Part 12

1992 Words
Akhirnya, selesai sudah kegiatan perlombaan antar sekolah yang diselenggarakan di sekolah menengah atas tersebut. Satu persatu peserta lomba mulai pergi dari sana. Begitu juga sebaliknya dengan para penonton.  Kini, tersisa lah anak-anak OSIS yang masih setia berada di sekolah. Mereka yang menyiapkan acara tentu juga mereka yang menyelesaikan acara. Ketua OSIS membagi tugas untuk setiap anggota OSIS untuk mengembalikan keadaan sekolah seperti sedia kala. Seperti membereskan arena perlombaan, menyapu halaman sekolah yang terlihat dipadati sampah penonton, mencopot banner perlombaan, dan masih banyak lagi. "Oke, tugas untuk Bimo dan Rahmat kelas 10 IPS 4, tolong copot banner perlombaan yang ada di depan sekolah ya." ucap sang ketua OSIS tersebut. "Baik, Kak." "Tugas untuk Lala dan Tio kelas 10 bahasa, tolong copot banner yang ada di pagar belakang sekolah." "Oke, Kak." "Tugas untuk Rian dan Olif kelas 11 IPA 5, tolong bersihkan halaman sekolah ya." "Siap, Kak." "Yang bersih. Banyak sampah plastikan di halaman sekolah. Apalagi di lapangan basket." "Baik, Kak. Laksanakan." Dan terus, ketua OSIS itu membacakan setiap nama anggotanya untuk melakukan apa yang ia katakan. Hingga tibalah nama Jessie dan Fathan. "Terakhir, tugas untuk Jessie dan Fathan kelas 11 IPA 1, tolong bersihkan seluruh toilet yang ada di sekolah. Saya rasa pasti banyak anak sekolah lain yang memakai toilet sekolahan kita namun tidak dengan standar yang baik. Saya hitung di sekolah ini memiliki 6 toilet. Dibagi dua jadinya tiga. Berarti satu dari kalian mendapatkan bagian tiga toilet untuk dibersihkan. Kalian bagi tugas saja ya!" "Uhukkkkk!" Fathan tiba-tiba batuk saat mendengar apa yang dikatakan ketua OSIS tersebut. "Kenapa, Than?" bisik Jessie. "Eh? Nggak. Nggak apa-apa." Bohong kalau Fathan tidak terkejut mendengarnya. Ya, tentu saja Fathan terkejut. Apa katanya? Membersihkan toilet? Ah, yang benar saja! Fathan benar-benar malas mendapatkan tugas tersebut! "Bisa dilaksanakan semuanya?" tanya ketua OSIS itu. "Bisa..." "Baiklah, laksanakan apa yang saya katakan. Kalau sudah selesai kalian bisa pulang." "Iya, Kak." "Okay, take a care semuanya. Terimakasih  banyak karena telah ikut berpartisipasi dalam acara ini. Semangat membangun jiwa keteladanan OSIS!" "Siap..." Ketua OSIS itupun pergi mengundurkan diri untuk pulang. Para anggota OSIS mulai berdecak kesal atas apa yang ketua mereka katakan. Bisa-bisanya ia seenak jidat menyuruh bawahannya untuk tetap di sekolah dengan dalih merapikan sekolah sementara ia malah pulang lebih dulu meninggalkan anggotanya. "Apaan, sih, nggak bertanggung jawab banget. Enak bener nyuruh orang bersihin sekolah sementara dia malah pulang duluan. Aneh!" protes salah satu anggota OSIS kelas 11. "Asli woi! Mana tugas gue disuruh mulung botol minuman bekas yang ada di halaman sekolah." "Hahaha bengek!" "Lah, mending lo disuruh mulung botol minuman bekas. Lah, gue disuruh nyopot spanduk lomba yang ada di atas pohon. Mana gue nggak bisa manjat lagi! Dasar kudanil!" "Kudanil lepas emang begitu kelakuannya!" "Bukan kudanil lagi namanya!" "Apaan tuh?"  "Mbah-nya kudanil!" "Nggak, nggak! Gue nggak setuju!" "Dih, kenapa?" "Jangan Mbah-nya kudanil! Julukan itu terlalu bagus untuk dia." "Jadinya apa dong?" "Jadinya belek dugong!"  "Astaghfirullah omongannya!" "Hahaha bengek!" "Parah sih kita ini ghibahin ketua OSIS sendiri." Para anggota OSIS itu saling menertawakan julukan yang mereka buat untuk ketua mereka sendiri. Bukannya melaksanakan tugas mereka malah berghibah. Entahlah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi pastinya prinsip "cewek selalu benar" dan "cowok selalu salah" itu akan tetap berlaku.  "Hei kalian, kata ibuku kita nggak boleh ngomongin kejelekan orang. Karena kalau kita membicarakan keburukan orang lain sama saja kita memakan bangkai orang tersebut. Udah yuk jangan ngeluh, namanya juga tugas kita sebagai OSIS. Yuk bisa yuk nggak boleh ngeluh." kata salah satu anggota yang tidak tertarik dengan topik obrolan itu. Tak berselang lama akhirnya para anggota OSIS pun mulai bergerak untuk membereskan sekolah mereka yang terlihat seperti kapal pecah karena acara tahunan itu. Mereka tidak mau terlalu lama berghibah karena takut juga dengan dosanya. Memang sih ghibah itu menyenangkan, tapi kalau diteruskan terus menerus dapat menjerumuskan kita ke arah yang negatif.  Begitupun dengan Jessie yang nampak ikhlas diberikan tugas membersihkan toilet sekolah.  Jessie sudah berdiri sementara Fathan masih saja duduk. Sebagai teman, Jessie mengetahui apa yang ada di dalam otak Fathan. Pasti Fathan masih syok karena diberikan tugas tersebut. Sebuah tangan berhenti melintas di depan wajah Fathan. Fathan mendongak ke atas dan melihat Jessie di depannya. "Ayo," ucap Jessie, "jangan dipikirin. Kalau dipikirin malah nambah pusing. Mending langsung dikerjain." Deg! Fathan kagum mendengar ucapan yang keluar dari mulut Jessie. Ia merasa malu dengan perbedaan gender antara ia dan Jessie. Walaupun Jessie seorang wanita, Jessie memiliki pemikiran yang sangat luas dan dewasa untuk sebuah pekerjaan. Fathan pun meraih tangan Jessie dan bangun dari tempat duduknya. Mereka pun berpencar mencari tiga toilet yang akan mereka bersihkan. "Lo bersihin toilet di lantai satu dan dua, sedangkan gue di lantai tiga dan empat. Kalau butuh bantuan gue lo tinggal telepon." ucap Fathan kepada Jessie yang dibalas anggukan kepala. "Oke." *** Fathan terlihat sangat lemas ketika membersihkan toilet siswa. Ia merasa mual seperti ibu hamil dibuatnya.  "Nih toilet perasaan tadi pagi masih bersih kinclong, kok sekarang jadi kotor gini sih. Mana baunya kayak ikan busuk!" kesal Fathan, "ah, ini mah harus disikat lagi sampai bersih!" Fathan mengambil sikat WC dan karbol lantai. Ia menuangkannya dengan hati-hati lalu menyikatnya dengan sepenuh hati.  "Hueeeek!"  "Hueeeek!" "Hueeeek!" Fathan mual. Ia sudah tidak tahan lagi dengan bau toilet yang membuat indra penciumannya terganggu. Apa ia harus keluar dari toilet itu? "Apa gue keluar aja ya dari sini? Bau banget nggak tahan." kata Fathan membatin. Namun tak lama dari itu akhirnya Fathan kembali berpikir untuk tidak pergi dari sana, "Halah, tanggung lah! Nggak baik juga kerja setengah-setengah. Biarin mau bau juga ya namanya juga tugas!" kata Fathan akhirnya bersemangat walaupun akhirnya pusing sendiri karena bau toilet yang sangat tidak sedap. "Gini amat nasib lo, Fathan." ujar Fathan berbicara sendiri. "Kasihan... Kasihan... Kasihan..." Fathan menirukan suara Upin & Ipin agar menjadi penghalang stresnya di ruangan kedap udara itu. Setelah satu jam melaksanakan tugas, akhirnya Fathan dan Jessie selesai juga. Terlihat waktu sudah ingin menunjukkan pukul setengah enam sore. Fathan keluar dari toilet dengan wajah yang terlihat kusut. Jessie yang melihatnya langsung bertanya. "Than? Lo nggak apa-apa?" "Hah? Enggak apa-apa. Memangnya kenapa?" "Lo kayak orang mabok pas habis keluar dari toilet." "Masa sih?" "Iya serius." "Iyalah jelas, gue satu jam mabok di sana karena aromanya!" Batin Fathan sendiri.  "L-Lo nggak mabok pembersih lantai kan?" "Ya nggak mungkin lah gue kayak gitu, Je." elak Fathan. "Huh, syukurlah. Gue kira beneran mabok." kekeh Jessie, "oh, ya Than, gue pulang duluan ya. Ini nyokap udah jemput." "Oh, iya, Je. Hati-hati." "Siap!" *** Sejak tadi, Azra menunggu Fathan di halte sekolah bersama Hans yang setia menjaganya. Ya, saat Hans ingin pulang, Hans melihat Azra seorang diri yang sedang duduk di halte bus sembari memainkan ponselnya. Hans pun mendekati Azra dan bertanya kenapa Azra tidak pulang. Azra pun menjawab jika ia tengah menunggu sahabatnya Fathan yang sedang membersihkan toilet sekolah karena tugas.   Karena tidak tega melihat Azra sendiri, Hans berinisiatif untuk menemaninya sampai Fathan selesai menjalankan tugasnya. Di halte itu Azra dan Hans saling bercanda tawa dan bertukar cerita. Mereka juga berfoto selfie di depan kamera ponsel masing-masing.  Hingga terdengarlah suara jejak kaki diikuti dengan suara berat yang keluar dari mulut seseorang. "Ekhem."  Refleks, Azra dan Hans sama-sama menoleh ke arah samping melihat siapa seseorang tersebut. "Eh? Fathan? Udah selesai?"  "Hm." Saat Azra dan Fathan sedang berinteraksi, kedua bola mata Fathan teralihkan kepada Hans yang duduk di samping Azra. Fathan memperhatikan Hans dari atas sampai bawah dengan sangat teliti. Sementara Hans yang ditatap seperti itu hanya bisa cengar-cengir menampilkan seluruh giginya kepada Fathan. Hans sudah tahu Fathan itu siapa jadi ia tidak risih ketika Fathan menatapnya dengan tatapan dingin seperti ingin menerkam mangsa. Tadi, Azra memberitahu Hans kalau Fathan itu adalah sahabat Azra sejak kecil. Azra juga bilang kalah ia satu rumah dengan Fathan. Tidak hanya itu, Azra yang sudah merasa nyaman dengan Hans pun tidak segan menceritakan masa kecilnya yang ditinggal ibu dan ayahnya.  Azra tahu cerita masa kecilnya dari Fanny yaitu ibunda Fathan. Hans mengangguk-angguk saja mendengarkan Azra bercerita. Ia memaklumi keadaan tersebut. Sebenarnya ia juga cukup prihatin dengan keadaan Azra. Hans sudah dapat mengetahui kalau Azra adalah sosok wanita yang kuat. Di saat Azra menceritakan kisahnya, Azra sama sekali tidak menangis ia malah tersenyum. Namun Hans tahu kalau sebenarnya hati Azra sedang merasakan sakit ketika menceritakan masa lalunya itu. Tetapi Azra tidak mau terlihat sedih di depan Hans. Hans sangat salut dengan Azra. Azra menyadari tatapan Fathan terhadap Hans. Karena tidak mau terjadi kecanggungan, Azra meraih tangan Hans dan Fathan hingga mereka saling berjabat tangan. "Fathan, kenalin dia Hans. Calon pacar Azra," cengir Azra lalu beralih kepada Hans, "oh ya, Hans. Ini namanya Fathan. Sahabat Azra sejak kecil." "Halo, gue Hans. Salam kenal Bro." ucap Hans ramah sementara Fathan malah membalasnya dingin. "Fathan."  "Ya ampun! Jangan kaku gitu Fathan sama calon adek ipar! Masa kayak robot sih!" "Ayo pulang." Fathan langsung menarik lengan Azra. Entah kebetulan atau bukan, tepat setelah itu sebuah bus berhenti di depan halte.  Fathan pun menyuruh Azra masuk ke dalam bus diikuti dengan dirinya di belakang. "Ih, kok main masuk-masuk bus aja sih! Azra belum pamit sama Hans." "Nggak usah." "CK, apanya yang nggak usah?!" sebal Azra, ia pun membuka jendela bus dan melambaikan tangannya kepada Hans, "Hans, makasih ya udah nungguin Azra sampai pulang!" "Iya sama-sama, Zra." jawab Hans dari bawah. "Hati-hati ya, Hans! Harus pulang ke rumah jangan main-main hari udah mau malam soalnya!" "Siap, Ibu Negara!" "Dadaaa—" Srek! Fathan menutup jendela bus dengan cepat membuat Azra tidak bisa berkomunikasi dengan Hans lagi. "Ih, Fathan apa-apaan, sih? Azra masih mau ngomong sama Hans!" "Busnya mau jalan nggak boleh buka jendela." "Masa?" "Hm." Tak berselang lama bus pun mulai berjalan. Azra menyadari sifat dingin yang Fathan berikan kepada Hans, ia pun menanyakan hal tersebut kepada Fathan. "Fathan! Fathan!" "Apa?" "Kok tadi Fathan dingin banget sih sama Hans?" "Kenapa?" "Ya nggak boleh lah! Dia kan calon ipar Fathan!" "Mimpi kali lo!" "Ih, serius kenapa dingin gitu sifatnya? Kalau nanti Hans overthinking gimana sama sifat Fathan ke dia?" "Ya nggak biarin aja." "Kok dibiarin aja sih? Ya nggak boleh gitu lah! Kasihan nanti Hans-nya Azra jadi overthinking terus nanti kalau dia jadi sakit karena banyak pikiran gimana?" "Ya salah dia sendiri. Ngapain dipikirin." "Ya ampun Fathan! Nggak boleh gitu sama calon ipar!" "Halu mulu lo!" "Atau jangan-jangan..." Azra menggantungkan kalimatnya. "Jangan-jangan apa?" "Fathan cemburu ya, Azra dekat sama Hans? Fathan bersikap dingin biar Hans menjauh dari Azra? Wah, Fathan suka sama Azra nih berarti! Kak Jessie-nya mau di taruh mana? Azra nggak mau ya kalau Azra dimadu sama Fathan! Pokoknya ngg—" "Lo ini ngomong apa sih, Zra? Gue dingin sama cowok tadi karena gue pengin cepat-cepat pulang. Gue mau rebahan capek. Gue habis mabok tahu nggak lo?"Fathan menghela napasnya kasar. "Hah? K-Kok bisa mabok? Mabok apa?" "Mabok toilet." Seketika itu juga tawa Azra pecah mendengar apa yang Fathan tuturkan. Azra meminta Fathan untuk menceritakan kejadian tersebut, dengan pasrah Fathan pun menceritakannya membuat Azra tertawa terpingkal-pingkal sangking lucunya. "Senang lo ngelihat gue menderita!" cibir Fathan. "Hahaha senang dong! Fathan mabok toilet! Hahaha!" kekeh Azra sedikit berteriak membuat beberapa penumpang bus melihat ke arahnya. "Diam, Zra. Malu dilihat orang-orang." senggol Fathan. "Biarin atuh!"  "Diam atau gue tarik rambut lo?" ancam Fathan malu. Bisa-bisanya Azra dengan seenak jidatnya berteriak seperti itu. Untung saja tidak ada anak OSIS di dalam bus itu. Kalau sampai ada, Fathan benar-benar sangat malu.   "Eh, iya diam kok ini." ucap Azra yang tak mau rambutnya rontok. Tak lama dari itu ia pun memperlihatkan sebuah gambar yang berasal dari layar ponselnya. "Lihat!" kata Azra antusias. "Apa?" "Azra tadi abis foto sama Hans!" "Cowok tadi yang lo temui di media sosial itu?" "Iya!" "Oh." "Cuma 'oh' doang?" "Ya terus gue harus apa?" "Ya excited kek! Senang kek! Atau apalah itu! Masa nggak senang lihat Azra punya doi?" "Ya, terserah lo." "Tuh kan sifatnya mulai dingin lagi!" "Memang gini." "Tau ah Azra ngambek!" "Hm." "Fathan nggak jelas nih semenjak mabok di toilet!" "Diam!" Fathan memelototi Azra yang masih saja membahas hal memalukan itu. Dasar Azra! Sukanya cari perkara! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD