Area kampus fakultas kedokteran terlihat gelap gulita. Hanya di satu titik yang masih terang benderang, bahkan sangat meriah. Tempat itu adalah aula dua kampus. Dua pintu kembarnya terlihat terbuka lebar. Satu persatu orang keluar dari dalamnya. Wajah-wajah yang sumringah, membawa hadiah-hadiah lomba. Siswa-siswi itu terlihat sangat bahagia, didampingi oleh guru-guru mereka. Suara nyanyian dari grup vokal akapela mengiringi langkah mereka untuk keluar dari ruangan.
Acara terakhir dari seluruh rangkaian kegiatan kompetisi Neomicin sudah berakhir. Pemenang sudah diumumkan, hadiah sudah dibagikan, mereka pun sudah dibubarkan. Kini, tinggal panitia yang sama bahagianya yang masih tersisa di dalam ruangan.
Nera beranjak dari duduknya, menghela nafas panjang. Ia juga bahagia. Meski tadi sempat ada sedikit keterlambatan, tapi semuanya bisa diatasi dengan baik. Acara penutupan tetap berjalan dengan lancar.
Setelah seluruh peserta dan tamu undangan keluar dari ruangan, grup vokal akapela juga sudah berpamitan pulang, para panitia berkumpul. Duduk di kursi-kursi yang tadi disediakan untuk peserta. Nera dan Aidan duduk bersebelahan.
“Terima kasih banyak untuk kerja keras teman-teman semua selama ini.” Nera membuka sesi evaluasi. “Semua kegiatan yang kita selenggarakan bisa dibilang sembilan puluh sembilan persen sukses. Semua itu tak lepas dari kerja keras kalian semua.” Lanjutnya sembari tersenyum manis.
Aidan bertepuk tangan di sebelah Nera, tersenyum. Yang lain mengikuti. Aula dua kampus kembali riuh, meski suaranya lebih rendah daripada kemeriahan yang tadi.
“Setelah ini, kita beres-beres dulu, ya? Baru boleh pulang. Setelah itu, masing-masing divisi silakan membuat laporan evaluasi, lalu…” Nera mengintip ponselnya. “Hari Senin kita akan ketemu lagi di kampus untuk rapat evaluasi.”
“Oke.” Seru seorang mahasiswa. Diikuti sebagian yang lain. Beberapa kepala terlihat mengangguk.
“Jadi weekend ini bisa digunakan buat istirahat dan nyusun laporan evaluasi. Setelah evaluasi internal kita beres, Izza tolong susun laporan keseluruhan, ya? Kita akan rapat evaluasi dengan dokter Anita.”
“Oke, siap, Ra.” Izza mengangguk mantap.
“Sekali lagi, terima kasih banyak, teman-teman!” Nera berseru bahagia.
Kemudian, kumpulan mahasiswa itu bubar. Mulai membereskan aula dua yang terlihat sangat berantakan.
Menjelang pukul sembilan malam, aula dua kampus sudah terlihat lebih baik. Kursi-kursi sudah kembali ke tempatnya, sampah-sampah sudah dikumpulkan jadi satu di plastik hitam besar, kabel-kabel, mikrofon, semua sudah dikembalikan ke tempatnya. Lalu, satu persatu panitia mulai pamit pulang. Ini memang hari yang sangat melelahkan. Mereka pasti ingin segera beristirahat. Bertemu empuknya kasur kos yang sepertinya sudah memanggil-manggil sejak pagi tadi.
“Habis ini langsung pulang, Ra?” Aidan berdiri di samping Nera yang sedang merapikan barang-barangnya, bersiap pulang.
“Iya, Kak. Kenapa?”
“Mau pergi dulu sama aku?” Aidan menatap kekasihnya tak berkedip.
“Ke mana?” Nera mengangkat alis. Wajahnya terlihat tetap tenang. Tapi jantungnya sudah jumpalitan.
“Hm… jalan-jalan sebentar. Di taman mungkin?” Aidan memiringkan kepalanya, bibirnya tersenyum.
Nera melirik jam tangannya. Masih belum terlalu larut. “Oke.” Jawabnya sambil tersenyum.
Masih ada satu-dua mahasiswa yang tersisa di ruangan, tapi semua pekerjaan sudah selesai. Maka Nera dan Aidan pun ikut berpamitan. Bedanya, mereka tidak akan langsung pulang. Dua sejoli itu masih akan pergi kencan.
“Ra, mampir beli es krim dulu mau?” Aidan menawarkan. Mereka sudah berada di tempat parkir motor.
“Boleh.” Nera mengangguk. Hatinya sudah berbunga-bunga. Jadi ia tak peduli kegiatan apa dulu yang akan mereka lakukan.
Aidan segera naik ke atas motor, diikuti Nera. Motor bebek milik Aidan yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun itu akhirnya keluar dari tempat parkir. Motor itu melaju pelan menyusuri jalanan di sekitar kampus. Bertemu beberapa mahasiswa lain yang juga baru saja pulang, Aidan dan Nera menyapa mereka ala kadarnya. Semenit kemudian, ban motor Aidan sudah mencengkram aspal. Bergabung dengan puluhan kendaraan lain yang masih gagah merajai jalanan kota yang masih saja ramai.
Setelah melaju beberapa ratus meter, Aidan membelokkan motornya ke kanan. Berhenti di sebuah restoran cepat saji. Memesan dua gelas es krim.
“Kita ke taman belakang restoran ini aja, ya? Jalannya lewat samping.” Aidan menawarkan. Mereka sedang menunggu pesanan mereka selesai dibuat.
“Oke.”
“Kamu sudah pernah ke sana?”
“Belum.” Nera menggeleng. Yah, meski ia lahir di kota ini, tapi Nera memang jarang sekali keluar rumah kecuali bersama keluarganya. Apalagi pergi ke taman, tempat umum yang terbuka, hampir tidak pernah.
“Bagus deh kalau gitu. Kamu akan membuat kenangan pertama di taman itu sama aku.” Aidan tersenyum, menggoda.
Nera tersipu malu. Tapi ia setuju.
Tak perlu menunggu lama, es krim pesanan mereka sudah siap.
“Ayo, Ra. Kita makan es krimnya di taman aja.” Ajak Aidan.
Nera mengangguk. Segera mengekor di belakang kekasihnya.
Dua sejoli itu berjalan beriringan melewati hamparan sungai yang dihiasi lampu berwarna-warni. Lampu-lampu itu digantung di atas sungai. Pantulan cahayanya mengenai permukaan sungai. Membuat air sungai terlihat berkelap-kelip. Indah sekali.
Biasanya, setiap kali melewati area ini Nera tak pernah memperhatikan sungai ini. Meski di malam hari, saat lampu-lampu kecil itu menyala, Nera tetap tak terlalu memedulikannya. Tapi malam ini, pemandangan sederhana begitu pun terasa sangat indah baginya. Mungkin juga karena genggaman tangan Aidan yang terasa hangat dan menenangkan, membuatnya merasa bahwa malam ini sangat sempurna.
Usai berjalan tak sampai lima menit lamanya, mereka tiba di sebuah taman yang juga dihiasi banyak lampu warna-warni. Ada belasan hingga puluhan orang yang juga menikmati malam di taman itu. Aidan mengajak Nera duduk di salah satu kursi taman yang menghadap ke sungai. Posisi kursi itu berada di area samping taman, sedikit tersembunyi karena tertutup oleh area bermain skateboard.
Dingin. Sensasi yang pertama kali dirasakan Nera begitu tubuhnya menyentuh permukaan kursi.
“Ini, Ra.” Aidan memberikan gelas es krim milik Nera.
Tanpa bicara, keduanya mulai menyantap es krim masing-masing. Sembari menatap lalu lalang kendaraan bermotor di jalanan seberang sungai dan kelap-kelip lampu yang bergelantungan di atas sungai. Suara roda skateboard yang bergesekan dengan permukaan semen menjadi suara yang melatarb elakangi kencan mereka malam itu. Sedikit mengganggu, tapi tidak terlalu.
“Mau pindah tempat?” Aidan menawarkan. Ia menangkap gelagat Nera yang berkali-kali menoleh ke arah area skateboard.
“Hm? Nggak apa-apa di sini aja.” Jawab Nera sembari tersenyum manis.
“Eh!” Aidan memekik ringan.
“Kenapa, Kak?”
“Sebentar. Ada es krim di pipimu.” Aidan menahan tawa. “Makan gimana, sih, Ra? Sampai ada es krim yang nempel.”
“Aduh, di mana?” Nera berseru panik. Hampir saja ia mengusap wajahnya sembarangan, jika Aidan tak segera menahan tangannya.
“Biar aku bersihkan.” Bisik Aidan pelan.
Nera menelan ludah. Ini bahaya. Atmosfer di sekitar mereka mulai berubah. Apalagi tubuh Aidan yang terus mendekat ke arah Nera. Membuat jantung gadis itu belingsatan. Tapi sayangnya, bukannya mundur, Nera justru terpaku di tempatnya.
Tangan Aidan yang hangat menyentuh pipi Nera. Sentuhan yang ringan, tapi terasa seperti sengatan listrik kecil di permukaan kulit Nera. Pipinya yang tadi terasa dingin oleh karena diterpa angin malam, kini justru terasa panas. Nera tahu, saat ini wajahnya pasti memerah.
Sret!
Jempol Aidan mengusap lembut tepian bibir Nera. Kemudian, dalam gerakan yang pelan dan panas, Aidan menjilat jempolnya yang kotor oleh es krim.
Nera menelan ludah. Jantungnya sudah berdegup tak karuan, ia tak lagi berusaha mengendalikannya. Gadis itu sudah terbawa suasana, atmosfer di sekitar mereka benar-benar kuat. Nera tak mampu menghalaunya seorang diri.
Aidan merangsek maju. Tangannya kembali menyentuh pipi Nera yang kini terasa panas. Membelainya lembut.
Kini, wajah mereka hanya berjarak kurang dari sepuluh sentimeter. Nera bahkan bisa merasakan hangat nafas Aidan yang menggelitik permukaan kulitnya.
Sekali lagi, gadis itu menelan ludah. Pikirannya sudah tertutup kabut. Entahlah, ia tak tahu lagi harus bereaksi bagaimana dengan kejadian selanjutnya. Karena ini adalah yang pertama kali baginya.
***
Mendekati pukul sepuluh malam, Nera baru tiba di rumah. Lampu ruang kerja ayahnya masih menyala, tapi Bambang tidak terlihat keluar ruangan meski mendengar suara Nera membuka pintu.
Baguslah. Begitu batin Nera. Karena akan runyam urusannya jika Bambang memergokinya pulang selarut ini. Sepertinya apa yang sedang dikerjakan Bambang di dalam sana sangatlah menyita banyak perhatiannya.
Merasa beruntung karena tak perlu menghadapi ayahnya, Nera gegas berlari ke kamarnya. Ia membuang tasnya sembarangan, kemudian menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Pipinya masih terasa panas, perasaan berdebar yang menggelitik itu masih terasa di dalam di dadanya, apalagi… sensasi lembut yang baru pertama kali ia rasakan di permukaan bibirnya.
“Aaaaakh!” Nera berteriak dari balik bantal. Berharap suaranya teredam. Aduh, rupanya jantung gadis itu masih saja belingsatan. Apalagi jika teringat kejadian yang baru saja terjadi.
Nera menyentuh bibirnya, memori itu kembali berputar di kepalanya. Membuatnya tersipu malu.
Nera meraih selimut, menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia terus berteriak-teriak tanpa suara, menendang-nendang selimut sekuat tenaga. Gadis itu benar-benar sedang dimabuk cinta. Kejadian yang baru saja menimpa dirinya, benar-benar melekat kuat di memori otaknya.
Sementara itu di tempat lain, Aidan juga baru tiba di kosnya. Rumah kos bercat putih itu sudah sepi. Sepertinya semua penghuni sudah tertidur lelap meski beberapa kamar terlihat masih menyalakan lampu.
Aidan memarkir motornya, membiarkannya bergabung dengan barisan motor penghuni kos lainnya. Kemudian masuk kamar dengan bersiul riang. Laki-laki itu juga senang. Sensasi hangat dan lembut juga masih ia rasakan. Tapi berbeda dengan Nera, perasaan senang yang dirasakan Aidan bukan perasaan romantis bernuansa merah jambu. Bukan.
Aidan memasuki kamar kosnya, meletakkan tasnya di lantai, kemudian berganti pakaian. Setelah mencuci tangan, kaki, dan wajahnya, Aidan menghempaskan tubuhnya ke kasur.
“Haaaaah…” Laki-laki itu menghela nafas panjang. Bibirnya masih melengkung, tersenyum. Ah, tidak. Lebih tepatnya menyeringai.
Bayang-bayang kejadian beberapa menit lalu kembali berkelebat. Itu… hanya kecupan ringan. Bukan ciuman yang panas dan dalam layaknya orang dewasa berpengalaman. Itu hanya sentuhan lembut dan ringan. Tapi sepertinya sudah cukup untuk memenuhi memori otak Nera. Sebentar lagi, gadis itu takkan bisa melupakan kejadian malam ini. Rasa sukanya pada Aidan mungkin akan semakin membuncah. Dan itu membuat Aidan semakin merasa senang.
Aidan membalikkan badannya. Tubuhnya berguncang pelan. Laki-laki itu terkekeh senang, merasa telah menang.