Menjauh dan Sikap yang Membingungkan

1886 Words
Suara adzan membangunkan Ditto. Perlahan matanya terbuka. Tak jauh dari gedung apartemennya memang berdiri sebuah masjid besar. Ia beruntung masih bisa mendengarkan seruan ibadah untuk kaumnya. Ditto berniat menghapus jejak dan ketika ia melihat gerakkan menggeliat dari tubuh Jingga, buru-buru Ditto melompat dari atas ranjang. Na’as... Kaki Ditto terjerat bad cover milik Jingga hingga tubuhnya jatuh tengkurap ke atas lantai. Bruukkk! Kontan saja akibat kegaduhan yang Ditto buat, menyebabkan Jingga bangun dari tidur wanita itu. Jingga terbelalak, kaget, kala melihat Ditto memejamkan matanya sambil menggerakkan badan ala perenang handal yang sedang memperagakan gaya punggung. “To! Sadar! Ditto! Ini udah adzan. Jangan mabok mulu lo.” Ujar Jingga sembari menuruni ranjang. Ia mengguncangkan tubuh Ditto pelan. “Ditto! Mandi terus sholat!” Ditto menggelengkan kepala. ‘s**t! Pakek ketahuan segala lagi,’ maki Ditto dalam hati. Sudah kepalang tanggung. Ditto akhirnya memilih melanjutkan akting. Ia tak kuat jika harus menahan malu. “Eng..” erang anak itu. “Gue dimana?” tanya-nya setelah mendudukkan diri. Ditto berlagak memegangi kepala. Seolah batok tanpa otak itu terasa nyut-nyutan akibat alkohol yang ia tenggak semalam. “Lo di kamar gue Ditto..” ujar Jingga. “Kok bisa sih?” heran Ditto sok-sok’an. Jingga menggelengkan kepala dengan bahu mengedik, “nggak tahu. Semalem lo balik-balik mabok. Mungkin aja lo tiba-tiba kebangun terus nggak sadar jalan ke kamar gue.” Ucap Jingga berspekulasi atas ditemukannya Ditto dikamar wanita itu. Ditto manggut-manggut. Ia lalu berdiri meninggalkan Jingga yang masih melongo karena kelakuan aneh lelaki itu. “Masih mabok ya dia?” heran Jingga. Ditto memilih kembali ke kamarnya sendiri. Untung saja Jingga tadi tidak menaruh curiga pada aktingnya. Fyuh!! Ditto masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan dirinya sebelum mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat. Di akhir sujudnya pada Sang Pencipta, Ditto tak segan memanjatkan do’a. Meminta agar ia segera diberikan momongan. “Amin..” Ditto lalu memilih membaringkan diri. Mencoba memejamkan mata sejenak sebelum matahari benar-benar terlihat dan ia harus berangkat ke kampus. *** Jam di dinding kamar Jingga kini telah menunjukkan pukul delapan pagi. Dua jam lagi ia dan Ditto harus menghadiri kelas salah satu dosen mereka. Sebelum berangkat, Jingga berniat untuk membuatkan Ditto sarapan. Wanita itu yakin jika untuk mengoleskan selai saja Ditto pasti tak akan bisa. Maka untuk itu, Jingga akan membantu Ditto. Keluar dari kamar, semangat dalam diri Jingga luntur. Ia melihat Ditto keluar dari pantry dengan setangkup roti yang laki-laki itu masukan ke dalam mulut. Helaan nafas terdengar dari hidung Jingga. Ditto bahkan melewati dirinya seolah ia begitu tak kasat mata. Laki-laki itu terkesan menghindar. Sekedar ucapan selamat pagi saja tak tercipta dari bibir Ditto. Jujur saja. Hati Jingga terasa sesak. “Gue setirin ya To?! Tangan kanan lo masih sakit kan?! Pasti susah deh kalau harus bawa mobil sendiri.” Tawar Jingga saat Ditto membuka pintu apartemen mereka. "Nggak usah!” tolak Ditto, ketus. “Tuh pacar lo dah jemput!” Ditto lalu meninggalkan Jingga yang berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Ditto tak akan pernah mengerti rasa sakitnya ditolak oleh orang yang kita cintai. “Morning Sayang..” sapa Ray tak lupa memberikan senyum paling hangat yang lelaki itu punya. “Sayang, pagi.” Sekali lagi Ray mengapa karena tak mendapat tanggapan dari Jingga. "Please Rayi...” lirih Jingga. “Kita nggak sebeneran itu jadiannya. Jadi lo bersikap kaya gitu kalau pas ada Ditto aja, please." Pinta Jingga. Ia lalu meninggalkan Ray begitu saja. Berjalan mendahului si lelaki yang menjemput dirinya tanpa Melihat reaksi apa yang timbul akibat perkataannya pada Ray. Sampai di kelas Jingga menatap Ditto yang duduk bersama Michell. Tersungging senyuman ketika Ditto memilih menghindari tatapannya. Nyeri menjalar hati Jingga mendapati kenyataan bahwa sosok yang menikahinya memang benar sedang menghindar. “Sayang, Aku ke kelas dulu.” Ray mendaratkan ciuman di kening Jingga. Sengaja agar semua orang melihat memang. “Nanti pulang bareng aku.” Ujar Ray sebelum benar-benar meninggalkan Jingga. Dari tempat yang ia duduki, diam-diam Ditto mengepalkan jari-jarinya. Panas menyeruak kala melihat Ray Husodo memberikan ciuman di kening wanita yang ia nikahi. Jujur saja Ditto tak suka. Ia bahkan membuang muka kala Jingga berlalu, melewati dirinya untuk menjangkau kursi kosong di kelas. “Ditto..” hembusan nafas terdengar dari hidung Ditto saat suara teriakan mengalun. Vera berlari kecil menuju Ditto, sebelum bergelayut manja dilengan lelaki itu. "Lepas, kita bukan muhrim!” Hardik Ditto sembari melepaskan tangan Vena dari lengannya. Plaakkk!!! "Anjir sakit Mich Anaknya Papah Dipta." Erang Ditto kesakitan. Michell mering sangat sering ringan tangan hingga menjadikan dirinya korban KDRT dalam dunia perkempompongan. “Gue laporin Kak Seto lo!” "Ae-lah lo Ditto anaknya Pak Haryo Botak! Begayaan lo ah. pake acara bukan muhrim segala. Akting lo, Anjay." Kesal Michell sembari menepuk-nepuk kepala Ditto. “Adek kecil, lagian Kak Seto pasti males ngurusin bayi bangkotan kayak lo!” ‘Sialan! Suka bener!,’ batin Ditto. Ditto tak mengerti, entah mengapa perasaannya pada Vena tiba-tiba saja berubah warna. Tak seindah dahulu saat mengejar wanita itu. Ia begitu bersemangat memperjuangkan Vena meski Dosen sekaligus Ayah Vena jelas-jelas melarang keras hubungan mereka. Si malu-malu kucing terus bertingkah menggemaskan, membuat Ditto tak bisa lepas. Tapi setelah mengetahui betapa rusaknya Vena, merah muda dalam hati Ditto mengabu seketika. Ditto kini semakin risih. “Beb.. Michell ganteng. Gue ke kanti dulu ya.. Laper Beb. Perut belum di isi nih.” Ditto mencolek dagu Michell sembari beraksen kebancian. Membuat Michell langsung menahan mual seketika. “Jijik, Ibab, gue liatnya!” murka Michell membuat Ditto tertawa terbahak-bahak. Interaksi Ditto dan Michell tak lepas dari pengawasan Jingga. Senyum dan tawa Ditto pada Michell. Suasana berbeda yang Ditto tidak hadirkan untuknya. Jingga sadar sekarang. Ditto benar-benar telah berubah dan tak ingin berdekatan dengannya. Tahu kemana Ditto akan pergi Jingga akhirnya bangkit. Memilih mengikuti Ditto dari jauh hingga keduanya sampai di kantin fakultas. Jingga terheran kala Ditto justru langsung duduk dan menenggelamkan kepal ke atas lipatan tangannya yang berada di atas meja alih-alih memesan makan terlebih dulu. “Dia cuma mau menghindar..” lirih Jingga tahu alasan mengapa Ditto memutuskan untuk cabut dari kelas mereka. Jingga memesan semangkuk bubur ayam kesukaan Ditto. Tak lupa ia juga membeli teh hangat. Takut jika mungkin asam lambung Ditto akan naik karena hanya sarapan satu tangkup roti tawar. "Makan dulu buburnya, lo laper kan?" Kontan saja kepala Ditto mengadah. Ia menatap Jingga yang saat ini menyodorkan semangkuk bubur ayam, sembari mengembangkan senyum. "Nggak usah! Gue nggak laper." Tolak Ditto lalu bangkit dari kursi. Jingga menahan lengan Ditto. “Mau kemana?” tanya-nya sembari mencoba menahan air mata. Ia tak sanggup jika Ditto terus mengabaikan dirinya. "Pulang!” Setelah kepergian Ditto sesak menguasai d**a Jingga. Ia bahkan tak henti menepuk-nepuk dadanya sendiri. Ditto bahkan enggan berbicara banyak padanya. Jingga menghirup nafas sedalam mungkin, sebelum kakinya berlari menyusuri koridor kampus demi menuju kelas dimana ia meletakkan tasnya. Ia akan bolos. Tak mungkin mengikuti mata kuliah dengan nyeri yang bahkan membuat nafasnya sesak. Kesedihan membuat kerja otak Jingga melambat. Berulang kali ia bahkan salah memasukkan password apartemen. Beruntung pada percobaan ke empat, pintu terbuka. Sontak Jingga berlari masuk dan menemukan Ditto yang tengah memasak Mie instan di dapur apartemen mereka. “Hiks..” isak kan terdengar lalu langkah kaki Jingga melebar, menghampiri Ditto dan menubruk tubuh laki-laki itu dari belakang. Aksi heroik Jingga bahkan mampu membuat sendok di tangan kiri Ditto jatuh. "Hiks, hiks, jangan cuekin gue kaya gini To. Hiks, jangan cuekin gue. Hiks, hiks. Hati gue sakit lo ngejauhin gue, hiks hiks." Isak Jingga memeluk erat tubuh Ditto. Ditto membalikan tubuh, menghapus air mata Jingga dengan ibu jari tangannya yang tak sakit. "Jangan nangis Ngga, gue cuman mempersiapkan diri kalau-kalau seandainya kita cerai dan putus hubungan." Ujar Ditto patah-patah. Karena entah mengapa, hatinya nyeri saat mengatakan kata cerai. "Lo pernah jadi sahabat gue, jadi bakalan sakit rasanya waktu kita bakalan jauhan karena perce...." Belum selesai Ditto mengakhiri ucapannya Jingga membungkam bibir Ditto dengan bibirnya. Masih dengan menitikkan air mata Jingga mencium bibir orang yang ia cintai itu. Ciuman pertama yang ia berikan pada Ditto tanpa sebuah pemaksaan. "Gue cinta sama lo, gue cinta sama lo." Ucapnya setelah melepaskan ciuman dari bibir Ditto. Mendengar itu giliran Ditto kembali mendaratkan ciuman ke bibir Jingga. Melumat bibir istrinya itu hingga keduanya hampir kehabisan nafas. Jingga memeluk erat tubuh Ditto. Membenamkan kepalanya di d**a bidang suaminya itu. Begitu juga dengan Ditto yang menggerakkan tangannya untuk membalas pelukkan Jingga. Kedua manusia berbeda jenis itu masih saling berpelukan, hingga suara deheman seseorang menghentikan aktifitas mereka. "Heeem,, Mas, Mbak maap di sini masih ada manusia nungguin mie ya." Interupsi Michell, membuat Ditto dan Jingga salah tingkah. "Eh, eh aku ke kamar dulu." Jingga mengalihkan pembicaraan lalu secepat kilat ngacir ke dalam kamarnya. "Anaknya Pak Haryo gue laper, Mie gue apa kabs?" tanya Michell polos. Ditto membulatkan bola mata. Teringat akan masakannya. "Gosong, gosoong oeey." Teriak Ditto lalu mematikan kompor gas yang sempat ia tinggalkan. "Sialan! Lo sih To, pake acara terbawa suana. Mie gue ih! Mana tadi ngutang lagi di tetangga depan lo." Ceramah Michell, membuat Ditto melemparkan bungkus Mie ke muka Michell. "Woy, Mich anaknya Papah Dipta! Emang gue Babu lo apa?! Masak sendiri sana mie gue banyak tuh." Ditto lalu masuk ke dalam kamarnya. Namun semenit kemudian anak laki-laki Pak Haryo itu terlihat keluar. “Salah masuk!” ujar Ditto melakukan klarifikasi mandiri lalu masuk ke dalam kamar Jingga. "L--lo mau ngapain?" tanya Jingga gugup. Gimana nggak gugup Ditto masuk dan mengunci kamar sewaktu dia sedang membuka pakaian. "Lanjutin yang tadi ke ganggu." Kata Ditto lalu menyudutkan tubuh Jingga ke tembok. "To, Too eemmp." Ditto membungkam mulut Jingga dengan bibirnya. Menikmati setiap lumatan yang ia berikan kepada sang istri hingga suara gebrakan pintu membuatnya mengeram kesal. "Anak Pak Haryo Botak!! Gue laper nih!! Dittoooo, Woyyy!! Ae-lah Dittoooo!!!” Grrrrrrr!!!! Ditto menggertakan giginya. Michell memang tidak tahu situasi sekali, batin anak itu. "Balikk lo Ibaaabbbb,,, gue maaau, aaahhh sakit Ngga." Erang Ditto kesakitan saat Jingga menginjak kaki kanannya. "Jangan sampai lo gue mutilasi ya To." Ancam Jingga. Kalau tidak begitu Ditto pasti akan meneriakkan kata-kata yang memalukan baginya. "Lo mau ke mana?" tanya Ditto melihat Jingga yang akan membuka pintu kamar. "Mau masak lo juga laper kan?" tanya Jingga, Ditto lalu mengangguk. Dua anak laki-laki yang sudah bukan perjaka itu memandang takjub pada wanita yang tengah memasak di depan mereka. Jingga begitu terampil memegang spatula. Belum lagi suara merdu Jingga yang mendendangkan sebuah lagu. "Awas mata lo gue congkel ya! Bini gue itu." Tegur Ditto saat Michell tak hentinya memandangi Jingga. "Wah,,. Gila cewek yang gue tembak dulu tuh ya yang masakin kita." kekeh Michell sambil cengar-cengir. Plaakk!!! "Gue aduin bini lo kapok lo Mich." Ancam Ditto. "Anak Pak Haryo sensian ah." Goda Michell sambil mengedipkan sebelah matanya membuat Ditto bergidik ngeri. "Terus si Vena mau lo gimanain?" tanya Michell serius, sedangkan Jingga dengan posisinya mencoba menajamkan pendengaran untuk menguping pembicaraan kedua makhluk dibelakangnya. "Nggak tahu, gue bingung." Jawab Ditto jujur membuat Jingga menghentikan aktivitas memasak yang ia lakukan. "Lo cinta nggak sama Jingga?" tanya Michell kelepasan. Sedangkan Ditto hanya diam saja. Membuat Jingga berbalik dan menatap keduanya. Kontan saja Michell membungkam mulutnya sendiri dengan tangan kalau sudah begini. "Mau kemana?" tanya Ditto memengangi lengan Jingga yang lewat didepannya. Jingga melepaskan tangan Ditto halus, namun tak menjawab pertanyaan laki-laki itu. Ia terus berjalan masuk ke dalam kamarnya lalu membanting pintu dengan kencang. Braaakkkk!!!! "Gagal dapat jatah gue Michellllllll."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD