"Jadi kalian akan mengantarkan-ku pulang dulu ke Resort?" Irna menoleh ke belakang menatap wajah Evan dan Rian bergantian.
"Iya nona manis." Ujar Rian sambil tersenyum mengusap kepala Irna. Irna juga membalasnya dengan senyuman manis.
Evan hanya bisa bersiul-siul santai melihat betapa Rian menyayangi Irna. Irna melihat wajah Evan dari kaca spion mobil, pria itu juga sedang melihatnya tanpa berkedip di belakang punggungnya. Melihat sorot tajam dari matanya, Irna segera membuang muka menatap ke arah lain. Demi menghindari tatapan tajam matanya.
"Kenapa?" Rian tersenyum melihat perubahan tiba-tiba pada wajah gadis di sebelahnya.
"Hahahaha, tidak ada apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir." Irna kembali menoleh sekilas ke arah spion, Evan benar-benar tidak mau berpaling dari menatap wajahnya.
Rian tahu apa yang dikhawatirkannya. Pria itu meraih jemari tangannya, meremasnya dengan lembut. Irna mendapatkan isyarat itu hatinya merasa lega. Dia tahu isyarat dari Rian. Dia bisa memahaminya.
Sekitar dua puluh lima menit mobil Rian sampai di parkiran Resort Fredian.
"Aku ingin bicara sebentar padamu." Irna menarik pergelangan tangan Rian turun dari mobilnya, membawanya masuk agak menjauh dari Evan. Melihat Irna begitu antusias, Evan tahu apa yang ingin dilakukan Irna padanya.
"Ctik! Blap!" Mendadak semuanya kembali terhenti kecuali Irna dan dirinya.
"Apa yang kamu lakukan!" Teriak Irna saat melihat tubuh Rian terdiam tiba-tiba. Irna pikir sihir tersebut hanya berlaku pada manusia, bukan vampir! Tapi melihat Rian ikut terhenti, dia tahu itu berlaku pada orang yang diinginkan oleh Evan Herlands.
"Tentu saja ini agar kamu tidak mengatakan siapa diriku pada priamu." Ujar Evan, seraya melangkah di belakang punggungnya, menghembuskan nafasnya di tengkuk Irna.
"Kamu pria gila! Sebenarnya apa yang kamu inginkan!" Tanyanya lagi pada Evan.
"Dirimu!" Bisik Evan sambil mengambil beberapa helai rambut panjangnya kemudian menciuminya.
Irna segera menepis tangannya.
"Mimpi saja! Cepat bebaskan Rian!" Teriaknya sambil mendelik marah pada Evan Herlands.
"Cium dulu!" Bisiknya sambil cengar-cengir.
"Apa yang mau kamu cium!? Kamu mau bibirmu hilang?" Seringai Fredian sambil berkacak pinggang menepuk bahu sahabatnya Rian.
"Cepat sekali kamu datang? Aku pikir masih meeting." Ucap Rian sambil tersenyum menjabat tangan sahabatnya itu.
"Kalian bagaimana mungkin? Bagaimana kalian bisa melawan sihirku?" Tanyanya pada Rian dan Fredian.
Kini Irna tahu, Rian hanya pura-pura sejak tadi. Benar-benar akting yang luar biasa!
"Ayo ke laboratorium!" Rian segera menyeret lengannya pergi menuju ke mobil. Dia tidak ingin pria itu membuat masalah lebih buruk dibandingkan dengan sebelumnya. Sihir Evan benar-benar tidak berfungsi untuk Rian dan Fredian. Dua pria berstatus pangeran! Sepertinya Evan tidak tahu, siapa Fredian dan Rian sebenarnya. Hingga dia berani mengusik ketenangan Irna.
"Tapi presdir aku.." Ucapanya terhenti karena Rian mendorong punggungnya masuk ke dalam mobil. Irna melambaikan tangannya ke arah Rian. Pria itu tersenyum menatap Irna sudah tidak khawatir lagi padanya.
"Sepertinya istriku tidak rela melihat mantan suaminya kembali pulang." Ledek Fredian sambil mendahuluinya masuk ke dalam Resort. Irna bergegas mengejar, dan menggamit lengannya.
"Kenapa? Kamu tiba-tiba cemburu lagi padanya?" Tanya Irna seraya menggesekkan kepalanya pada lengan Fredian.
"Aku tidak cemburu, aku hanya tidak ingin melihatmu terus memikirkannya." Ujar pria itu seraya menghentikan langkahnya di lobi hotel. Dia menatap wajah istrinya lekat-lekat, mendadak ingin melumat bibir tipisnya.
Fredian meraih pinggangnya dan melumat habis bibir tipisnya. Tindakannya itu membuat resepsionis hotel tersebut malu sendiri. Mereka buru-buru menundukkan kepalanya tidak berani mencuri pandang.
Fredian tersenyum mendengar ucapan Irna, pria itu segera mengangkat tubuhnya, membawanya masuk ke dalam sebuah kamar hotel khusus untuk mereka berdua, tak jauh dari ruangan kerjanya.
"Ada banyak klien sayang.." Bisiknya seraya melonggarkan dasinya.
Fredian menjatuhkan tubuhnya di sebelah Irna.
"Aku lelah sekali Fred." Bisiknya sambil mengelus lembut d**a bidang suaminya. Irna merebahkan kepalanya di atas d**a Fredian.
"Tidurlah." Bisiknya sambil mengecup ubun-ubun kepala Irna. Fredian membelai lembut punggung mulus istrinya.
"Fred, Karin tadi sore mengirimkan pesan padaku. Dia memintaku untuk pergi menemuinya, menurutmu aku harus bagaimana? Kamu suamiku bukan? Dan kita tidak sedang melakukan hubungan gelap. Tapi kenapa aku merasa dia menuding diriku sebagai perebut pacarnya." Keluh Irna dengan bibir cemberut, menengadah menatap wajah Fredian.
"Abaikan saja sayang." Ujarnya santai masih mengusap punggungnya.
Irna menggeser posisi tidurnya, kini dia merebahkan kepalanya di bahu kanan Fredian. Irna menyentuh bulu mata lentik suaminya. Membuat Fredian batal menyambut dunia mimpinya.
"Kenapa?"
"Kamu tampan sekali!" Irna tersenyum manis menatap wajah suaminya yang berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya sendiri.
"Kamu juga cantik istriku!" Desahnya sambil mulai meremas bongkahan kenyal milik Irna yang masih terpampang bebas di depan matanya tanpa tutup sama sekali.
"Kamu hanya menyukai ini?" Tanya Irna pura-pura merajuk tidak senang.
"Siapa bilang?" Bisik Fredian lagi sambil tersenyum.
"Aku suka semuanya yang ada pada dirimu, Irna. Cup!" Mendaratkan sebuah ciuman lembut di kening Irna seraya memeluknya erat-erat.
Fredian terjaga ketika mendengar suara ketukan pintu pada daun pintu kamarnya. Pria itu menyambar piyamanya dari gantungan yang ada di sebelah tempat tidurnya.
"Kamu mau kemana?" Tanya Irna dengan mata setengah terpejam. Masih merasakan kantuk yang luar biasa. Perlahan sekali gadis itu mengerjapkan matanya menatap kepergian suaminya.
Fredian tersenyum menatap Irna masih menahan kantuknya, gadis itu memeluk pinggangnya. Dia tidak ingin Fredian pergi malam itu.
"Ada seseorang yang mengetuk pintu. Sepertinya ada tamu." Ucapnya pada Irna. Gadis itu perlahan melepaskan pelukannya dari pinggang suaminya.
Beralih menatap ke arah pintu. Dimana Fredian sedang menuju sekarang. Pria itu membuka pintu kamarnya, dia mendapati Alexander sudah berdiri di sana. Alexander adalah saudara sepupu Karin.
Fredian segera menutup pintu di belakang punggungnya, dia tidak ingin pria bernama Alexander tersebut melihat Irna berada di dalam kamarnya.
"Ada keperluan apa mencariku malam-malam begini?" Tanya Fredian dengan nada sopan.
Dia menunggu pria di depannya itu segera menyatakan keinginannya, hal apa yang membuatnya tidak bisa menunda pertemuan dengannya sampai-sampai tengah malam buta tetap berkunjung, sampai mengetuk pintu kamarnya.
"Ini masalah kerjasama antara perusahaan kita presdir, kalau tidak keberatan bolehkah kita menikmati secangkir kopi sejenak?" Ucapnya sambil tersenyum.
"Tidak perlu, untuk masalah perusahaan saya akan meluangkan waktu besok kalau tidak lusa. Dan maaf saya tidak berminat untuk minum kopi ditengah malam, tepat pada jam waktu istirahat saya." Balas Fredian pada Alexander.
"Oh baiklah, kalau begitu saya pamit undur diri. Presdir." Alexander menundukkan kepalanya lalu melangkah pergi menuju lobi hotel tersebut. Ada rasa kecewa tersirat jelas di wajah pria itu saat Fredian menolak maksud kedatangannya.
Fredian segera kembali masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak mendapati Irna di dalam kamar. Dia juga tidak melihat gadis itu keluar hotel, jika Irna keluar pasti dia akan melaluinya karena jalan menuju lobi adalah tempat dimana dirinya berdiri bersama dengan Alexander barusan.
"Irna? Irna?" Panggilnya sambil membuka pintu kamar mandi di dalam kamarnya.
Saat membuka pintu kamar mandi Fredian mendapati gadis kurus berdiri mematung menatap kosong ke arahnya. Rambut panjangnya terurai sampai ke punggung, wajahnya pucat pasi. Fredian segera menutup pintu kamar mandinya, mendapati sosok hantu tersebut.
"Irna? Irna?" Panggilnya lagi, tidak ada sahutan atau jawaban sama sekali. Akhirnya dia terpaksa berlari menuju ke lobi Resort. Dia bertanya pada resepsionis hotel miliknya.
"Apakah kalian melihat dokter Kaila pergi keluar?" Tanyanya pada petugas yang berjaga di sana. Pertanyaan darinya hanya dijawab dengan gelengan kepala dua penjaga meja resepsionis itu.
Fredian menjatuhkan tubuhnya di kursi lobi. Sambil berusaha menghubungi Irna melalui ponselnya.
"Tuuut! Tut! Tut! Tut!" Ponsel Irna terdengar sibuk. Fredian mulai khawatir ini ada hubungannya dengan Karin. Apalagi kondisi Irna masih belum pulih, dia takut terjadi sesuatu pada istrinya.
Dengan terpaksa dia kembali menghubungi nomor Karin dan tentu saja dijawab dengan suara manjanya.
"Halo Fredian sayang.."
"Apa kamu bersama dengan Irna sekarang?" Tanyanya pada Karin tanpa basa-basi. Dia sudah tidak bisa bersabar jika itu menyangkut keselamatan istri tercintanya.
"Kenapa buru-buru sekali? Kaila sedang tertidur pulas. Apa kamu mau aku membangunkannya?" Tanyanya pada Fredian.
"Cepat katakan dimana kamu membawa Kaila!" Teriaknya dengan suara lantang.
Kini Fredian tahu kenapa Alexander tiba-tiba mengetuk pintu kamarnya, itu hanyalah untuk mengalihkan perhatiannya. Agar Karin bisa membawa Irna keluar dari dalam kamarnya.
"Datanglah ke apartemenku, jemput dia di sini." Ujar Karin sambil tersenyum karena merasa menang bisa menyingkirkan Irna.
Fredian segera bergegas menuju apartemen dimana tempat Karin tinggal. Dia memarkirkan mobilnya di depan gedung berlantai 25 tersebut.
Karin sudah memberikan nomor apartemen tempat dia tinggal. Fredian bergegas sambil berlari. Di dalam benaknya dia harus segera menemukan Irna. Hanya Irna yang ada di dalam hatinya. Hanya Irna!
Sampai di depan pintu kamar Karin Fredian segera mengetuk pintu kamarnya.
"Karin! Karin! Buka pintunya! Brakk! Brakk! Braak!" Teriaknya dengan tidak sabar sambil memukul-mukul daun pintu apartemen Karin.
"Krataaak, kenapa tidak sabar sekali?" Desahnya seraya meraba leher Fredian. Fredian langsung menepis tangan wanita itu dari tubuhnya. Karin mengenakan gaun malam tipis berwarna putih. Menampilkan G-string juga belahan dadanya di depan mata Fredian. Dia ingin sekali bermadu cinta dengan pria idaman hatinya itu.
"Cepat katakan dimana Irna!" Sergahnya dengan tidak sabar.
"Kenapa kamu tidak menghubungi rivalmu? Mungkin saja dia sedang memadu cinta dengan kekasihmu di dalam laboratorium miliknya! Hahhahahha!" Karin tertawa lebar sambil menyentuh pipi Fredian.
"Apa maksudmu!? Jangan menuduh jika kamu tidak punya bukti sama sekali! Kamu pikir aku akan percaya dengan bualanmu?" Sergah Fredian sambil mengguncangkan bahu Karin.
"Fred.. aku sangat merindukanmu.. " Bisiknya di telinga Fredian sambil memeluk pinggangnya. Tubuh Karin menempel pada tubuh Fredian memeluknya erat sekali.
Di sisi lain..
"Lihat itu? Suamimu bahkan tidak bisa menepis wanita itu dari tubuhnya." Seringai Alexander pada Irna, gadis itu berdiri di sebelahnya. Irna terlihat sangat santai menyilangkan kedua tangannya, menatap pemandangan di depannya. Menatap ke arah Karin yang sedang sibuk merayu suaminya.
"Hahahaha! Kamu lucu sekali! Apa kamu hanya ingin menunjukkan hal yang sama sekali tidak seru ini padaku?" Tanyanya santai sekali sambil menepuk punggung Alexander. Irna hanya tersenyum menggelengkan kepalanya berkali-kali menatap wajah terkejut Alexander di sebelahnya.
"Apa maksudmu? Nona Kaila tunggu!" Tahan Alexander saat Irna bergegas pergi meninggalkan mereka bertiga.
Fredian lambat-lambat mendengar suara Alexander memanggil namanya, dia segera mendorong tubuh Karin agar segera menyingkir dari tubuhnya.
"Fredian! Jangan pergi!" Tahannya pada pria yang sudah beranjak dari depan pintu apartemen miliknya.
"Dasar wanita gila!" Ujarnya sambil menepis tangan Karin dari lengannya.
Fredian segera berlari mengejar Alexander. Tapi dia tidak menemukan istrinya. Akhirnya dia hanya bisa melangkah lesu menuju ke arah mobilnya. Fredian segera masuk dan duduk di belakang kemudi mobilnya.
Fredian terkejut setengah mati melihat senyuman manis dari kaca spion dalam mobilnya. Dia melihat Irna sudah duduk santai di kursi bagian belakang.
"Irna? Aku mencarimu tadi! Dan aku pikir Karin yang membawamu pergi." Jelasnya sambil menoleh ke kursi belakang.
"Aku berada di dapur hotel. Perutku lapar sekali. Dan aku kemari untuk menyusulmu. Sebelumnya Karin melihatku menerima telepon dari Rian, dia pasti mencuri dengar percakapan kami berdua, aku pergi keluar sebentar untuk menerima telepon darinya mengenai ramuan, aku tidak segera mengambilnya karena melihatmu tiba-tiba keluar dari Resort." Jelasnya panjang lebar pada Fredian. Dia tahu Karin pasti sudah mengatakan pertemuan mendadak dirinya dengan Rian malam ini.
Apalagi gadis itu sangat berhasrat untuk memisahkan dirinya dengan Fredian. Yang Karin pikir adalah pasangan kekasih.
"Antar aku ke laboratorium pusat." Perintahnya pada Fredian. Mendengar itu Fredian hanya menganggukkan kepalanya lalu menyalakan mesin mobilnya menuju NGM.