Raut Maut Hingga Kebohongan Ditto

1162 Words
Tatapan tajam Ditto layangkan pada Michell. Benar-benar memang! Sahabatnya itu sungguh tak berperi ke-ena.. Eh! Ke-suamian! Dengan santai anak itu masih berkutat dengan semangkuk mie cup yang entah kapan dia buat. Kena-Why ini anak masih di apartemen gue, Haaahhh!!!!— jerit Ditto dalam hati.  Ini pasti efek pengusiran yang Shella lakukan. Tapi kenapa jadi nasib dia ikutan malang?! “Mich.. "Bini gue lagi ngambek Mich. Lo kapan pulang-nya?" Malas berbasa-basi. Ditto langsung saja mengajukan pertanyaan tanpa tedeng aling-aling. “Ae-lah Anak Pak Haryo. Kita ini kan sahabatan. Anaknya Papah Dipta yang gans maksimal ini lagi ngundang lo buat jadi suami-suami diambekin Istri.” Bak jalan tol tanpa hambatan, Michell menyampaikan orasinya. “Kan kita kudu so-ul-mate gitu ah!" Ia lalu meminum langsung kuah Mie dari cup. “Ibab!” Murka Ditto mengatai Michell dengan salah satu hewan ternak. “Lo kenal Jingga kan Mihc?! Iya kan?!” Paksa Ditto yang mau tak mau membuat Michell mengangguk. “Nah! Kalau gini caranya gue bisa nggak dapet jatah Micheell!!” “Muna lo ah!” kali ini gantian Michell menyemprotkan semburan. “Dulu aja nggak mau! Sekarang sekalinya udah nyoblos pengen mulu! Di cintain dulu baru bercinta keles." Ceramah Michell sok paling bener jadi anak tapi mampu menyadarkan Ditto dari kesalahannya kemarin. Ditto menghembuskan nafas. Di cintai dulu baru bercinta ya?! Ah! Bagaimana perasaan Jingga kemarin sewaktu dia memaksa seperti itu ya?! Pasti sakit sekali mengingat dirinya menggunakan nafsu bukan rasa cinta. "Lo tau To, lo bakalan sadar kalau orang itu berarti ya kalau dia udah mutusin buat ninggalin lo." Michell menutup kembali cup mie instan yang tadi ia makan. Memasukan ke dalam kantung plastik hitam sebelum dirinya bangkit berdiri. "Lo mau ke mana?" tanya Ditto ketika melihat Michell yang mengambil tas punggungnya. "Beliin bini gue asinan, ngidam deh kayaknya,” asal Michell. Laki-laki itu memang suka sekali asal jeplak tanpa memikirkan konsekuensi ucapannya. Ya meski terkadang benar sih. “Balik yak.. Bini gue kalau ngidam kan serem.” Ditto mengangguk, mengerti. Ah pasti bahagia kalau seandainya Jingga juga bisa ngidam begitu, pikir Ditto. Selepas kepergian Michell Ditto berniat untuk menemui Jingga. Ia terus mengetuk pintu kamar yang sedari tadi tak kunjung di buka. Sepertinya Jingga memang sengaja pura-pura tak mendengar dirinya. Tok... Tok... [Suara pintu kamar di ketuk] “Jingga.. Main yuk!!” ajak Ditto dari depan pintu kamar Jingga. Kening Ditto mengerut. Merasa janggal dengan caranya memanggil Jingga. ‘Kok malah kayak jaman SMP sih ngajakin dia main sepeda-sepedaan,’ laki-laki yang baru dewasa beberapa hari itu lantas cengengesan sendiri memikirkan permainan berbeda yang ingin dia lakukan bersama Jingga. “Hehehe... Jingga... Main yuk!!” karena gemas dengan pikirannya sendiri, jari-jari Ditto bermain di gagang pintu. Tak sengaja ia melakukan gerakan memutar. Ceklek!! "Eh, nggak dikunci." Pekik Ditto kaget. Ditto melihat Jingga yang tidur tengkurap sambil terisak di atas ranjang. Ia lantas melangkahkan kaki untuk masuk dan duduk epat di samping posisi aneh sang istri. "Ngga." Panggilnya sambil memegang punggung Jingga, membuat wanita itu menggeliat risih. "Jangan dengerin kata-kata Michell tadi. Sampai kapan pun gue nggak akan ceraiin lo Ngga. Percaya sama gue." Isak kan Jingga terdengar mereka meski bibir wanita Ditto itu bungkam tak bersuara. "Jangan nangis dong.. Lo jelek kalau nangis, nggak napsuin gue lagi." Dugg!!! "Anjir gue ditendang!! Sakit Ngga!!" Umpat Ditto memegangi pinggangnya yang ditendang oleh Jingga. Meski bibir berkata kasar, nyata-nya kedua mata Ditto menatap lemah sang istri. Jujur saja Ditto kesakitan. Ia takut Jingga akan semakin beringas. Jingga langsung bangkit. Ia menarik bantal besar untuk dijadikan pelindung tubuh. "Jangan sentuh gue lagi! Gue nggak mau disentuh kalau lo belum cinta sama gue." Tegas Jingga. Ditto melebarkan matanya mendengar penuturan tegas Jingga. Laki-laki itu menelan ludah berulang kali. Baru juga bisa merasakan indahnya surga dunia, sudah mau dirampas kesukaanya. "Eh, ini becandaan kan?" tanya Ditto dengan pandangan lekat. “Gundul Mu becandaan! Ena-ena aja sana sama cewek lo si Vena!” ‘What?!,’ Ditto bangkit lalu tanpa arah dan tujuan pasti mendekati sofa di ujung kamar Jingga. Dug!! Ditto sempat meringis merasakan sakit di jari kakinya. ‘Tahu gini nggak gue tendang, Ibab!’ “Lo!” jari telunjuk Ditto menunjuk Jingga. "Lo pengen suami lo tidur sama cewek lain?"  "Terserah!” dengus Jingga. Tatapan terluka Ditto berikan. Kakinya melangkah dengan rahang mengeras dan jemari yang terkepal. Ia lalu mendudukan diri di atas ranjang. Bersila di sana sembari mengerucutkan bibir akhirnya. “Ih jangan gitu dong Ngga..” jemari Ditto terangkat, membelai lembut pipi Jingga. “Nanti dosa loh. Masuk neraka. Kan gue nggak muhrim sama Vena Ngga..” "Nggak boleh gitu ya?! Kita kan suami istri. Kamu tega sama aku kalau kaya gitu?! Masa nyuruh aku ena-ena sama wanita lain. Nanti kamu nangis lagi. Kan aku maunya sama istriku. Mau lagi ya?" Bujuk Ditto semakin mendekatkan dirinya pada tubuh Jingga. Jingga mendadak galau. Otaknya berpikir keras karena ucapan Ditto. "Mau ya, ya, ya?! Siapa tahu dengan kita sering gituan aku jadi yang tadinya sayang doang jadi cinta." Mulut buaya daraaatt!!! Ah! To lo kok pinter banget sih sekarang. Hiyak-hiyak!! "Mau ya, Sayang, ya?! Kayak-nya aku nggak on deh kalau itu bukan kamu Ngga." Plakk!!!! "Auh sakit Ngga." Ucap Ditto memegangi pipinya yang baru saja Jingga tampar. "m***m!!” Protes Jingga. "Habisnya kamu bikin nagih." Ucap Ditto malu-malu. Jangan ditanya betapa malu Jingga setelah mendengar kata-kata Ditto. Wanita itu bahkan sampai memerah di seluruh wajah karena malu. "Mau ya, ya ya. Jingga cantik deh." Kata Ditto lagi. "Nanti kamu masuk surga lho kalau nurutin kata suami." "Mau ya, ya, ya. Mau lagi ya...” Bujuk Ditto bak anak kecil menginginkan sesuatu pada Mamahnya. Jingga menganggukan kepalanya pelan. Wajahnya merona malu sebelum kelaknatan Ditto mengambil alih mereka. ** Tidur Ditto terusik. Matanya terbuka dan mulai beranjak karena dering ponsel yang tak kunjung berhenti berdering. Jingga yang merasakan pergerakan di atas ranjang ikut pun ikut terjaga. Tidak ingin Ditto tahu, wanita itu segera kembali berpura-pura masih terlelap. ‘Iya sebentar ya..’ Jingga bisa mendengar suara Ditto yang berujar sangat pelan dalam sambungan telepon yang entah dengan siapa itu. Hatinya tak ingin menerka hal buruk, namun dari gelagat Ditto ia bisa pastikan lelaki itu berhubungan dengan lawan jenis. "Mau kemana?" tegur Jingga saat Ditto membuka pintu kamar. Ditto yang tak mengira Jingga tiba-tiba bangun segera membalikan tubuh menghadap Jingga yang hanya berbalut selimut. "Itu.. Mich telepon katanya minta temenin beli asinannya si Shella, kan dia lagi ngidam. Bentar doang kok Ngga." Kata Ditto sedikit bergetar. Jingga tersenyum, lalu mengangguk. Pura-pura saja percaya dengan bualan Ditto. "Ati-ati." Pesan Jingga sebelum wanita itu berbaring kembali memunggungi Ditto yang berdiri di depan pintu. Merasa mendapat ijin Ditto lalu menutup pintu dan pergi. "Bohong, Shella habis keguguran mana bisa ngidam." Lirih Jingga membuka matanya. Kedua bola mata yang berair itu menerawang jauh entah ke alam mana. Rasanya mustahil bertahan jika yang dipertahankan tidak menghargai usahanya. Jingga bangun, melilitkan selimut tebalnya lalu berjalan masuk ke kamar mandi. "Kalau kamu nggak bisa ninggalin aku, biar aku yang pergi To." Lirih Jingga sedih.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD