Gita bangun begitu pagi hari itu. Ia mengerjap berkali-kali saat ia menyadari ia ada di kamar asing—kamar Jeff. Sungguh, Gita tak pernah membayangkan akan menjadi calon istri dari Jeff, jadi rasanya begitu aneh ketika ia menoleh dan mendapati Jeff tidur telentang di sebelahnya dengan sangat tenang.
"Mas! Mas!" Gita tak tahu apakah ia harus membangunkan Jeff atau tidak. Namun, ini bukan hari libur. Jadi ia yakin Jeff harus ke kantor.
Gita menyentuh pelan bahu Jeff dan menepuk di sana. "Dasar kebo! Susah banget dibangunin!"
Gita hanya berani mengumpat dalam hati. Karena Jeff masih tidur, ia pun memutuskan untuk turun dari ranjang sehati-hati mungkin, tetapi tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara alarm keras dari sebuah ponsel.
Gita menoleh, ia melihat Jeff sedang meraba nakas lalu mengecek ponselnya. "Gila! Alarmnya bisa bangunin orang sekampung."
Jeff meletakkan ponsel itu kembali lalu ia menatap ke arah Gita yang sedang berindap-indap menuju kamar mandi. "Apa yang kamu lakukan?"
"Ehm ... aku ... aku baru aja bangun dan mau pipis," jawab Gita.
Jeff membuang napas panjang. Ia mengibaskan tangannya pada Gita. Sama seperti Gita, ia juga masih agak linglung dengan semua ini. Ingatannya kemudian memutar bagaimana kemarin ia membawa pulang Gita, memperkenalkannya pada ayahnya lalu mereka menikmati penyatuan di atas ranjang ini.
Sebenarnya mereka tidak sama-sama menikmati. Jeff menggeleng karena tubuhnya mendadak memanas. Ia mencoba menepis ingatan kotor itu dengan mencari kontak Revi.
"Pagi, Tuan."
"Ya, pagi. Gimana ayah Gita?" tanya Jeff.
"Anda tenang aja. Saya sudah menyelesaikan perjanjian dengan Pak Bowo. Dia akan tinggal di Bali setelah ini dan dia akan dikenal sebagai pria penjualan barang antik," kata Revi.
"Bagus. Kamu awasi pria itu dan pastikan dia bisa bersandiwara di pernikahan aku dan Gita," ujar Jeff.
"Baik, Tuan."
Jeff mematikan panggilan telepon itu saat pintu kamar mandi terbuka. Aroma wangi kembali menguar seperti semalam. Padahal Gita belum mandi. Gita hanya masuk ke kamar mandi sebentar, ia menyimpulkan demikian. Sungguh aneh tinggal bersama seorang wanita.
"Ehm!" Gita berdehem saat menyadari ia tengah ditatap oleh Jeff.
Jeff membuang napas panjang. "Apa kamu baik-baik aja? Masih sakit?"
"Ah, ya!" Gita menjawab cepat. Kedua pahanya merapat spontan mendengar pertanyaan Jeff. Ia tak ingin melakukan itu lagi sekarang.
"Ya udah, aku harus siap-siap ke kantor."
"Ini masih pagi banget, Mas. Ehm, apa ada yang bisa aku bantuin? Nyiapin apa gitu?" tanya Gita.
"Nggak ada. Kamu istirahat aja," jawab Jeff seraya berdiri.
Gita menggembungkan pipinya. Ia jadi bingung karena tidak perlu melakukan apa-apa di rumah ini. Jeff dengan cepat menghilang di balik pintu kamar mandi dan Gita menyusulnya. Ia mengetuk pintu kamar mandi itu.
Pintu itu dibuka dari dalam. "Ada apa?" tanya Jeff dengan nada jengkel.
"Ehm, apa aku perlu buat sarapan?" tanya Gita.
Jeff mendesis pelan. "Aku bilang nggak usah."
"Kalau gitu, apa aku boleh jalan-jalan di sekitar rumah?"
Jeff menimbang. Ia menuding wajah Gita. "Kamu nggak akan kabur, kan?"
"Apa?" Gita ternganga. "Nggaklah!"
Ia sudah kehilangan kesuciannya, ia juga sudah membuat perjanjian dengan Jeff. Ia tak bisa lari dari kesepakatan itu.
"Ya udah, sana. Jangan jauh-jauh, di sekitar rumah ini aja. Kamu keliling rumah ini, pasti kamu udah capek," ujar Jeff sebelum menutup pintu.
"s**t! Dasar ketus!" Gita mengumpat sendiri. Ia tahu rumah Jeff bagaikan istana. Dan ia penasaran dengan apa saja yang ada di sini.
Jadi, Gita mulai melangkah keluar dari kamar. Namun, ia menggeleng. Rasanya jelek sekali jika ia hanya memakai piyama. Jadi, ia segera masuk lagi ke kamar untuk mengambil jaket.
"Wah, ini cakep!" Gita menarik keluar sebuah jaket bermerek dari lemari. Ia mengenakannya dan tersenyum. "Jadi orang kaya emang enak. Semuanya udah ada di sini."
Gita kembali keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan beberapa pelayan yang sedang membersihkan ruang tengah.
"Selamat pagi, Nona!" sapa mereka.
"Ya, pagi." Gita tersenyum lebih lebar. Di sini, ia bahkan dianggap sebagai nona. Ia melangkah menuju dapur ketika mencium aroma makanan yang sedap.
"Selamat pagi, Nona! Saya sedang memasak sarapan," ujar Liana, salah satu pelayan dapur.
"Ya, pagi. Enak banget kayaknya," ujar Gita.
"Semoga Anda menyukainya nanti, Nona. Apa sekarang Anda sudah lapar? Saya dengar Anda semalam mual-mual karena lobster? Apa Anda mengidamkan suatu makanan?" tanya Liana.
Gita membulatkan matanya. Benar juga, ia sedang bersandiwara dengan Jeff. Seharusnya wanita hamil mual-mual jika mencium aroma makanan alih-alih menikmatinya begini. Bagaimana jika ia ketahuan?
"Ehm ... apa, ya?"
"Jangan sungkan, Nona. Katakan saja, kami akan memasak untuk Anda," desak Liana.
"Stroberi. Aku pengen banget minum jus stroberi," jawab Gita.
Liana mengangguk hormat. "Kami akan siapkan untuk Anda dan janin Anda, Nona."
Gita mengusap perutnya spontan. Astaga, tak ada janin di sini. Ia sudah bercinta dengan Jeff sekali, apakah itu cukup untuk menghasilkan bayi? Kemarin bukanlah masa suburnya.
"Makasih, Bi. Aku mau liat taman di luar. Bisa lewat pintu itu?" Gita menunjuk ke pintu belakang.
"Ya, tentu. Ada taman belakang yang bagus sekali, Nona. Anda bisa duduk-duduk di sana," kata Liana.
Gita mengangguk. Ia segera keluar sambil berpura-pura sedikit mual. Ah, ini sungguh ganjil. Ia tak suka bersandiwara seperti ini.
"Wah, gila. Rumahnya emang bagus banget. Ada kolam renang juga, buset!" Gita ternganga melihat bagian belakang rumah Jeff. Pantas saja Jeff berani menawarkan uang yang sangat banyak padanya asalkan ia bisa melahirkan.
"Kalau aku punya anak, anakku bisa hidup berkecukupan di sini." Gita tak ingin anaknya memiliki nasib yang sama dengannya. Ia mungkin sangat tidak beruntung, tetapi anaknya tidak. Anak itu akan tumbuh di rumah mewah dan memiliki masa depan cemerlang.
Gita berkeliling hingga ia tiba di gerbang belakang rumah. Gerbang itu tidak terkunci, jadi Gita pun membukanya. Ia ingin melihat seperti apa rumah tetangganya meskipun ia yakin Jeff bukan pria yang mudah bertetangga.
Gita manggut-manggut di tepi jalan karena ia menyadari hampir semua rumah yang ada di sekitar sini adalah rumah mewah.
"Gita! Kenapa kamu keluar dari sana?"
Gita menoleh cepat. Ia mendengar suara yang tak asing dan ia sangat terkejut melihat sosok Haris di belakangnya.
"Pa-Pak Haris?" Gita tergagap. Ia mengepalkan tangannya, ingat dengan pemecatan yang dilakukan oleh Haris.
Haris mendekati Gita. Ia baru berlari pagi dan sangat terkejut melihat seorang wanita muda keluar dari rumah Jeff. Dan ternyata wanita itu adalah mantan sekretarisnya.
"Ya. Kenapa kamu ada di sini?" tanya Haris lagi. Ia menatap Gita dari atas hingga bawah. Gita memakai piyama di balik jaketnya. "Kamu tidur di sini?"
Gita menelan saliva. "Ya. Saya bermalam di sini."
"Sial! Apa kamu dan Jeff berkomplot?" Haris mendorong bahu Gita.
Gita terkesiap. Punggungnya menghempas sisi gerbang dengan keras. "Apa maksud Bapak?"
Haris tertawa mencela. "Kamu masih tanya? Kamu ingat presentasi terakhir kita yang berantakan itu? Apa kamu sengaja? Kamu disuruh Jeff hapus dokumen itu?"
Gita menggeleng. Tentu saja itu tidak benar. "Itu ... nggak, Pak!"
"Bohong kamu! Kamu tidur di sini? Sama Jeff? Saya tahu kamu emang murahan!" gertak Haris.
Gita mengepalkan tangannya. "Masalah presentasi itu nggak ada hubungannya sama saya bermalam di sini, Pak!"
"Jadi, apa yang kamu lakukan di sini? Hah?"
"Sa-saya ...."
"Lepasin Gita! Dia calon istri aku!" seru Jeff dari dalam taman.
Haris menoleh sempurna pada Jeff yang sedang berjalan mendekat. Ia meludah di depan Gita lalu menghempaskan tubuh Gita sekali lagi ke gerbang.
"Ah! Astaga, Pak!" desis Gita geram.
"Sialan kamu!" Jeff mendorong bahu Haris dengan penuh amarah. "Jangan kasar sama Gita!"
"Aku tahu permainan kamu, Jeff!" geram Haris. Ia menuding wajah Gita. "Kamu memanfaatkan Gita biar kerjaan aku berantakan. Benar, kan?"
"Itu nggak benar!"
"Aku nggak percaya! Kamu curang di meeting terakhir. Kamu pasti bayar Gita, kan?" Haris menatap tajam Gita. "Apa kamu menjual tubuh kamu ke kakak aku?"
Gita menggeleng meskipun sebenarnya iya.
"Aku nggak percaya kamu berkhianat, Git. Kamu bekerja cukup baik, tapi aku nggak nyangka kamu bekerja sama dengan Jeff di belakang aku! Dan kamu bermain curang sama dia!"
Gita membuang napas panjang. Sepertinya ia memiliki musuh baru sekarang. Seharusnya ia yang mengomel pada Haris karena seenaknya memecat, tetapi ia justru yang disudutkan.
"Aku kasih tahu kamu, aku dan Gita sama-sama profesional. Kami emang punya hubungan, tapi itu nggak ada hubungannya sama kerjaan," ujar Jeff.
"Kamu mengerikan, Git! Liat aja nanti, aku bakal blacklist nama kamu di perusahaan besar. Aku yakin kamu nggak bakalan bisa lagi kerja di luar sana," ancam Haris.
"Pak, jangan dong!" seru Gita.
Jeff memberi Gita tatapan agar diam.
"Kalian liat ... aku nggak akan biarin kalian menang. Kamu udah curang kemarin, kalian berdua! Liat aja apa yang bakal aku lakuin buat balas kalian," ujar Haris. Ia mendorong d**a Jeff dengan kasar lalu kembali berlari di jalanan.
Gita menghentakkan kakinya di aspal. Ia lalu memukul d**a Jeff kesal. "Ini semua gara-gara kamu, Mas! Coba Mas nggak hapus dokumen itu, aku nggak bakal disudutkan gini. Sekarang aku dianggap apa? Pengkhianat, murahan dan dia bakal balas. Gimana kalau ...."
"Diam kamu!" potong Jeff. "Kamu tahu aku dan Haris emang musuhan. Dengan kamu berhubungan sama aku, itu artinya kamu juga jadi musuh Haris. Dan kalau kamu nggak mau dikalahkan, kamu harus bantu aku buat menang."
Gita mengepalkan tangannya. "Aku harus gimana?"
"Gampang. Udah aku bilang, kalau kamu hamil anak aku, semuanya beres. Aku harus melahirkan pewaris, kamu paham?"
Gita memerah sempurna. Itu terkesan mudah jika hanya dibicarakan dengan mulut. Namun, ia tahu Haris bukan pria yang mudah. Bagaimana jika ketika ia hamil nyawanya justru terancam?
"Udah, ayo masuk. Jangan di sini," kaya Jeff. Ia merangkul pundak Gita dan gadis itu langsung mengaduh. "Punggung kamu sakit?"
Gita mengangguk. Pasti karena terhempas ke gerbang dua kali.
"Biar aku lihat. Ayo aku obati di dalam."