“Nah itu dia si putri tidur. Lama banget sih sis ngapain aja? Mentang-mentang mau dikasih bule lama bener dandannya.” Suci nyeletuk ketika Irina menghampiri meja yang sudah diduduki oleh sahabat-sahabatnya.
“Bule apaan?” tanya Irina bingung.
“Ini loh barang idup yang gue janjiin tadi.”
“Ah setan lo. Gue pikir barang idup itu ubur-ubur yang lo bawa dari Bali.” Irina segera meraih gelas yang disodorkan oleh Rima padanya sambil menyunggingkan senyuman. Sahabat-sahabat Irina hafal betul dengannya. Tanpa diminta mereka memesankannya greentea ice favorite Irina.
Rima sahabat Irina yang satu ini memang tak pernah banyak berbicara tapi dia akan selalu memperlihatkan sayangnya pada sahabat-sahabatnya dengan tindakan seperti barusan. Dia akan berbicara jika ditanya dan mendengarkan dengan baik jika teman-temannya sedang berbicara. Rima akan memberikan pendapatnya jika sekiranya memang perlu. Tapi dia adalah sahabat yang sangat mengerti dengan sahabat-sahabatnya.
Lain lagi dengan Suci yang sedikit galak dengan wajah yang mewakili namanya, cantik dan terlihat lembut. Namanya memang Suci tapi jangan tertipu dengan kata-katanya yang sering mengeluarkan kata-kata yang lumayan membuat hati orang lain perih namun apa yang dikatakannya tak pernah mempunyai niatan buruk, Suci hanya terlalu jujur saja. Tapi jika sahabat-sahabatnya kesulitan Suci akan berada dibarisan depan untuk membelanya. Walaupun kelihatannya memang agak kasar, tapi Suci adalah sahabat yang sangat posessive jika menyangkut orang-orang yang disayanginya.
Lain lagi dengan Desi yang sangat manja dan mudah sekali berpindah hati. Bukan karena dia seorang player tapi Desi akan segera mencari pengganti walau sebelumnya dia akan sesenggukan hingga menangis darah kepada para sahabatnya tapi setelahnya dia akan normal seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi Desi akan bersedia melakukan apapun demi orang yang dicintainya bahkan Desi hampir kehilangan semua hartanya saat dia sedang tergila-gila dengan sesorang. Tapi Desi tidak akan pernah menyerahkan keperawannya. Desi masih menjunjung tinggi adat timur terlebih Desi adalah keturunan Sunda asli yang diwarisi dari ibunya dan kental sekali dengan adat istiadat. Tahu sendiri orang Sunda lembutnya kayak gimana.
“Oh, ya Ci. Gimana ceritanya lo bisa ketemu sama bule yang ini. Siapa namanya?” seperti biasa, Suci mulai mengintrogasi sahabatnya Desi. Suci sangat senang memanggil Desi dengan Eci. Itu karena Desi tidak suka dipanggil Eci walaupun keluarganya juga memanggilnya dengan nama Eci. Semakin Desi cemberut, semakin suka Suci menggodanya.
“Philip.” Jawab Desi.
“Nah yah. Itu si Philip.”
“Jadi, gue ketemu Philip di Hotel...” Belum selesai Desi bercerita, Suci sudah memotongnya dengan pandangan menyelidik.
“Jangan bilang lo udah...”
“Enggaklah Ci. Gila lo, gue masih suci yah. Makanya dengerin dulu.”
“Jangan negatif dulu napa sih Ci.” Irina merasa gatal ingin memberi komentarnya.
“Sorry.”
“Gue ketemu Philip di hotel. Doi lagi bingung banget sama bahasa si receptionis. Bahasanya tuh nanggung banget. Gue juga heran di hotel semewah gitu tapi bahasanya malu-maluin. Gue bantu ya kan. Setelah itu yah jadi keterusan deh.” Ujarnya dan diahkiri dengan senyum malu-malu khas Desi.
“Gue rasa nih ya. Tuh bule manfaatin lo biar dapet tour guide gratis deh.” Cetus Suci sarkas.
“Kalo gue sih terserah yah. Gue happy ini, gara-gara itu juga gue dapet bule. Dan yang pasti dia gak sendiri. Makanya, bule yang satu gue hadiahin buat Irina.”
“What? Lo gak salah Des? Kayak gue gak mampu aja dapet cowok.” Merasa tidak terima dengan sahabatnya yang seolah meremehkan kejombloannya, Irina protes sambil meneguk minumannya
“Lo emang mampu Na. Tapi lo terlalu terpaku sama Rayen. Lo gak pernah buka hati lo.” Kali ini Rima ikut berkomentar.
“Ngomong-ngomong soal Rayen gue mau cerita.” Irina tahu kedua sahabatnya Rima dan Desi tak mengetahui cerita kelanjutan dari Irina dan Rayen. Irina tahu betul walaupun Suci terkesan blak-blakan tapi Suci tidak pernah mau membagi cerita sahabatnya pada orang lain selama sahabatnya sendiri tidak bercerita walapun dengan sahabatnya sendiri.
“Rayen? Kenapa? Jangan bilang lo...” Desi menirukan bicara Suci.
“Dia balik lagi.” Jawab Irina cepat.
“What?” Desi dan Rima bersamaan dengan nada yang berbeda sambil melihat Irina dan kemudian melihat Suci.
“Kenapa lo gak kaget? Lo udah tahu Ci?” tanya Desi pada Suci. Desi juga tak mau kalah, Desi juga selalu manggil nama Suci dengan sebutan Cici. Jelas Suci juga tidak menyukainya. Walau tampangnya oriental banget tapi Suci bukan Cici-cici juga.
Suci hanya menganggukkan kepalanya.
“Gila tuh cowok. Udah bagus dia gak balik lagi. Dia apain lo Na? Kalo sampe dia rayu lo lagi, awas aja tuh.” Ancam Desi pada Irina. “Gue gak tahu lagi deh kalo kejadian dulu sampe kejadian lagi sekarang.”
“Setelah kalian bertemu, lo ada ngomong apa gituh sama dia?” Rima kali ini yang mengintrogasi Irina.
Irina menceritakan pertemuan pertamanya kembali dengan Rayen setelah bertahun-tahun menghilang hingga perkataan Rayen yang membuat Irina semakin hancur. Ketiga sahabat Irina mendengarkan dengan seksama. Sesekali mereka terlihat gemas dengan sikap Rayen pada Irina. Hingga Rima yang seolah mengingat sesuatu dan...
“Mikir apaan sih Rim.” Pertanyaan Desi membuat Irina dan Suci menoleh pada Rima.
“Nggak. Gue Cuma keingetan terus sama kata-kata Rayen. Kayak de javu gitu.” Jawab Rima dengan wajah berpikirnya.
“Alah. Itu mah emang tuh cowok b******k aja. Emang gak punya hati.” Suci yang sedari tadi sudah menahan gemasnya mulai berkomentar lagi.
“Ah. Gue inget.” Pekikan keras Rima membuat semuanya terlonjak kaget.
“Apa sih lo?!” Desi menepuk lengan Rima saking kagetnya.
“Mungkin gak sih ada seseorang yang dengerin kita atau mungkin lebih parahnya lagi Rayen denger sendiri dan dia dengernya gak tuntas?” Rima sepertinya sudah mengingat sesuatu yang dia bilang de javu.
“Apaan sih gak ngerti gue?” Suci mulai frustasi dengan ingatan Rima yang bahkan mungkin semua sahabatnyapun tidak mengerti.
Rima memang mempunyai ingatan yang super dibanding dengan sahabatnya yang lain. Selain kepintarannya yang diatas rata-rata dan dengan kepintaran dan ketenangannya ini juga Rima memilih menjadi seorang pengacara handal di sebuah biro hukum ternama di Indonesia.
“Itu loh pas kita ngumpul-ngumpul di Morning Days Caffe beberapa tahun lalu sebelum Rayen ngilang.” Rima mencoba mengingatkan sahabat-sahabatnya lagi.
“Yah terus? Hubungannya apa?” Irina juga mulai frustasi mendengar penjelasan dari Rima.
Otak jenius Rima mulai berfikir untuk menciptakan sebuah inovasi untuk menciptakan alat untuk mentransfer pikirannya agar teman-temannya mengingat kejadian yang entah mereka akan mengingatnya lagi atau tidak.
Rima menghela nafasnya panjang karena mulai frustasi untuk mengingatkan sahabat-sahabatnya.
“Oh..My..God. Jangan bilang pas Irina lagi nenangin Desi yang kelimpungan gara-gara cowok pengeretan itu?” Oh Tuhan terimakasih karena sahabatnya Suci mulai mengingat kejadian yang mustahil diingat itu. Batin Rima.
“Yups. Tepat sekali.” Rima menyenderkan punggungnya di kursi setelah frustasinya hilang.
“Ya, terus? Apa sih? Gue gak ngerti sumpah.dan please jelasin sejelas-jelasnya.” Oh tuhan Irina frustasi dengan kata-kata dua sahabatnya ini.
“Duh, please deh Na. Lo inget-inget lagi. Pas si Eci tabungannya di kuras habis dan hampir kehilangan mobilnya terus lo panas-panasin si Eci karena punya Rayen yang apalah gue lupa. Dan lo yang gak pernah pake hati sama Rayen. Dan seterusnya gue lupa deh lo ngomong apa.” Suci bersungut-sungut menjelaskan pada Irina yang jelas Irina sendiri yang bilang dan Irina sendiri yang lupa.
“Gue inget.” Terimakasih juga Rima ucapkan karena si empunya masalah akhirnya mengingatnya juga. “Jadi, selama ini gue yang udah ngancurin hati gue sendiri dan udah ngancurin Rayen juga?!” Irina jelas kaget dengan kenyataan ini, tapi kalaupun gara-gara itu harusnya Rayen
“Apa sih? Siapa yang ngancurin siapa? Terus kenapa gue harus ditenangin? Dan siapa si pengeretan itu?” Yah, Desi terkadang memang tak pernah mengingat saat-saat dia terpuruk karena laki-laki.
“Hmm. Lo inget mantan lo yang namanya Doni?” Baiklah. Rima memang yang paling sabar untuk menghadapi sikap telmi Desi.
“Doni?” See? Desi memang tak mengingatnya
“Doni Des. Mantan lo yang ngabisin hampir semua tabungan lo.” Semoga kali ini Desi mengingatnya. Harap Rima dan kedua sahabatnya.
“Oh, Doni Riyadi. Terus?” Setidaknya kali ini Desi mengingat mantannya.