Cerai (2)

1624 Words
Perlahan mata Jingga terbuka. Ia menatap kecewa punggung tengkurap yang tidur membelakangi dirinya. Jujur saja, Jingga merasa sakit hati pada lelaki yang secara agama menikahinya. Sosok itu jelas membuat luka dihatinya semakin menganga lebar. Air mata Jingga turun. Ia terisak beberapa menit sebelum memilih bergerak, turun dari ranjang demi memungut pakaian yang tersebar di atas lantai. Setelah menutupi ketelanjangannya, Jingga lalu berjalan keluar kamar. “Ngga..” Panggil seseorang membuat Jingga langsung berlari dan menubruk sosok yang duduk di atas sofa apartemennya. Tangisnya kian meledak ketika mendapati sosok Melia. Biasanya hanya pada adik Ditto itu ia menceritakan segala hal, termasuk seluruh perjanjiannya dengan sang suami. “Ngga, jangan nangis. Lo kenapa Ngga?” Melia jelas kaget mendapati Jingga tiba-tiba saja menubruk dirinya dan meledakkan tangis. Melia lantas memberikan petuah pada Jingga meski sahabatnya belum menceritakan perihal tangis kali ini. Ia merelakan Jingga jika menginginkan perpisahan lebih cepat dengan Sang Kakak, dibanding sahabatnya harus terus menderita seperti sekarang ini. “Udah Ngga. Jangan nangis lagi. Lo kuat. Kalau emang udah ngga sanggup kayak kata gue tadi, gue bakalan bantu bilang ke Mamah, Papah.” “Hiks.. Gim.. Gim-mana gu-e bis, hiks..” Jingga berhenti sejenak. Ia mencoba menarik nafas sekuat mungkin, sebelum menghembuskannya perlahan. “Dia udah ambil segalanya Mel. Semua yang ada di gue udah dirampas sama Ditto. Gimana gue bisa jauh dari dia sekarang?” Sontak saja Melia langsung melepaskan pelukan tubuh Jingga. Ia lalu mendaratkan jemari ke kedua pundak Jingga, mencengkeram erat di sana sembari menaikkan satu alis. Pertanda bahwa ia tak paham dengan apa yang Jingga katakan. “Maksud lo gimana?!” tuntutnya agar tak salah memberi saran. Kepala Jingga tertunduk. Percayalah! Bercerita pada Melia turut kembali membasahi luka hatinya yang belum kering. “Di.. Dia..” Air mata Jingga menetes. Bibir wanita itu kembali mengeluarkan isak kan. “Iya! Si Breng*ek itu apain lo?!” geram Melia. “Di.. Dia perkosa gue..” “Breng*ek!” Melia mengumpat sekencang yang ia bisa. Sebagai seorang sahabat apalagi adik ipar, Melia tak bisa membiarkan Ditto terus menyakiti Jingga. “Mel!” Tahan Jingga, mencekal lengan Melia ketika gadis itu bangkit dari sofa. Jingga tahu benar, hal apa yang akan Melia lakukan setelah mendengar ceritanya. "Gue harus kasih pelajaran Kakak Gue Ngga! Dia nggak bisa seenaknya saat kalian pasti akan bercerai suatu saat nanti!” geram Melia. Ia memang sosok satu-satunya yang mengetahui perihal perjanjian Jingga dan Ditto. “Siapa yang bakalan cerai?” sebuah suara laki-laki menginterupsi pertengkaran Jingga dan Melia. Keduanya lantas menatap Ditto yang baru saja menutup pintu kamar dengan hanya berbalutkan celana bokser tanpa memakai atasan. “Jawab gue! siapa memang yang akan cerai Mel?” "Lo sama Jingga, Sial*an!” berang Melia karena kepura-puraan Ditto. “Nggak usah sok nggak paham sama apa yang gue bilang deh!” Melia lantas berdecak. Ia juga memberikan sumpah serapah karena aksi b***t Ditto. “Kenapa lo perkosa sahabat gue padahal soon kalian akan cerai!” intonasi Melia meninggi. “Iya kan?! Kalian bakal cerai kan?! Dan lo bisa sama Vena-Vena anak Anj*ng itu!” "Nggak akan ada perceraian. Gue nggak akan pernah ceraiin Jingga." Tekan Ditto sembari menatap mata Jingga dengan emosi merajai lelaki itu. “Brengs*k lo, Bang!” Melia semakin murka. “Jadi lo pengen milikin dua-duanya, Hah?! Serakah, Njing!” Ditto terkekeh. “Lo tanyain