Cerai (1)

1561 Words
Rasa nyeri di sekujur tubuh perlahan membangunkan Jingga dari tidur. Ia lantas tersadar dengan apa yang menimpa dirinya setelah menemukan diri terjaga dipelukkan Ditto, belum lagi keterlanjangan, tanpa sehelai benang semakin menguatkan asumsi bahwa kejadian kemarin memang benar terjadi. Jingga lantas berusaha melepaskan diri dari pelukkan Ditto. Sia-sia. Usaha itu nyatanya berbuah rengkuhan yang semakin erat. Alih-alih membebaskan dirinya, Ditto justru makin posesif melakukan dekapan.  “Lepas! Gue balik ke kamar gue sendiri!” kesal, Jingga pada ulah Ditto. “Ditto!” Ditto menulikan telinga. Ia terus memeluk erat tubuh yang masih membelakangi dirinya. Sesekali ia bahkan memberikan kecupan-kecupan seduktif di pundak telanjang Jingga.  "Stop! Gue.. Gue benci sama lo!” Ditto tetap tuli, walau getaran dari tubuh Jingga mampu ia rasakan. Wanitanya menangis, mengetahui itu Ditto lantas membalikkan tubuh Jingga, hingga kini keduanya saling berhadapan. ‘Sial,’— niat hati ingin menenangkan, Ditto justru susah payah menelan ludahnya saat sepasang milik Jingga menyembul. Hal itu terjadi karena lengan-lengan Jingga tersilang demi menutupi aset berharga wanita itu. Reflek, Ditto melepaskan cengkeraman tangannya di pundak Jingga. "Nggak usah ditutupin aku udah lihat. Udah ngerasain juga semalem." Mendengar itu tangis Jingga justru semakin menjadi-jadi. Jingga mengutuk keras apa yang Ditto lakukan pagi tadi. Mereka melakukan hubungan suami-istri tanpa adanya ikatan cinta yang mestinya ada di saat melakukan kegiatan tesebut. “Berhenti, b******k!” maki Jingga ketika tangan Ditto bergerak lancang dengan meremas salah satu miliknya. "Kenapa? Gue berhak dan gue mau lo sekarang juga Ngga!” Kata Ditto lalu mengangkat dirinya sendiri dan menindih tubuh Jingga. Bibir bengkak Jingga terlihat begitu seksi, membuat Ditto bergerak tak sabar dalam melumat benda kenyal tersebut. Baru satu kali seumur hidup Ditto melihat secara langsung wanita telanjang selain keluarga intinya. Tubuh Jingga yang seksi, entah mengapa membuat Ditto ingin terus merasakan wanita yang menyandang status sebagai istrinya tersebut. Ting Tong, Ting Tong! Ditto mengutuk siapa saja yang berada dibalik pintu apartemennya sekarang Kenapa harus menganggu acara menyenangkannya bersama Jingga sih!  "Gue aja yang buka, lo di sini aja!” titah Ditto. Ia sempat mengecup punggung telanjang Jingga, sebelum akhirnya bangkit dan bergerak menurun ranjang demi memakai pakaiannya. Jingga menutup mata, terlalu lelah dengan cobaan. Kenapa semua tiba-tiba menjadi rumit. Satu-satunya hal yang harus dia jaga ketika nanti meninggalkan Ditto sudah di ambil secara paksa. Bagaimana dia bisa melepaskan Ditto setelah ini?! Bagaimana kalau nanti dia hamil?! Nggak!! Gue nggak boleh hamil.. Jingga membelitkan selimut yang masih terlipat rapi ke tubuhnya. Lebih baik dia kembali ke kamar. Di sini hanya mengingatkan Jingga pada malapetaka yang Ditto lakukan pada dirinya. "Wanjir lo anaknya Pak Haryo, pindah kagak bilang-bilang kan gue mau ngerus..." Kata-kata Michell terhenti saat kedua matanya melebar, melihat wanita yang ia kenal baru saja keluar dari sebuah ruangan. Michell yakin itu merupakan kamar si pemilik apartemen, dan ia juga yakin jika Jingga hanya menggunakan selimut tebal demi menutupi ketelanjangan dirinya. “Lo liat ap..”  ketika Ditto melihat apa yang sahabatnya lihat, mata Ditto kontan membulat sempurna. “s**t!” umpat Ditto menemukan Jingga keluar berhandukan selimut. “Ampun ini cewek!” Ditto berlari menghampiri Jingga, lalu memeluk tubuh sang istri agar tak lagi bisa dinikmati oleh Michell. “Tutup mata lo, Mich!” erang Ditto dengan suara tertahan. Bukan menuruti apa kata Ditto, Michell justru mengajukan tanya dengan suara lantangnya. "Lo, Lo berdua abis ena-ena?" “Sialan! Gue bilang merem, b******k!” bentak Ditto mulai hilang akal. “Lo juga! Apa maksud lo keluar nggak pake apa-apa, hah?!” kali ini Jingga juga mendapat bagian dari kemarahan Ditto. "Gue nggak punya baju, lo lupa siapa yang ngerobek hah?!" Tidak mau terlihat lemah, Jingga menyentak balik Ditto. Tentu wanita itu tak ingin kalah karena ia jelas tak salah. Hais, ngejawab lagi.. Ditto menggiring Jingga masuk ke dalam kamarnya. "Maaf, maaf! Gue syok lo keluar kaya gitu, apa lagi diliat cowok laen di sini, Ngga...” ujar Ditto tulus sembari memegang pundak Jingga. "Jangan sentuh gue lagi, jangan pernah sentuh gue lagi!  Sentuh aja cewek yang lo cinta." Jingga berlalu dari hadapan Ditto. Wanita itu berjalan menuju kamar mandi di kamarnya lalu, Blaaaam!! Menutup pintu dengan bantingan keras. "Mana mungkin gue sentuh Vena, kalau wanita yang pernah gue tidurin cuman lo doang." Lirih Ditto sembari menatap melas pintu kamar mandi. Secinta apapun dia pada Vena,  Ditto tetap tidak akan meniduri wanita yang bukan haknya. Ditto beranjak. Meninggalkan kamar Jingga. Lelaki itu memilih duduk disamping sosok Michell yang sepertinya sedang berpikir keras. “Kenapa lo?!” selidik Ditto. “Lo sama Jingga?” Ditto mengangguk, tahu kemana arah pertanyaan Michell mengarah. “Jadi lo selingkuh sama dia dibelakang Vena?” Ditto menggeleng lalu menyandarkan diri dipunggung sofa. “Nggak lah!” “Demi apa nggak! Lo ena-ena dibelakang Vena wahai anaknya Pak Haryo Botak.” Tekan Michell tak bisa biasa saja. “Jadi namanya apa kalau bukan selingkuh?! Kuda-kudaan sama cewek yang lo tolak, definisinya apaan lagi?!” gas Michell membuat Ditto ingin mencium bibir Michell karena sahabatnya itu terus saja nyerocos sembari menyudutkan. “Anjir lah! Lo inces berarti, Ibab!” Dua mata Ditto membulat. Apa tadi?! Inces?! “Sembarangan anak Papa Ditpa!” kesal Ditto karena dituduh yang tidak-tidak. “Iya lah! Katanya Jingga adek lo?! Udah kayak Si Mel dia?!” lagi Michell bertindak menyudutkan Ditto melalui kata-katanya membuat Ditto terdiam sesaat sebelum melayangkan komentar betapa cerewetnya Michell sekarang. “Abis kecelakaan makin cerewet ya lo, Mich! Gue cipok juga deh lo!” sewotnya. “Hahaha..” Michell tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. “Biasa aja dong muka,  jangan ngamuk gitu.” Ujarnya ketika melihat ekpresi Ditto. “Eh, Jingga.” Sapa Michell. Mata Ditto tak bisa lepas dari Jingga. Pandangannya tajam, jatuh pada sosok yang baru saja keluar sembari menyeret sebuah koper berukuran bersa. “Mau kemana lo?!” tanya Ditto yang kini berdiri tegak. “Mau kemana?” ulang Ditto karena tak mendapatkan jawaban dari Jingga. Lelaki itu menarik lengan Jingga yang sedang mengunci pintu kamar. “Lo punya mulut, Jingga!” “Pergi! Gue nggak mau lagi di sini. Apalagi hidup berdua bareng lo!”  Rahang Ditto mengeras. Lelaki itu lantas mencengkeram lengan Jingga, “Denger!,” hardik Ditto, “Lo nggak akan bisa kemana-mana tanpa ijin dari gue!” "Apa hak lo?” dengus Jinga. “Terserah gue mau ke mana aja. Lo nggak ada hak larang gue." Jingga menyentak jemari Ditto, hingga lengannya terbebas. Ditto terkekeh. Ia melipat kedua lengannya di atas d**a. “Jangan lupa Ngga, sejauh ini lo masih istri sah gue secara agama. Gue jelas berhak! Karena sebelum keluar kata talak, semua yang lo lakuin harus dapat ijin dari gue.” Tekan Ditto menjelaskan hubungan mereka sehingga membuat Jingga tertawa mengejek. "Suami? Pantes lo dibilang suami?! Mana ada suami yang nembak cewek pujaan hatinya selesai ijab kabul sama istri? Ngaca lo! Nggak pantes! Jadi ceraiin gue sekarang juga! Pinta Jingga membuat Ditto semakin meradang meradang. Baru juga dua hari pernikahan mereka terjadi, Jingga sudah meminta cerai. Walaupun pernikahan itu terjadi atas paksaan, setidaknya Ditto tidak ingin bermain-main dengan hubungan sesakral pernikahan. Andai saja Jingga tahu alasan kenapa ia menembak Vena, ingin sekali ia berteriak memaki wanita itu. Memaki Jingga! Bahwa harga dirinya sebagai lelaki terluka karena keinginan Jingga yang ingin menyudahi pernikahan merek. Harga dirinya terluka sebagai seorang suami karena diperbolehkan terus mengejar Vena. Si gadis yang Jingga tahu sebagai pujaan hati. Sejak keluarga mengaminkan pertanyaan sah penghulu, Ditto ingin sekali berkata agar keduanya berusaha menjaga pernikahan mereka. Namun ucapan Jingga membuat egonya sebagai seorang laki-laki terluka. Bukankah sudah Ditto katakan, dia menyanyangi Jingga, bahkan sangat, layaknya dia menyanyangi Mel sang adik. Terlanjut memuncak, Ditto yang geram melayangkan tendangan pada koper Jingga. ‘WOW,’ begitulah komentar Michell ketika melihat amarah yang Ditto luapkan. Baru pertama ini pasalnya Michel mengetahui sosok lain dari Ditto anaknya Pak Haryo Botak. “Bener-bener lo ya, JING!” Ditto menyeret Jingga hingga memasuki kamarnya. Ia lantas  mebanting tubuh Jingga hingga terjatuh di atas ranjang. Tak ingin mangsanya kabur, Ditto beregas mengunci Jinggan dengan menindih sang istri. Secara paksa Ditto melakukan sentuhan, mencoba tuli dengan isakan Jingga. Ia bahkan telah membuat tanda kepemilikan disepanjang tengkuk Jingga. "Jangan To, please, jangan sentuh gue lagi." Isak Jingga berharap Ditto mau mendengarkannya. Ditto yang masih diliputi oleh amarah membalikan tubuh Jingga. Mengurung wanita itu agar tak bisa kabur darinya. Dengan tatapan penuh luka Ditto mencium dan melumat bibir Jingga. Salah satu tangannya mengunci lengan Jingga ke atas kepala wanita itu. Sedangkan tangan kananya membuka kancing-kancing kemeja biru Jingga. Setelah berhasil meloloskan kemeja Jingga, tangan Ditto turun melepaskan legging hitam  yang istrinya kenakan. Jari-jari Ditto lantas bergerak bebas. Bergerilya kesana kemari hingga berakhir di pusat wanitanya. "To, lepasin gue To. Hiks." Isak Jingga sambil menutup mata. Ditto seakan menulikan pendengarannya akan isakan Jingga. Lelaki itu terus memaksakan kehendak, hingga berakhir pada teriakkan tak rela Jingga kala ia berhasil menyatu dengan sang istri. "Gue nggak akan ceraiin lo, nggak akan!” Ujarnya tanpa sadar sembari terus melakukan aksinya dalam menggauli Jinga. Di luar Michell hanya bisa menggelengkan keala. ‘Nggak tahu malu banget Ditto anaknya Pak Haryo Botak,’ komen Michell dalam hati karena kelakuan sang sahabat. Sudah tahu ada tamu, eh malah ditinggal ena-ena. Mana pakai adegan teriak-teriak lagi. “Lah ngapain gue ngebatin yak? Ngomong kayak gini juga dia nggak denger sih!” Michell tak habis pikir pada dirinya sendiri. “Ck, kawinnya juga kapan lagi tuh bocah udah teriak cerai-cerai aja! Aneh emang!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD