47 - Spekulasi

1717 Words
Minggu pagi, Nera memutuskan untuk pergi ke Car Free Day. Hari Sabtu kemarin, seharian ia sudah berada di rumah. Seharian juga ia tak bisa fokus. Kejadian di taman malam itu benar-benar mendominasi otaknya. Menyita banyak sekali konsentrasinya. Saat menonton televisi, memasak bersama mama, bermain dengan Kak Angel, sampai saat ia mengerjakan evaluasi kegiatan Neomicin, bayang-bayang kejadian malam itu terus saja berkelebat di hadapannya. Seharusnya, untuk seorang gadis yang sudah memiliki pacar, Nera pergi bersama pacarnya. Namun, karena ia tak tahu bagaimana harus menghadapi Aidan setelah kejadian itu, maka ia memutuskan untuk mengajak Fatih. Lagipula, sebelum berpacaran dengan Aidan, teman perginya memang selalu Fatih. “Ke mana pacarmu?” Tanya Fatih. Mereka sedang berjalan-jalan santai bersama kerumunan orang lainnya. Menikmati udara pagi dan pemandangan hijau yang menyegarkan. “Ada di kosnya… mungkin.” Nera mengedikkan bahu. Kemudian membuang muka. Bayangan kejadian malam itu kembali berkelebat. Nera benar-benar harus melupakannya secepat mungkin. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi Aidan besok di kampus. “Kok mungkin? Kalian marahan?” Fatih mengintip wajah Nera, penasaran. “Enggak, kok.” Nera buru-buru meluruskan. “Cuma… aku… ah, pokoknya ada sesuatu!” Ia segera memalingkan wajah. Pipinya mulai memanas. Fatih kembali menegakkan punggungnya. Satu sisi di dadanya terasa ngilu. Tapi, ia sudah terbiasa. Terbiasa merasakannya, pun terbiasa mengabaikannya. “Ah, iya!” Fatih tiba-tiba teringat sesuatu. “Apa?” Nera sontak menoleh. Wajahnya masih sedikit merona. “Kenapa kamu nggak balas pesanku?” “Eh? Pesan yang mana?” Nera buru-buru mengeluarkan ponselnya. Fatih melakukan hal yang sama. Lalu… mereka menunjukkan isi pesan masing-masing. “Loh?!” Fatih terbelalak. “Kenapa?” Nera mengernyit. “Kok beda?” Fatih meraih ponsel Nera. Menatap secara bergantian layar ponselnya dan milik Nera. “Kamu hapus pesanku, ya?” Ia menatap sahabat masa kecilnya itu tajam. Menyipitkan mata, menuduh. “Hapus apa? Nggak ada yang kuhapus.” Nera buru-buru merebut ponselnya. “Ini pesan terakhirku ke kamu. Tapi lihat di ponselmu, pesanku yang ini nggak ada.” Fatih menunjukkan layar ponselnya. Kini, giliran Nera yang menatap layar ponsel mereka bergantian. “Loh, iya.” Katanya tersadar. “Mungkin nggak masuk?” Fatih menggeleng tegas. “Jelas-jelas pesanku sudah kamu baca, nih.” Ia menunjukkan tanda centang berwarna biru yang menandakan pesannya sudah terbaca. “Hm, iya.” Alis Nera semakin bertaut. “Tapi aku beneran nggak hapus apapun, loh.” “Lah, terus gimana bisa pesanku nggak ada di kamu?” Tanya Fatih menuntut kepastian jawaban. “Hm…” Nera mengusap dagunya. Mereka kembali melangkah setelah sempat berhenti karena saling merebut ponsel tadi. “Masa ada orang yang ngehapus, sih?” Ia menoleh ke arah Fatih. Seolah meminta pendapat akan kemungkinan yang ia pikirkan. Fatih mengedikkan bahu. “Entah.” Sepasang sahabat itu berjalan dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Nera benar-benar tidak tahu kenapa pesan itu bisa terhapus dari ponselnya. Bisa jadi ia pernah salah pencet atau sejenisnya. Sementara Nera berprasangka baik, Fatih justru sebaliknya. Ia berprasangka mungkin Aidan yang menghapusnya karena tak suka Nera saling berkirim pesan dengan laki-laki lain. Tapi, apapun kemungkinan yang mereka pikirkan, tak ada satupun dari mereka yang mengungkapkannya. Entah kenapa. “Memangnya… isi pesannya apa, sih, Tih?” Akhirnya Nera bertanya lebih dulu. “Hm… kita ngobrol sambil sarapan, yuk?” “Oke, boleh.” Tanpa dikomando, sepasang sahabat sejak kecil itu membelokkan langkah kaki mereka. Memasuki area pedagang makanan berkumpul. “Mau sarapan apa?” Tanya Fatih. “Pengen bubur ayam.” Mata Nera sudah tertuju pada pedagang bubur ayam yang sedang sibuk melayani pembeli. “Oke.” Fatih berjalan lebih dulu. “Kamu cari tempat duduk kosong, biar aku yang pesan.” Ujarnya begitu tiba di depan gerobak bubur ayam. Nera mengangguk mantap. Segera menargetkan sebuah bangku panjang yang kosong. “Pak, bubur ayamnya dua, ya?” Ujar Fatih pada pedagang bubur ayam. “Makan sini, Mas?” “Iya.” “Tunggu sebentar, ya? Antri. Hehe.” Laki-laki awal empat puluhan itu nyengir. Kumisnya yang tebal melintangi barisan giginya yang putih. “Beres, Pak.” Seloroh Fatih riang. Sejak Nera berpacaran dengan Aidan, mereka sudah tidak pernah lagi pergi berdua begini. Jadi, ia ingin menikmati momen berdua dengan Nera hari ini dengan sebaik mungkin. Tak memedulikan rasa ngilu di dadanya yang tadi sempat ia rasakan. Pikirnya, tak baik m*****i kebersamaan yang ia rindukan dengan bersikap cemberut apalagi sibuk dengan perasaan buruk. Lima menit berlalu, giliran pesanan Fatih yang disiapkan. Karena kekurangan sumber daya manusia, pembeli terpaksa harus membawa sendiri mangkok bubur ayam mereka. Tidak diantar seperti biasanya. Oleh karena itu, pedagang bubur ayam itu meminta maaf. “Maaf, ya, Mas saya nggak antarkan ke sana. Tuh lihat, sudah ada lagi yang antri. Daripada mereka antri lebih lama, mending pembeli yang bawa mangkoknya sendiri, ‘kan?” Ujarnya dengan tersenyum ramah. “Santai saja, Pak. Saya nggak keberatan, kok.” Fatih balas tersenyum. “Kalau saya beli dua belas mangkok barulah mungkin saya merasa keberatan.” Selorohnya kemudian. Membuat pedagang bubur ayam itu tertawa lepas. “Oh, iya. Saya bayar sekarang saja sekalian, ya? Biar saya bisa langsung pergi kalau sudah selesai makan.” Fatih memberi usul. “Oh, boleh boleh, Mas.” Laki-laki berkulit gelap itu menyambut ramah. Fatih menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan. “Kembaliannya ambil saja, Pak.” “Hah? Apanya yang kembalian? Ini pas, Mas.” Pedagang bubur ayam itu menatap uang di tangannya tak mengerti. “Oh, hahaha.” Fatih tertawa sembari ngeloyor pergi. Membawa dua mangkuk bubur ayam ke tempat Nera berada. “Aku beli es jeruk di sebelah tadi.” Sambut Nera begitu Fatih tiba di sebelahnya. “Wah, mantap.” Fatih sumringah menatap gelas es jeruk yang berembun. Segar. “Makasih.” Nera menerima mangkuk bubur ayamnya. Lalu mulai menyantapnya. “Jadi, apa isi pesanmu, Tih?” “Oh, iya. Tunggu sebentar.” Fatih mengeluarkan ponselnya. Menunjukkannya pada Nera. Nera mengintip layar ponsel yang sedang menyala itu. “Hm? Ngomongin kasus yang ditangani ayah?” Nera mengernyit. “Kenapa kamu jadi tertarik dengan permasalahan hukum?” “Sebenarnya bukan tertarik dengan masalah hukum. Tapi, tertarik dengan masalah itu saja.” Fatih meralat ucapan sahabatnya. “Sepertinya aku tahu kenapa bisa ada artikel berita yang mengatakan kalau Om Bambang mungkin menerima suap.” Suara Fatih terdengar serius, pun raut wajahnya. Nera menelan bubur ayamnya. Ini mode Fatih yang jarang ia temui. Selama ini, mereka lebih sering bercanda daripada mengobrol serius. “Ke-kenapa?” Ia menata hati, bersiap-siap mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan terucap dari bibir Fatih. “Dulu…” Fatih terlihat berhati-hati saat bicara. “Sebelum kasus yang sekarang pertama kali disidangkan, ada kasus lain yang lebih menggeparkan media.” “Lalu?” Nera terlihat tak sabar. Itu bukan kalimat yang ia sangka akan keluar dari mulut Fatih. “Kasus itu juga ditangani ayahmu. Tapi, pelaku yang digadang-gadang akan dihukum itu justru bebas karena Om Bambang berhasil memenangkan kasus itu di pengadilan.” Fatih berhenti sejenak. Menyendok bubur ayam dan memasukkannya ke mulut. Nera melakukan hal yang sama. Ia menunggu dengan sabar seluruh cerita Fatih. “Lalu…” Fatih melanjutkan ceritanya. “Cuma berselang beberapa hari, kasus lain muncul. Nah, itu kasus yang lagi disidangkan ulang ini.” Nera masih mendengarkan dengan seksama. Sesekali menyantap bubur ayam yang sudah tidak ia pedulikan bagaimana rasanya. Seluruh indranya sedang fokus mendengarkan ucapan Fatih. “Saking hebohnya berita itu, sampai-sampai berita yang mengecam ayahmu karena berhasil memenangkan kasus itu jadi tenggelam. Dan lagi-lagi, Om Bambang muncul menangani kasus lain yang juga heboh. Bedanya saat itu ayahmu ada di pihak penuntut.” “Terus?” Nera mulai tak sabar. Ia merasa cerita Fatih hanya berputar-putar saja. “Tapi, sampai akhir, sampai hakim memutuskan hukuman untuk orang yang dituntut pihak ayahmu, si terdakwa ini masih berpegang teguh dengan jawabannya bahwa dia nggak bersalah.” Fatih memungkas seluruh ceritanya. Matanya sedikit melotot, memberi penekanan pada akhir cerita itu. “Terus kesimpulannya apa?” Tanya Nera tak mengerti. Karena ia benar-benar tak menemukan inti dari cerita yang Fatih sampaikan. “Terus sekarang kasus itu disidangkan ulang, ‘kan? Tapi dengan posisi yang berbeda. Yaitu pihak ayahmu yang dituntut. Nah, dari sinilah muncul spekulasi kalau Om Bambang ini mungkin sudah menerima suap dari pelaku sebenarnya buat memenangkan kasus beberapa tahun silam.” “Ah…” Nera mengangguk-angguk. Ia mengerti apa yang hendak Fatih sampaikan. Tapi, reaksi Nera hanya berhenti sampai di situ. Ia tak memberi respon apapun. Justru melanjutkan sarapannya. “Kamu… marah, Ra?” Fatih mengintip wajah sahabatnya. “Hm? Enggak. Kenapa marah?” Nera mengangkat alis. “Ya… mungkin karena aku juga menuduh Om Bambang menerima suap?” “Oh, enggak, kok. Spekulasimu ‘kan ada dasarnya, Tih.” “Iya, sih. Terus kenapa kamu tiba-tiba diam?” “Yah… seperti katamu. Dunia yang digeluti ayahku itu rentan sekali dengan godaan seperti itu. Tidak menutup kemungkinan ayah memang terjerumus. Tapi, juga tidak menutup kemungkinan kalau itu sebatas profesionalitas kerja ayah yang berusaha menjaga kepercayaan kliennya.” “Ah, iya. Benar juga.” Fatih mengangguk setuju. Sebelumnya, ia tak terpikirkan kemungkinan itu. “Benar atau salah, pengacara harus membela siapapun yang meminta bantuan padanya, ‘kan?” Nera mengangguk mantap. “Tapi… bukannya pengacara juga bisa menolak jika dia tahu kalau orang yang meminta bantuan padanya adalah orang yang memang bersalah?” Fatih menatap Nera lekat. Itu jelas pertanyaan retoris. Nera tak menjawab. Ia hanya menatap kedua bola mata Fatih yang menatap tegas. Benar. Kemungkinan itu juga ada. Nera tetap memberi respon. Ia kembali ke mangkuk bubur ayamnya, lanjut menghabiskan sisa sarapannya. Fatih pun sama. Ia tak menuntut jawaban. Pun tak berucap sepatah kata lagi. Ia memilih menekuri mangkuk bubur ayamnya yang sudah tersisa seperempat. Menghabiskannya dalam sekejap. Sebenarnya saat melihat reaksi Nera, Fatih sedikit merasa menyesal. Ia tak bisa menahan ucapannya yang mungkin telah menyakiti perasaan gadis itu. Tapi, kalimatnya sudah terlanjut terucap. Sepertinya, ia harus segera minta maaf sebelum suasana di antara mereka semakin tak nyaman dan canggung. Sayangnya, belum sempat Fatih mengeluarkan satu kata dari mulutnya, Nera sudah lebih dulu bicara. “Tih…” Suaranya terdengar lirih. “I-iya, Ra?” Kerongkongan Fatih tercekat. Kalimat permohonan maafnya kembali ia telan. “Kalau ayahku benar-benar menerima suap, apa ada kemungkinan ayah bakal masuk penjara?” Nera menoleh, menatap sahabatnya lekat. Fatih terkejut bukan main. Kedua bola mata sahabatnya itu sudah memerah. Air telah menggenangi pelupuk matanya. Membuat kerongkongan Fatih semakin tercekat. Tak mampu menjawab.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD