Bab 10. Buka Baju Kamu!

1506 Words
"Naik ke kamar, aku carikan obat dulu," kata Jeff ketika mereka telah masuk ke rumah. "Nggak usah, Mas. Aku bisa obatin sendiri," tolak Gita. Jeff memberinya pelototan yang tak bisa dibantah. Gita membuang napas panjang. "Serius. Bukannya Mas mau kerja, mendingan ...." "Lakuin aja apa yang aku katakan! Cepat, aku nggak mau liat kamu sakit," ujar Jeff. Gita mencebik. Karena ada beberapa pelayan di lantai satu, ia tak ingin berdebat di depan mereka lalu segera berlari naik ke kamar. Sementara Jeff mencari obat, Gita terus mengumpat. Ia tak memikirkan hal ini. Benar juga, Haris pasti akan menuduhnya berkomplot dengan Jeff. Meeting terakhir sangat berantakan, ia yang membawa dokumen dan ia yang menghilangkannya. Dan sekarang, ia adalah calon istri Jeff—pacar Jeff. "Astaga, kenapa jadi begini? Aku jadi punya musuh besar!" gerutu Gita. Ia mondar-mandir di dekat ranjang hingga Jeff masuk. "Kenapa kamu galau gitu?" tanya Jeff. Gita tak menjawab hanya mencebik sebal. "Duduk sini dan buka baju kamu!" titah Jeff. Gita memutar bola mata. Membuka pakaian di depan Jeff? "Ehm, Mas ... aku nggak luka parah. Ini udah sembuh, kok." "Nggak usah bohong. Ayo buruan," pinta Jeff seraya duduk di tepi ranjang. Gita menggigit bibirnya. Ia membalik badan ketika melepaskan jaket lalu membuka anak kancing piyamanya satu persatu. Jeff tahu Gita sengaja berlama-lama melakukan itu dan ia justru harus menelan saliva. Setengah hatinya ingin melihat tubuh terbuka Gita yang indah dan setengah lagi terus meyakinkan bahwa yang akan ia lakukan hanyalah mengoleskan salep memar di sana. "Duduk!" Jeff menepuk ranjang. Gita menurut dengan d**a berdebar tak keruan. Ia beringsut mendekati Jeff lalu duduk bersila di depan pria itu dengan posisi membelakangi. Hati-hati, ia menurunkan piyamanya. Jeff melebarkan matanya. Semalam, ia terlalu sibuk melakukan penyatuan, tetapi ia tidak melihat dengan saksama setiap jengkal tubuh Gita. Dan kini. Ia bisa melihat punggung putih mulus gadis itu. "Sial!" desis pria itu seraya menyibak rambut panjang Gita dan menaruhnya di sisi bahu Gita. "Kenapa? Apa luka aku parah?" tanya Gita waswas. "Lumayan, bakalan memar kalau nggak segera dikasih obat," ujar Jeff yang geram melihat beberapa bagian kulit yang memerah di punggung Gita. Jeff menggigit bibirnya saat ia menyentuh punggung Gita. Gadis itu langsung berjengit akibat sentuhan jemari Jeff dan Jeff tahu itu. Ia bisa melihat Gita merinding saat ini. Jeff pun merasakan hal yang sama. Tubuhnya panas-dingin karena melihat punggung mulus Gita. Ia cemas jika tak menggigit bibir, ia pasti akan mencium kulit putih itu. "Mas! Yang bener ngolesnya!" seru Gita saat ia merasakan sentuhan Jeff yang berbeda. Jeff mengerjap. Ia pasti sudah gila, tadi ia hanya menyentuhkan ujung jarinya, tetapi kini telapak tangannya menempel di pinggang Gita dan jempolnya mengelus di sana. Ia tak bisa berdusta, ia ingin menyentuh lebih. "Ini bener, kok," kilah Jeff. "Luka kamu lumayan besar." Gita mendengkus dengan wajah memerah sempurna. Ia menahan rasa geli, malu dan takut saat ini. "Udah, Mas?" tanya Gita. "Belum, dikit lagi." Jeff semakin tak sabar. Ia menutup salepnya lalu membelai punggung Gita dari atas hingga bawah. Telapak tangannya lalu menyeberangi pinggang dan menyentuh perut Gita. Gita menahan napas ketika bibir Jeff menyentuh bahunya dari belakang. "Mas ...." "Git, udah nggak sakit, kan?" bisik Jeff. Kedua paha Gita merapat. Ia menoleh pada Jeff. "Sakit." Jeff membuang napas panjang. Menduda selama sepuluh tahun dan berakhir dengan menikmati tubuh Gita pasti sudah membuatnya sangat gila. Walaupun semalam bukanlah momen buka puasa yang sempurna, tetapi ia menginginkannya lagi. "Aku bakal pelan-pelan, oke?" Gita memiringkan tubuhnya lalu mendorong d**a Jeff. "Mas, aku bilang ini masih sakit!" "Harus sering dipakai biar milik kamu terbiasa sama milik aku," ujar Jeff. Ia giliran mendorong bahu Gita dan membuat gadis itu terbaring di ranjang dan tak lama, di bawah kungkungannya. "Astaga, Mas! Ini udah siang, Mas harus kerja!" Gita mencoba menolak. Tatapan Jeff benar-benar berbeda kali ini. Semalam Jeff sangat liar, tetapi tidak dipenuhi gairah. Pagi ini, mata Jeff menunjukkan kilatan penuh hasrat. "Kerjaan ... bisa nunggu, tapi ini ... aku nggak tahan," ungkap Jeff. Gita membasahi bibirnya. Itu membuat Jeff semakin tak kuasa. Pria itu merendahkan wajahnya lalu mencium bibir Gita. Ciuman itu juga berbeda dengan semalam. Jeff sangat kasar tadi malam, menggigit bibirnya dan menjejalkan lidahnya tanpa irama. Namun kini, Jeff melumat dengan sangat perlahan, mengantarkan rasa nikmat di sekujur tubuh Gita. Gita memejamkan matanya. Karena sensasi nikmat itu, ia mulai memeluk punggung Jeff. Ia merasakan jemari Jeff terus menyentuh tubuhnya. Naik turun dari bahu hingga ke pinggang. "Mas ...." desah Gita saat bibir Jeff berpindah ke lehernya. Ia meremas rambut Jeff, merasakan hisapan kuat di sana. Ia yakin lehernya akan dipenuhi bercak merah nanti. Gita menyimpan rasa malunya. Ia menatap kedua mata Jeff. Ia ingin meminta pria itu berhenti, tetapi ia juga menikmati ini. Ia akan menikah, sebentar lagi. Ia memang harus melakukan ini agar segera hamil seperti perjanjian mereka. Sebab, mereka memang sedang bersandiwara di depan semua orang. Gawat jika ia tak lekas hamil, pikir Gita. "Ini nggak akan sakit, aku janji," kata Jeff meyakinkan Gita. Jeff membelai inti tubuh Gita yang sangat lembut dan basah. Ia sangat berhati-hati kali ini, dan ia yakin Gita lebih rileks dibandingkan semalam. Jadi ia mulai masuk. Rintihan Gita mengisi telinga Jeff, tetapi Jeff terus mendesak sembari mencium bibir Gita. Tak ada jeritan kesakitan yang keluar dari bibi Gita dan Jeff tersenyum. Ia merasa nikmat saat miliknya tenggelam sepenuhnya dalam tubuh Gita. "Nggak sakit, kan?" tanya Jeff pada Gita yang memerah sempurna di bawahnya. Ia memberikan kecupan di pipi Gita. "Milik kamu pasti udah menyesuaikan dengan milik aku." "Mas bakal nikahin aku, kan?" tanya Gita ketika Jeff mulai mendorong. Jeff tertawa pelan. "Kita punya perjanjian, Git. Kamu tenang aja. Sekarang nikmati aja ini." Gita tak tahu kenapa ia melakukan apa yang dikatakan oleh Jeff. Ia menikmati, yah, penyatuan ini berbeda dengan yang pertama mereka lakukan. Awalnya ia merasa agak nyeri dan takut, tetapi itu tidak lama. Selebihnya hanya ada kesenangan. Gita bahkan berharap dalam hati agar kesenangan itu tidak berakhir. Jeff merasakan hal yang sama dengan Gita. Penyatuan ini seperti oase di padang tandus. Selama ini, ia tidak tertarik dengan wanita. Ia tak bisa melupakan perselingkuhan Celia dengan sahabatnya sendiri. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika Celia berada di bawah tubuh Liam. Keduanya menikmati, keduanya pasti sudah berkali-kali melakukan itu. Dan Jeff sangat jijik pada Celia sejak saat itu—juga dengan wanita lain. Namun, ternyata Gita berbeda. Gita masih perawan, hanya ia yang menyentuhnya. Baru dua kali ini, ia tahu. Ia berharap tak ada pria lain yang berani menyentuh Gita setelah ini. Setidaknya selama masa pernikahan mereka nanti. Sebab Jeff akan membuang Gita setelah semuanya berakhir. Tak ada cinta di antara mereka. "Ahhh!" Jeff mendesah napas panjang saat miliknya menyemburkan benih di rahim Gita. Ia mencium kening Gita selama beberapa detik sebelum menarik miliknya keluar. "Jangan bangun dulu," ujar Jeff seraya mendudukkan dirinya. Ia menyentuh perut Gita. "Biarkan benih aku masuk sempurna." Gita mengangguk. Rasanya ia juga sudah tak berdaya akibat permainan Jeff pagi ini. Jeff menarik selimut untuk menutupi tubuh polos Gita. "Aku mandi dulu." Jeff turun dari ranjang dengan perasaan yang luar biasa. Pelepasannya pagi ini seolah memberinya semangat yang besar untuk menghadapi apa pun. *** Sementara itu di tempat lain, Haris mulai uring-uringan. Ia mengunjungi ayahnya pagi itu juga untuk membahas Jeff dan Gita. "Ya, Jeff mau nikah sama tunangannya," ujar Andi. "Kenapa tiba-tiba? Papa nggak curiga?" tanya Haris. Sebenarnya Andi curiga. Ia tahu Jeff tak pernah berpacaran. Dan mendadak Jeff membawa pulang wanita yang mengaku tengah hamil. Ia tidak terlalu percaya dengan kehamilan Gita. Akan tetapi, Jeff adalah putra pertamanya. Ia ingin Jeff menjadi CEO Brilliant Company. Ia ingin Jeff menjadi penggantinya. Dan ia tak peduli dengan permainan Jeff. Ia hanya berharap Jeff tak berdusta, jadi Jeff tak akan diusik oleh Haris. "Gita udah hamil," tutur Andi. "Apa?" Haris ternganga seketika. Ia kalah, istrinya, Astrid belum hamil juga setelah tiga bulan mereka menikah. Sungguh sialan! "Gita hamil, jadi Jeff bakalan nikah dua minggu lagi," lanjut Andi. Haris mengepalkan tangannya. "Pa! Itu nggak mungkin. Papa tahu, Gita itu sekretaris aku. Dia kerja sama aku beberapa bulan. Dan aku tahu mereka nggak pernah bicara. Mereka nggak saling kenal, mereka nggak mungkin pacaran apalagi ... hamil?" "Gita beneran hamil dan baru ngidam," tukas Andi. "Lebih baik kamu pulang dan siap-siap ke kantor. Papa juga." Haris meninggalkan rumah ayahnya dengan geram. Ia berlari pulang ke rumah dan menjumpai Astrid sedang menyiapkan sarapan. "Mas, kamu kok lama joggingnya? Ayo buruan mandi dan sarapan," ajak Astrid. Haris menepis tangan Astrid dengan kasar. "Kamu nggak berguna!" "Apa?" "Kamu ini harus hamil! Kenapa kamu nggak hamil juga?" Astrid melipat kedua tangannya di depan d**a. "Oh, masalah itu lagi? Kamu tenang aja, bulan depan mungkin aku bakalan hamil." "Gimana kalau nggak?" Haris melotot pada Astrid. "Kamu tahu ... Jeff sekarang udah punya calon istri dan wanita itu udah hamil." "Apa? Kamu serius, Mas?" "Ya. Makanya ... kamu jangan mau kalah." Astrid mengepalkan tangannya. "Aku nggak akan kalah. Kalau benar cewek itu hamil ... kita harus singkirkan dia dan bayinya." Haris tersenyum miring. Ia kesal dengan Astrid, tetapi Astrid juga adalah wanita licik dan cerdas. "Bagus. Kamu urus Gita dan janinnya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD