Kafe biru di malam hari, syahdu dan romantis. Cahaya lampu berwarna jingga keemasan membanjiri setiap sudut interior kafe, hiasan kayu diletakkan di sana sini, serasi dengan warna cat ruangan dan set meja-kursi pengunjung. Warna cokelat memang identik dengan kesan hangat dan nyaman. Membuat pengunjung betah, bahkan tak bosan untuk kembali dan kembali lagi di kemudian hari.
Nera dan Aidan baru saja tiba, duduk berhadap-hadapan di teras kafe. Seorang pramusaji menghampiri. Menyodorkan buku menu, kemudian memberi mereka waktu untuk memilih.
Aidan menunduk, membaca daftar menu yang ditawarkan kafe yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa ini. Meski ia sudah hafal menunya, rasanya tidak puas jika memesan tanpa membaca daftar menu.
Nera menatap Aidan yang masih sibuk memilih menu dan menulis di atas kertas memo. Cahaya lampu kafe menerpa rambut Aidan. Membuatnya berkilau.
Aidan mendongak. Tatapannya bersirobok dengan mata Nera. Gadis itu menahan nafas. Kedua bola mata Aidan terlihat berkilau indah, memantulkan bayangan kelip lampu kafe dan… dirinya. Bayangan Nera begitu mendominasi di bola mata Aidan. Seolah laki-laki itu hanya melihat Nera seorang. Tak ada yang lain.
Buru-buru Nera membuang muka, pipinya mulai terasa panas. Jantungnya bahkan berdegup tak karuan. Belingsatan.
Aduh, sepertinya gadis cantik itu jatuh cinta lagi.
“Kenapa, Ra?”
Suara merdu Aidan mengetuk gendang telinga Nera dengan lembut. Membuat gadis itu semakin salah tingkah.
Aduhai, atmosfer romantis di kafe biru memang tak tertandingi. Sangat kuat.
“Sudah pilih menunya, Kak?” Akhirnya, Nera mampu menguasai diri. Yah, meski pipinya masih bersemburat merah. Untungnya tak begitu kentara karena pencahayaan di kafe ini mampu menyamarkannya.
“Sudah. Kamu mau pesan apa?”
“Aku coba liat daftar menunya dulu.” Nera mengulurkan tangan, meminta buku menu.
Sebenarnya, Nera sudah tahu ingin memesan menu apa. Tapi, ia butuh menenangkan dirinya. Memperbaiki raut wajahnya. Dan satu-satunya cara saat ini adalah menenggelamkan wajahnya ke buku menu.
Buku menu, kertas memo dan pensil sudah berpindah tangan. Buru-buru Nera menutup sebagian wajahnya dengan buku menu. Menenangkan jantungnya, mendinginkan wajahnya.
Aidan tak menganggu kekasihnya. Ia memilih untuk memalingkan wajah, menikmati pemandangan malam.
Usai menulis semua menu yang ingin dipesan, Nera memanggil pramusaji. Menyerahkan kertas memo.
“Sudah selesai?” Tanya Aidan.
“Iya.”
“Gimana hari ini, seru?” Aidan membuka obrolan. Bibir tipis laki-laki itu melengkungkan senyum.
Nera mengangguk antusias. Matanya berbinar-binar. “Seru!”
“Persiapan berbulan-bulan nggak seseru hari ini, ‘kan? Ketika bertemu langsung dengan para peserta, menyaksikan mereka berlomba dengan antusias.” Aidan pun terlihat sama bahagianya.
“Iya, betul. Sebelumnya sering deg-degan. Bertanya-tanya gimana nanti realisasinya. Ternyata kalo sudah direalisasikan, lebih seru dari yang dibayangkan.”
Aidan masih tersenyum. Tangan kanannya terulur, menyentuh tangan Nera. Sepasang kekasih itu saling berpegangan. Aidan mengelus punggung tangan Nera dengan jempolnya.
“Kamu pemimpin yang hebat, Ra.” Ucapnya tulus. Angin malam bertiup pelan. Menggoyangkan rambut Aidan. Membuatnya terlihat dua kali lipat tebih tampan.
“Apaan, sih, Kak?” Nera tersipu malu. Tapi tak juga melepaskan tangannya. “Ini karena semua panitia bekerja sama dengan baik.” Lanjutnya merendah.
Aidan menggeleng. “Tim yang baik itu akan berjalan dengan sempurna jika memiliki pemimpin yang hebat. Tim yang baik, tanpa pemimpin yang baik, tidak akan berarti apa-apa.”
Nera mengulum senyum. Hatinya berbunga-bunga dipuji sedemikian tinggi oleh laki-laki yang disukainya.
“Dan juga… sepertinya persepsi teman-teman tentangmu mulai berubah. Benar, ‘kan?” Aidan mengangkat alis, bibirnya masih tersenyum tipis.
“Ah, itu… iya. Awalnya mereka terlihat nggak percaya aku bisa jadi ketua pelaksana. Beberapa bahkan jelas sekali meremehkanku atau menentang…” Nera mengenang kejadian berminggu-minggu lalu. “Tapi sekarang semua sudah membaik. Semua bisa bekerja sama dengan baik.” Nera membubuhkan senyum manis di akhir kalimatnya.
Aidan ikut tersenyum lebar. Mengusap punggung tangan Nera dengan jempol. “Pacar siapa dulu, dong?!” Selorohnya kemudian.
“Ih, Kak Aidan!” Nera menunduk dalam, sebelah tangannya menutupi wajahnya yang merona merah.
Aidan benar-benar lelaki yang berbahaya. Ia tak hanya pandai bermain dengan kata-kata, tapi juga lihai menerbangkan orang lain ke angkasa sebelum menjatuhkannya ke tanah. Entah, bagaimana semua kebohongannya itu sama sekali tak tercermin di wajah tampannya. Mungkin, itulah yang membuatnya terpilih sebagai ketua BEM. Kemampuannya mendekati orang lain, menggerakkan hati seseorang untuk menyukainya itu benar-benar anugerah.
“Ra…” Panggil Aidan lembut. Tiba-tiba, ia menatap Nera dalam. Bola matanya yang berkilau itu terlihat semakin indah.
“I-iya, Kak?” Nera jadi salah tingkah. Pipinya kembali memanas.
“Aku mencintaimu.” Bisiknya pelan. Tatapannya menghunjam jauh hingga ke relung hati Nera. Telak.
Nera menahan nafas. “Kak Aidan jahat!” Serunya tiba-tiba. Kini, ia sudah sibuk menutupi wajahnya yang terasa sangat panas.
“Loh, kok jahat?”
Nera tak menjawab, ia hanya sibuk mengatur nafas dan mengipasi wajahnya. Jantungnya? Tentu saja sudah jungkir balik sejak tadi.
Seorang pramusaji datang, membuyarkan atmosfer merah jambu di antara sepasang kekasih itu. Aidan melepaskan genggamannya. Nera sedikit kecewa. Tapi itu harus dilakukan. Malu juga dilihat pramusaji sedang bermesraan begitu.
Dua set menu utama dan dua gelas minuman sudah terhidang di depan mereka.
“Nggak pesan cemilan, Ra?” Aidan bertanya. Kedua tangannya mulai sibuk memainkan sendok dan garpu.
“Pesan. Mungkin sebentar lagi datang.”
“Ah, iya. Cemilannya mungkin akan datang sedikit lebih lama. Sedang kami siapkan.” Si pramusaji bicara sopan.
“Oke, nggak apa-apa, Mas.” Jawab Nera sambil tersenyum. Toh, saat ini yang penting adalah menu utama. Ia sudah lapar.
“Makan yang banyak, Ra. Siapkan diri untuk besok. Besok pasti jadi hari yang sangat melelahkan.” Aidan mengingatkan.
“Iya, Kak.” Jawab Nera dengan mulut penuh makanan.
***
Pukul sepuluh malam, kompleks perumahan elit itu sudah sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa rumah bahkan sudah terlihat gelap. Hanya lampu-lampu di ruangan tertentu yang menyala. Demikian pula di kediaman Farhan. Hanya tersisa lampu teras dan lampu di kamar Fatih yang menyala. Laki-laki itu sepertinya belum tidur.
Fatih baru saja beranjak dari kursi belajarnya. Mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, melakukan peregangan. Ia baru saja selesai mengerjakan laporan tentang pasien yang ditanganinya kemarin lusa. Masalah pasien itu cukup sederhana. Ada salah satu gigi gerahamnya yang sudah mati hingga menjadi kehitaman, perlu dilakukan pencabutan. Hanya saja, karena prosedur awal pemeriksaan adalah memeriksa seluruh kondisi gigi, Fatih jadi menemukan beberapa masalah lain. Yaitu impaksi gigi. Gigi geraham bungsunya tumbuh ke samping, hingga menabrak gigi yang ada di depannya. Hari ini, laporan tentang hal itu harus sudah selesai karena sok ia akan melaporkannya pada dokter gigi senior yang spesialis di bidang bedah gigi dan mulut.
Fatih melemparkan tubuhnya ke kasur. Pegal terasa di sana sini. Tapi tak ada waktu untuk terlalu memikirkannya. Kesibukannya semakin padat.
Fatih menghela nafas panjang. Memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Beberapa menit ia bertahan dalam posisi itu. Namun, tiba-tiba ia beranjak. Kembali duduk di kursi belajar. Kedua tangannya sudah kembali sibuk menari di atas tombol-tombol keyboard.
“Kasus penggelapan dana NICU tahun 2013.” Ia menggumamkan sesuatu.
Klik!
Telunjuknya menekan tombol ‘enter’. Seketika, puluhan bahkan ribuan berita berkenaan dengan kalimat yang ia ketikkan muncul di layar laptopnya.
Fatih memperbaiki letak kacamatanya, wajahnya berubah serius. Matanya fokus membaca baris demi baris kalimat yang tertera di layar laptopnya. Sementara tangan kanannya sibuk menari di atas touchpad laptopnya, tangan kirinya sesekali menyentuh tombol keyboard atau memegangi pelipisnya.
Setengah jam berlalu tanpa terasa, Fatih semakin antusias membaca berita demi berita. Sesekali ia menggigit bibir, miris dengan kenyataan yang terjadi saat itu. Fatih terus membaca, mencari berita yang berkaitan, hingga akhirnya ia tiba ke satu berita yang sangat jarang dikunjungi pengguna internet. Letaknya di halaman kesekian mesin pencari. Dan sepertinya, itu adalah satu-satunya berita yang berani memuat judul yang sangat kontroversial.
Kasus penggelapan dana rumah sakit adalah kasus yang sengaja dibuat untuk menutupi bobroknya kelakuan anak seorang pejabat daerah.
Begitu kalimat pertama dari berita kontroversial yang dibaca Fatih. Laki-laki itu terus membaca. Hingga sepuluh menit berlalu, Fatih sudah membuka lebih dari lima berita yang terkait dengan kasus kedua itu. Kasus pelecehan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anak seorang pejabat daerah. Kasus itu terjadi hanya berselang beberapa minggu sebelum kasus Wirahadi naik ke permukaan. Dan yang mengejutkan adalah, pengacara yang berhasil memenangkan kasus itu hingga si pelaku tak tersentuh tangan hukum adalah Bambang Herlambang!
Fatih menahan nafas. Tangannya menutup mulutnya yang ternganga lebar, saking terkejutnya. Bola matanya terlihat bergetar, tatapannya menyorot tak percaya.
“Ini gila…” Gumamnya pelan.
Perlahan, otak Fatih mulai menyatukan semua puzzle yang mungkin saling berkaitan. Jika diurutkan berdasarkan waktu kejadian, dimulai dari kasus pelecehan dan penganiayaan itu, kemudian kasus penggelepan dana yang menetapkan Wirahadi sebagai pelaku, dan terakhir kasus yang sama yang disidangkan kembali.
Fatih mengusap dagunya yang sedikit kasar. Kedua alisnya bertaut erat. Otaknya sedang bekerja keras. Dugaan-dugaan mulai muncul di kepalanya. Bahwa kemungkinan kasus-kasus itu saling berkaitan.
Tiba-tiba, terdengar suara televise dinyalakan dari bawah. Fatih segera beranjak keluar kamar, mengintip.
“Papa!” Pekiknya begitu melihat orang yang tengah duduk di ruang tengah.
“Hei, belum tidur?” Farhan mendongakkan kepalanya.
Fatih tak menjawab, ia gegas turun. Hipotesa yang ia pikirkan mungkin saja salah, tapi mungkin juga benar. Karena itu, ia butuh berbicara dengan orang yang sedikit tahu tentang fakta kasus itu di masa lalu.
“Ada apa?” Farhan mengernyit, mendapati putranya berlarian turun dari tangga hanya untuk menemuinya.
“Soal cerita Papa waktu itu…” Fatih sudah duduk di sofa, bersebelahan dengan Farhan. “Sepertinya ada alasan kenapa orang-orang yang Papa lihat itu ingin melenyapkan barang-barang Dokter Wirahadi.”
“Kamu masih tertarik dengan kasus itu, Tih? Sudahlah, itu sudah cerita lama. Atau… kamu tertarik karena berkaitan dengan Om Bambang?” Farhan menatap putranya penuh selidik.
Fatih menggeleng kuat. “Ini lebih rumit dari kelihatannya, Pa. Yah… karena Nera juga sempat mencemaskan sesuatu terkait kasus ini, sih.”
“Hm… memangnya kenapa?” Mau tak mau, Farhan ikut tertarik.
“Sepertinya, orang-orang yang Papa lihat waktu itu ingin melenyapkan bukti.”
“Hah? Apa maksudmu?” Alis Farhan semakin bertaut. Kini, kulit dahinya bahkan terlihat berlipat-lipat.
“BIsa jadi, kasus penggelapan dana itu sebenarnya adalah kasus yang sengaja diangkat buat menutupi kasus besar lainnya.” Fatih terlihat semakin antusias.
“Hei, kebanyakan nonton drama kamu, ya? Jangan bercanda, Tih!” Farhan memalingkan muka, kembali menatap layar televisi. Ia terlihat tak suka dengan opini putranya.
“Ini serius, Pa!” Fatih menarik lengan Farhan, meminta papanya kembali fokus pada dirinya. “Hipotesa itu justru mengaitkan semua kejadian, Pa.”
Farhan masih menatap putranya. Tak bereaksi apapun. Tapi, setitik kepercayaan mulai muncul di dalam dirinya.