ke sahabat lo itu, kenapa sampai bisa gue nembak Vena,” dengusan lalu terdengar. “Lo pikir gue mau jadiin orang yang gue cinta bekas orang lain??” Kepalanya menggeleng. “Pokoknya pernikahan ini nggak akan berakhir. Kalau gue nggak bisa milikin Vena, dia juga nggak akan bakalan berakhir bahagia sama Ray Husodo itu!” tekan Ditto hingga membuat Jingga maju beberapa langka. Plak!!! “Gue baru tahu kalau lo orang paling egois se dunia. Ceraiin gue sekarang juga! Gue mau sama pacar gue!” jerit Jingga meski bukan itu alasannya. Jingga hanya terlalu sakit hati mendengar mengapa Ditto tak ingin melepaskan dirinya. "Lo nggak bakalan bisa sama Ray karena gue nggak akan ceraiin lo Ngga. Nggak akan pernah! Never! Inget Ngga kita lakuin itu beberapa kali. Kemungkinan lo hamil anak gue besar. Jadi jangan pernah berpikir lo bisa pergi dari gue." Murka Ditto. Ditto lalu meninggalkan adik dan istrinya. Membuka pintu kaca menuju balkon apartemen. Di sana Ditto menyalakan sebatang rokok. Tak terasa benak Ditto menerawang jauh saat Jingga mengatakan perjanjian konyol yang menyakiti dirinya. Kesalahan dalam pengucapan nama ketika Ijab jujur saja di luar kendali Ditto. Itu semua karena tekanan yang ia terima begitu besar. Pernikahan dadakan, serta keinginan Vena sore sebelum mereka menikah agar menembak gadis itu tepat di depan teman-teman dancenya di keesokan hari sedang ia harus menikahi Jingga membuat Ditto kalut. Awalnya Ditto mencoba menerima pernikahan mereka setelah kata sah terdengar, tapi usahanya seolah tak dihargai. Egonya bahkan di lukai oleh Jingga. Drrtt... Drttt.. Drtttt ‘Sayang, jemput aku bisa nggak?!’ pinta suara diseberang sana kala Ditto mengangkat panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. "Nggak bisa! Lo bisa minta sama pacar lo yang lain Ven!” hardik Ditto lalu menekan tombol merah. Memutus panggilan secara sepihak. ** Di sisi lain, melihat tingkah dan raut tak biasa Ditto Melia memilih mendekati sang kakak. Mungkin saja ia bisa menguak alasan dibalik kekejaman Ditto pada sahabatnya. Berdiri di samping Ditto, Melia lantas menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. “Ada apa Kak? Kenapa kakak kayak gini?” Ditto memberikan senyum segaris, sebelum tangannya meraih kotak rokok dan kembali menyalakan batangan yang lain. “Gue nggak mau kehilangan sahabat, apalagi keluarga.” Jawab Ditto tepat setelah asap rokok yang ia hisap, terhembus melalui hidung dan mulutnya. “Tapi nggak gini caranya. Kalau dia terus sama lo, sedangkan soon kalian cerai, kasihan Jingga. Dia bakalan sulit lupain lo, Kak.” "Siapa bilang gue mau ceraiin dia, HAH?" Suara Ditto meninggi saat Mel terus saja mengungkit perihal perceraian. "Kata Jingga setelah satu tahun kalian menikah kalian bakalan cerai!” Mel membuka rahasia mereka. Tentang perjanjian yang Ditto dan Jingga adakan setelah ijab kabul selesai dilakukan. Rahang Ditto mengeras. Ia melempar asal putung rokok sebelum membalikkan tubuh, berjalan beberapa langkah hingga berdiri tepat di depan pintu balkon yang terbuat dari kaca. Dan, Cyaaaarr!!! Suara pecahan menggema, tepat setelah bogem mentah Ditto layangkan hingga melukai jemari kanan dan wajahnya. Jingga yang berada di ruang tamu lantas berlari mendengar suara barang pecah dan teriakan Melia. “Ditto!!” pekiknya saat melihat darah segar mengucur dari tangan Ditto. Panik.. Jingga menarik lengan Ditto, membawa laki-laki itu memasuki dapur mereka yang memang terletak tak jauh dari pintu balkon. Ia menyalakan wastafel, mencuci bersih luka ditangan Ditto dengan air mengalir. “Ini kenapa?! Kenapa, hiks!” Jingga mendadak linglung dengan isak kan yang terus terdengar di telinga Ditto. “Kenapa begini, hiks!” Tak tahan, Ditto memeluk tubuh bergetar Jingga menggunakan lengan kirinya. Ia menumpukan dagu di pundak sahabat tercintanya. “Tunggu sampai lo ngga hamil, ya, Ngga. Setelah itu, gue janji akan ceraiin lo.” Ia lantas menarik lengannya yang berada di bawah alir mengalir. “Gue janji.” Bisik Ditto lalu meninggalkan Jingga yang langsung terduduk di atas lantai. Mendadak Jingga merasakan sesal atas ucapannya sendiri. Ia menyesali perceraian yangs empat ia inginkan. Air mata lantas tak mampu Jingga bendung. Sakit begitu merajai hatinya. Tak jauh berbeda dengan Jingga, Ditto yang terduduk di balik pintu kamar juga meneteskan air matan. Air mata yang entah mengapa turun begitu saja setelah mengatakan bahwa dia akan menceraikan Jingga jika wanita itu ternyata tidak hamil anaknya. Beberapa menit berlalu. Sadar jika Ditto masih terluka, Jingga bangkit. Ia mencari kotak P3K di atas kulkas, sebelum masuk tanpa permisi ke kamar Ditto. Jingga meraba dadanya. Di sana nyeri terasa kala melihat Ditto tidur dengan darah yang bahkan masih terus menetes. Jingga duduk di bawah ranjang Ditto. Pelan-pelan Jingga membersihkan luka Ditto. Menaburkan obat merah sembari memberikan tiupan pelan. Jingga benci mengakui ini, tapi ia benar-benar tak mau Ditto merasakan kesakitan. Apalagi terbangun dari tidur laki-laki itu. “Finish!” terakhir Jingga membalutkan perban. Ia lantas bangkit lalu memberikan kecupan dikening Ditto. “Gue cinta sama lo To. Lo tahu itu..” lirihnya sebelum undur diri dari kamar sang suami. Ditto membuka matanya saat Jingga menutup pintu kamar. Laki-laki itu menghembuskan nafasnya lelah, lalu bangkit mengambil jaket dan kunci mobil di atas meja belajar. Ditto keluar dari apartemen. Tujuan hanya satu, menenangkan pikirannya yang kacau. Pikirnya dengan minum mungkin dia akan bisa melupakan kesakitan dan kemarahan hatinya. Waktu lantas bergulir sangat cepat. ** Sedangkan di apartemen setelah beberapa jam berlalu, Jingga masih gusar. Sama seperti ketika ia mengetahui ranjang Ditto kosong. Hatinya mendadak lega saat mendengar suara seseorang memencet tombol kunci apartemen. Ia lantas bangkit. Betapa kagetnya Jingga saat melihat Ditto yang berjalan sempoyongan. Ia bahkan sampai berlari kala tubuh tak sadar Ditto hampir saja terjerembab ke atas lantai. "Awas, gue mau jalan!!” Jingga terdiam kala Ditto menghempaskan jemarinya. Lelaki itu tak mau dibantu. Ia bahkan ditinggalkan begitu saja. Berdiri mematung di depan pintu kamar yang Ditto kunci. *** Di dalam kamar, Ditto merebahkan diri ke atas ranjang. Berharap dapat tertidur meski kenyataannya sampai pukul dua malam, rasa kantuk tak juga menyerang dirinya. Sejak tadi ia hanya menutup mata tanpa mampu terlelap. “Sial!” Bayang-bayang Jingga kembali datang. Ditto lantas beranjak, memilih keluar dari kamar. Ia melangkahkan kaki dan berhenti di depan pintu kamar Jingga. Tatapan kesal Ditto berubah sendu. Entah keberanian dari mana, ia mencoba peruntungan. Memutar kenop, dan masuk ke dalam ruangan yang tak pemiliknya kunci. Kaki-kaki Ditto berhenti tepat di samping ranjang Jingga. Matanya mengamati sang istri yang tertidur pulas. Reflek, jemari Ditto bergerak menuju perut Jingga. Mengusap perut itu pelan penuh perasaan. "Tumbuh lah di sini Sayang. Kamu harus ada di perut Mama, biar Mama nggak ninggalin Papa ya..” pinta Ditto lirih lalu membaringkan diri di sebelah Jingga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD