. Jadi, ayo kita pikirkan bersama. Bagaimana cara mengalahkan jaksa muda yang sombong itu agar tidak lagi berani menampakkan batang hidungnya.” Bambang berseru gemas. *** “Kamu masih bertahan tinggal di hotel?” Tanya Fatih sembari menyuapkan sebuah pentol bakso berukuran kecil ke mulutnya. “Hm hm.” Nera menggeleng dengan mulut penuh bakso. Mereka sedang mampir ke warung bakso di pasar dekat kampus sebelum pulang. “Enggak, aku pindah ke penginapan. Terlalu mahal kalau di hotel, Tih.” Jawabnya setelah menelan makanannya. Sebenarnya, tadi Aidan menawarkan diri untuk mengantar Nera. Tapi gadis itu menolak. Ia masih sedikit kecewa dengan sikap Aidan tadi. Dan kekasihnya itu bahkan langsung menerima penolakan Nera. Aidan sama sekali tak membujuk Nera untuk menerima tawarannya. Karena itu juga Nera jadi makin kecewa dan kesal. Maka ketika Fatih tadi datang menjemput, ia mengajak untuk makan bakso. Untuk mengobati perasaan kecewanya, Nera menuang banyak sambal ke dalam kuah baksonya. Dan hasilnya sangat efektif. Ia jadi lupa dengan perasaannya. Sibuk kepedasan. “Terus, rencanamu kapan mau balik ke rumah?” Nera mengedikkan bahu. “Entahlah. Mungkin besok atau lusa.” “Kenapa, sih, kamu nggak balik aja ke rumah? Toh katamu waktu itu Om Bambang sudah nangis-nangis minta maaf, ‘kan?” Tanya Fatih penasaran. Nera menghela nafas pelan. “Ayah tuh bakal ngulangin lagi.” Keluhnya. “Apalagi penyebab ayah begitu karena kasus yang sedang dia tangani. Nggak akan butuh waktu lama buat kambuh lagi. Maunya sih aku nunggu sampai kasus ayah selesai. Tapi, kayaknya enggak. Kalau nunggu sampai kasus ayah selesai, bakal lama banget. Mungkin, sampai Kak Angel nggak takut lihat wajah ayah. Dan… mungkin aku mau lihat seberapa banyak ayah menyesal dan berusaha meminta maaf pada kami lagi.” “Wah…” Fatih menatap Nera kagum. “Kenapa?” Tanya Nera tak suka. “Luar biasa. Kamu tahu? Sifat keras kepalamu ini sangat mirip dengan Om Bambang.” “Heh! Sekarang kamu mengejekku dan ayahku sekaligus?” Nera mendelik. “Hahaha, becanda!” Fatih tertawa, lalu kembali menyendok baksonya. Nera melemaskan otot wajahnya. Tadi pun ia tak benar-benar marah. “Tapi beneran loh, Ra. Kalian tuh mirip, maksudku… sifat kalian mirip. Mungkin karena itu kamu dan ayahmu jadi sering berbeda pendapat. Biasanya orang yang sifatnya mirip justru sering bertolak belakang, ‘kan?” Fatih berpendapat. Menunjuk-nunjuk Nera dengan sendoknya. “Hm?” Nera tak terlalu merespons ucapan Fatih. “Mungkin.” Jawabnya tak acuh. Antara setuju dan tidak, sebenarnya ia pun tahu bahwa dirinya memiliki kemiripan sifat dengan sang ayah. Yah, buah ‘kan memang jatuh tidak jauh dari pohonnya. “Eh, Ra…” “Hm?” “Kamu nggak ngikuti kasus yang lagi ditangani Om Bambang?” Tanya Fatih. “Enggak. Buat apa? Aku udah sibuk ngurus acara Neomicin ini.” “Iya, sih. Tapi masa kamu nggak tertarik sama kasusnya? Kasus yang sampai bikin ayahmu ngamuk-ngamuk gitu.” Nera menggeleng. “Enggak. Sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Aku nggak tertarik. Lagipula, ayahku memang gitu, Tih. Kalaupun dia gagal memenangkan kasus ini, paling juga ngamuk-ngamuk sebentar terus nanti sembuh lagi kalau sudah dapat kasus baru. Ayahku ‘kan memang tempramen.” Fatih mengangguk. “Iya, sih. Tapi kasus yang ini beda, deh.” “Hm? Beda kenapa?” “Kamu tahu ‘kan isu yang bilang mungkin Om Bambang menerima suap untuk memenangkan sidang bertahun-tahun lalu?” Tanya Fatih hati-hati. “Oh, iya.” Nera jadi teringat kembali berita itu. Padahal, ia sengaja tidak mengaktifkan akun media sosialnya untuk melupakan dan menghindari komentar jahat yang mampir ke akunnya terkait kasus itu. Tapi, sekarang justru ia harus teringat lagi. “Aku… sedikit khawatir lawan ayahmu itu bukan hanya bisa memenangkan sidang tapi juga bisa menyerang ayahmu.” Fatih terlihat ragu-ragu. Tapi itu justru yang membuat Nera semakin penasaran. “Menyerang gimana maksudmu?” Kedua alis Nera bertaut. Ia sudah selesai makan dan bertanya usai meneguk air minumnya. Fatih tak langsung menjawab. Ia menghabiskan dulu makanannya. Sebenarnya, ia mengulur waktu. Agar ketegangan di antara mereka sedikit mereda. Namun, belum sempat Fatih mengeluarkan sepatah kata, ponsel Nera sudah berdering. “Mama?” Nera menatap layar ponselnya. “Halo, kenapa, Ma?” Ia menempelkan ponsel ke telinganya. “Di mana, Nak?” “Lagi… makan bakso di dekat kampus. Kenapa, Ma? Mama mau dibawain?” “Enggak, enggak.” Mama terdiam beberapa saat. “Kamu nggak perlu ke penginapan lagi, ya.” “Eh? Kenapa, Ma?” Wajah Nera berubah bingung sekaligus gelisah. Fatih yang melihat perubahan wajah sahabatnya itu memutuskan untuk urung melanjutkan percakapan mereka. Pendapatnya itu pasti akan melukai hati Nera. “Mama dan Kak Angel sudah pulang ke rumah.” “Apa?!” Nera tersentak. “Kenapa Mama pulang tanpa bilang sama Nera, sih?!” Gadis itu mendelik marah. Hampir saja ia berteriak jika tidak ingat bahwa mereka sedang berada di tempat publik. “Maafkan Mama, Nak.” Kalimat Mama kembali berjeda. “Kita… bicara di rumah, ya?” Nera mendengus kesal. Lalu menutup sambungan telepon tanpa mengucap salam. “Kenapa, Ra?” “Mamaku ternyata sudah pulang ke rumah.” Nera menjawab dengan bibir mengerucut. Ia sama sekali tidak berniat untuk menutupi kekesalannya. “Oh iya? Kok tiba-tiba?” Fatih membulatkan matanya. “Pasti Mama luluh sama air mata ayah.” “Hahaha, hati mamamu ‘kan memang lembut. Makanya mudah luluh.” Nera mendengus lagi. “Terus gimana? Mau kuantar pulang ke rumah sekarang?” Fatih memberi tawaran. Nera menggeleng. “Enggak.” “Lalu?” “Aku mau tambah lagi baksonya.” “Eh?! Kamu serius, Ra? Belum kenyang?” Fatih mengangkat alis. Benar-benar terkejut dengan pilihan reaksi yang ditunjukkan Nera. Ia mengira gadis itu akan mengajaknya berputar-putar mengelilingi kota sebelum kembali ke rumah. Menenangkan diri, memperbaiki mood. Nera mengangguk mantap. “Tadi kenyang, sekarang jadi lapar lagi gara-gara dengar kabar itu.” “Hahaha…” Mau tak mau, Fatih tergelak. “Awas nanti gendut, loh.” “Bodo amat!” Nera sudah beranjak dari kursinya. Berjalan mendekati gerobak bakso, memesan satu prosi lagi. Benar. Makan memang pilihan terbaik untuk memperbaiki suasana hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD