48 - Bersiap

1792 Words
Hari Minggu, Bambang tidak bekerja di kantor, tapi ia tetap harus bekerja dari rumah. Urusan ini tidak bisa libur meski hanya sehari. Karena beberapa hari lagi, sidang lanjutan akan dilaksanakan. “Pak Handoko tidak membocorkan sedikit pun dokumen apa yang diminta untuk diselidiki oleh Pramana, Pak.” Danu menggeleng lemah. Sudah dua orang ia utus untuk menenui Handoko, menjalankan misi yang ditugaskan Bambang. Bambang menghela nafas panjang. “Ya sudah tidak apa-apa.” Suaranya terdengar lemah. “Dokumen yang aku minta sudah selesai semua?” Kemudian ia mengingatkan misi yang lain. “Ada beberapa yang sudah selesai, Pak. Beberapa lagi masih saya kerjakan.” Danu menunjuk laptop di hadapannya. “Oke. Selesaikan sebelum siang, ya? Kita akan langsung bertemu Baskara dan grafolog kenalanku.” “Grafolog? Untuk apa, Pak?” Danu mengernyit. Ini rencana yang baru ia dengar. “Aku berasumsi Pramana mungkin meminta Handoko untuk datang ke persidangan sebagai saksi ahli. Yah, meski selama ini Handoko jarang mengiyakan tawaran sejenis itu, tapi bisa jadi kali ini dia tiba-tiba setuju. Karena itu, kita juga harus punya saksi ahli di bidang serupa.” Jelas Bambang panjang lebar. Danu membulatkan mulutnya, kemudian mengangguk-angguk mengerti. Sepasang atasan dan sekretaris itu kembali ke pekerjaan masing-masing. Suasana di ruang kerja Bambang seketika hening. Hanya suara deru mesin pendingin ruangan yang terdengar. Namun, keheningan itu hanya bertahan beberapa menit saja. Karena menit berikutnya, tiba-tiba Nera masuk mendobrak pintu ruang kerja Bambang. Brak! Bambang sontak berdiri. “Nera!” Bentaknya kemudian. Ekspresinya jelas menyiratkan kekesalan. Di sana, di ambang pintu, Nera sudah berdiri tegak. Dadanya naik turun, nafasnya memburu. Jelas sekali ia sedang dalam suasana hati tak baik. “Siapa yang ngajari nggak sopan begini?! Kalau mau masuk ke ruang kerja ayah ketuk pintu dulu!” Bambang berseru keras. Menegur putrinya. Nera tak menggubris. Ia tetap melangkah masuk. “Hei, dengarkan kalau ayah bicara!” Nera mendongak. Menatap wajah ayahnya. Bambang seketika terhenyak. Wajah putrinya sembab. Matanya berair dan merah. “Ra? Kamu kenapa, Nak?” “Tolong bilang sama Nera, ayah nggak nerima suap atau sejenisnya, ‘kan?” Suara gadis itu parau. Ia bicara dengan wajah berurai air mata. Bambang bingung dengan pertanyaan putrinya. “Apa maksudmu?” “Ayah nggak baca berita? Nggak mungkin, ‘kan?” Tatapan Nera terlihat putus asa. “Tolong bilang sama Nera kalau berita-berita itu nggak benar!” “Ra, kamu bicara apa, sih?!” Sejujurnya Bambang tahu berita apa yang dimaksud putrinya. Tapi ia tak ingin ribut di dalam rumah. Jadi, ia berpikir bahwa pura-pura tidak tahu adalah pilihan terbaik agar urusan ini cepat selesai. “Kalau ayah beneran nerima suap…” Nera tak mengindahkan ucapan sang ayah. “Dan kalau sampai ketahuan, ayah bisa dipenjara, Yah!” Suara gadis itu memekik nyaring. Membuat sang mama yang ada di kamar Angel berlari tergopoh-gopoh ke ruang kerja Bambang. “Ada apa, Yah?” Tanyanya begitu tiba di ambang pintu. Ia semakin bingung melihat putri bungsunya menangis tersedu-sedu. “Tolong bawa Nera ke kamarnya, Ma.” Ujar Bambang pada sang istri. “Lepas!” Nera menepis tangan mamanya yang menyentuh lengannya. “Mama pernah tahu nggak dari mana uang yang ayah hasilkan untuk menghidupi kita?” Kini, ia menatap lekat mamanya. “Kamu sedang emosional, Nak. Ayo ke kamar dulu. Tenangkan diri dulu.” Alih-alih menjawab, mama justru menyuruh Nera masuk kamar. “Dengarkan Nera, Ma!” Bentak Nera keras. Membuat seisi ruangan terdiam. “Ayah…” Gadis itu berpaling, kembali menatap ayahnya. Kini, air matanya sudah tak lagi berurai. Entah ia tahan atau memang ia sudah berhenti menangis. “Kalau memang benar yang dikatakan berita itu, pastikan ayah nggak tertangkap.” Suaranya pelan, tapi nyata mengancam. Mama yang berdiri di sampingnya langsung terkejut. Putrinya itu tidak main-main. Sementara itu, di tempat Bambang berdiri, laki-laki itu sedang mati-matian menahan emosi. Tangannya mengepal kuat. Rahangnya mengetat. Apa yang dikatakan putrinya itu menghunjam tepat di dadanya. “Ayah nggak berpikir, bagaimana nasib kami kalau ayah sampai dipenjara, ‘kan?” “Nera!” Suara mama menghentak keras. Sontak membuat Nera menoleh. “Jaga ucapanmu!” Desis wanita itu pelan. “Ayah nggak akan masuk penjara.” Katanya penuh keyakinan. Nera bergeming, ia tak menyangka sang mama yang biasanya lebih banyak diam itu kini berteriak lantang membela Bambang. Nera menghela nafas panjang. “Yang pasti, Nera sudah mengingatkan. Sebaiknya ayah mendengarkan apa kata Nera.” Malas ribut, gadis itu akhirnya naik ke kamar tanpa harus diseret oleh mamanya. Melewati Angel yang terlihat ketakutan seorang diri di dalam kamar, mendengar keributan yang ia buat. Nera tidak berada dalam kondisi hati yang baik, jadi ia memutuskan untuk tidak mampir sekedar menenangkan kakaknya. Toh, sebentar lagi mamanya akan kembali ke kamar Angel. Nera berlari kecil menaiki anak tangga. Tangannya bergerak kasar, mengusap wajahnya yang masih basah oleh air mata. Bayang-bayang sang ayah meringkuk di penjara terus berkelebat sejak ia pulang dari car free day. Karena itu pula ia jadi tak bisa menahan emosinya. Saat mengetahui ada tamu yang datang dan tak terlihat di ruang tamu, Nera tahu itu adalah sekretaris ayahnya yang memang kadang-kadang datang untuk bekerja. Maka tanpa pikir panjang, gadis itu membuka pintu ruang kerja ayahnya dengan kasar. Bruk! Gadis itu melemparkan tubuhnya ke kasur. Lelah sekali rasanya. Seharusnya, sepulang dari berjalan-jalan dan makan enak di CFD, suasana hatinya semakin baik dan bayang-bayang kejadian manis di taman kota itu bisa sedikit ia lupakan. Yah, memang benar ia jadi melupakan kejadian itu. Sayangnya, justru digantikan oleh kemungkinan mengerikan yang membuat suasana hatinya jadi suram. Nera meringkuk di atas kasur, ia merogoh isi tasnya, mengambil ponsel. Klik. Seketika, layar ponselnya menyala. Ada sebuah pesan dari Fatih, bertanya sudah tiba di rumah atau belum. Beberapa pesan dari Izza, bicara soal urusan evaluasi kegiatan. Ia melempar ponsel sekenanya. Malas membalas semua pesan itu. Sudah berminggu-minggu Nera tidak mengaktifkan akun media sosialnya kecuali w******p yang memang ia butuhkan untuk berkomunikasi dengan banyak orang. Sejak berita tentang ayahnya ramai diperbincangkan, akun instagramnya sudah tak lagi aman, nyaman dan menyenangkan. Biasanya saat sedang dalam suasana hati yang buruk seperti saat ini, ia suka membuka i********:. Membaca komentar-komentar yang dikirimkan pengikutnya, membuat suasana hatinya membaik. Tapi saat ini, bahkan dunia maya pun sedang menghujat kehidupannya. Komentar-komentar baik dan mendukungnya masih tetap ada, tapi entah kenapa justru hujatan kebencian yang sering terlihat oleh matanya. Karena itu ia memutuskan untuk menarik diri dari dunia maya untuk sementara waktu. Nera membalikkan badannya. Menatap langit-langit kamarnya. Ia ingin menghubungi Aidan. Bertemu dengan kekasihnya itu pasti akan memperbaiki suasananya. *** “Semua persiapan sudah beres.” Ucap Pramana dengan senyum bangga. Ia menyilangkan kaki, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa ruang tamu apartemen Reza. “Wah, keren!” Aidan bertepuk tangan. Ia tak menutupi ekspresi kagumnya. “Tapi, ini baru permulaan. Kita tidak tahu apa yang sedang dilakukan Bambang. Tapi sepertinya ia sudah membayar banyak orang untuk mengikutiku.” “Beneran, Om?” Aidan mengangkat alis. Pramana mengangguk mantap. “Iya. Beberapa hari setelah aku mendatangi Pak Handoko, ada orang yang menemui beliau dan bertanya tentang kedatanganku.” “Oh ya?” Reza membulatkan matanya, meski tak terlihat bulat-bulat amat. “Kau tahu dari mana?” “Pak Handoko yang cerita.” “Wah, berarti beliau juga ada di pihak kita?” Reza jadi ikut-ikutan memakai kata ‘beliau’. “Dia akan berada di pihak yang benar.” Jawab Pramana cepat. “Sejak dulu, beliau tidak pernah melanggar prinsipnya. Itu yang kutahu. Beliau akan selalu berada di pihak yang benar. Berapapun uang yang ditawarkan oleh pihak yang salah, pasti akan beliau tolak. Aku sudah mempelajari sepak terjangnya. Karena itu aku mendatanginya. Ah, tentu saja selain karena beliau disegani dalam bidang keahliannya. Kredibilitas Pak Handoko dalam bidang keahliannya, benar-benar tidak bisa diragukan.” Aidan dan Reza mengangguk-angguk, puas sekali dengan kinerja Reza. “Ah, iya.” Reza teringat sesuatu. “Bagaimana jika pihak Bambang menemukan fakta tentang hubunganku dengan mendiang Dokter Wirahadi. Bukankah kesaksianku bisa saja diragukan?” Pramana menggeleng tegas. “Tidak akan.” “Maksudmu?” “Pertama, menurutku mereka tidak akan bisa menguak tentang hubunganmu dengan mendiang ayah Aidan. Itu hubungan yang sangat lama, dan pasien Dokter Wirahadi itu banyak sekali. Tidak hanya satu-dua bayi. Akan sulit melacak bahwa kamu mengenal baik beliau semasa hidupnya. Dan lagi, secara tertulis, kamu tidak memiliki hubungan apa-apa dengan beliau.” “Maksudnya…” “Maksudnya, kamu bukanlah saudara kandung atau saudara dekat mendiang.” “Ah, iya benar.” Reza mengangguk-angguk. “Lalu yang kedua, sekalipun mereka mengetahui soal fakta di masa lalu itu, seharusnya hakim tidak akan menerima alasan keberatan itu. Karena kamu punya sertifikat keahlian, dan nantinya kamu juga akan disumpah untuk memberi kesaksian yang benar. Jadi alasan meragukan kesaksianmu hanya karena kamu mengenal mendiang Dokter Wirahadi, seharusnya tidak akan diterima.” Pramana menggeleng tegas. “Syukurlah kalau begitu.” “Kalau itu benar-benar terjadi, aku harap kamu tetap tenang. Jangan melawan Bambang. Biarkan aku yang bicara. Kamu cukup menjelaskan soal kesaksianmu saja.” Pramana mengingatkan. Reza mengangguk mantap. Ia lebih dari paham, sidang berikutnya akan benar-benar jadi penentu kemenangan mereka. Sekali saja salah langkah, habis sudah. “Oh iya, Dan…” Pramana menoleh ke anak muda yang duduk di sebelahnya. “Dari mana kamu dapat flashdisk itu?” “Ah… saya menemukannya di kolong lemari di rumah saya.” “Rumahmu pernah terbakar?” “Eh?” Aidan mengangkat alis, bingung. “Enggak.” Jawabnya sembari menggeleng tegas. “Tapi flashdisk itu ditemukan dalam kondisi sebagian hangus terbakar.” Pramana seperti sedang bicara sendiri. “Kamu… pernah menceritakan soal flashdisk itu ke orang rumahmu?” “Sejak ayah masuk penjara, saya hanya tinggal dengan ibu saya. Tapi, soal flashdisk itu…”Aidan menggeleng. “Saya belum pernah cerita apapun ke ibu.” “Coba tanyakan, Dan. Mungkin ibumu tahu sesuatu.” Aidan mengangguk. “Baik, Om.” Pramana memajukan duduknya. Meraih cangkir tehnya, menyesap isinya perlahan. “Kita harus menggali sebanyak mungkin fakta, supaya argumen kita tidak lagi bisa dibantah. Harus diingat bahwa hakim persidangan kasus ini adalah sekutu Bambang. Dia pasti akan berusaha keras untuk memenangkan Bambang. Kecuali, jika posisi kita benar-benar sangat kuat dan publik mengakui itu.” Sekali lagi, Reza dan Aidan mengangguk. Sejenak, ruang tamu apartemen Reza hening. Dan di tengah keheningan itu, tiba-tiba ponsel Aidan berdering. Membuat semua orang menoleh padanya. “Ah, maaf.” Aidan merogoh sakunya. Mengeluarkan ponselnya yang berdering nyaring. Sebuah pesan masuk. “Kak Aidan ada waktu hari ini?” Dari Nera. “Siapa? Pacarmu?” Pramana tersenyum menggoda. “Hahaha, iya.” Usai membalas pesan Nera, Aidan buru-buru memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. “Saya… pamit dulu, ya?” Ia segera menghabiskan tehnya. “Mau ke mana? Kencan?” Pramana masih menggoda anak muda itu. “Ya, semacam itu lah. Om pasti juga pernah muda, ‘kan?” Aidan justru balas menggoda. Membuat seisi ruang tamu tertawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD