Episode 1

986 Words
Tentang kita 1 "El,,, ahhhh," setiap hujamannya membuatku hilang akal. "El, pelan,, se,, sedikit,,akhhh!"  Semakin aku memohon justeru lelaki di atasku ini semakin kuat menghujamkan miliknya. Hingga akhirnya dia mengerang, menyemburkan cairan hangat ke dalam rahimku.  Dia masih berada diatas tubuhku, peluhnya menetes membasahi wajahku dan kedua bola matanya masih lekat memandangi wajahku, perlakuan kecil yang sangat aku sukai karena aku merasa begitu diinginkan. "Terima Kasih," sekilas dia mencium bibirku dan menggulingkan tubuhnya ke samping.  Aku masih menatap langit-langit kamar, nafasku masih terengah-engah akibat percintaanku dengannya. Rasanya aku tidak berlebihan menganganggapnya bercinta, kareana aku memang mencintainya semenjak enam bulan lalu. "Sini deketan." Tangan kekarnya menarik tubuhku, hingga menempel sempurna dengan dada bidangnya.  "Kenapa? Ada yang dipikirkan?" Tanyanya, mengecup singkat pelipis dan mengelus pipiku.  "Pernikahan kamu tinggal satu bulan lagi,kan?"  "Mmm. Kenapa?"  "Setelah kamu menikah, kita tidak akan bisa seperti ini lagi." Dia semakin mengeratkan pelukannya, hembusan nafasnya begitu terasa menyapu sisi wajahku ketika dia menghela nafas,lemah. "Tidak bisakah kamu memohon, memintaku membatalkan pernikahan ini?" Aki mendengus, tersenyum simpul dan berbalik menatapnya.  "Bagaimana bisa aku memintamu membatalkan pernikahan, sedangkan aku yang membuat gaun pengantin untuk calon istrimu." Ku usap wajah tampannya dengan kedua tanganku.  "Aki tidak mungkin mengacaukan rencana besar yang akan mempertaruhkan nama besar keluargamu. Aku tidak sekuat itu."  "Tapi, Ris. Aku mencintaimu, begitu juga denganmu. Iya kan?" Aku hanya tersenyum, tidak membalas pertanyaannya.  Dia nampak mengerutkan keningnya, melihatku hanya tersenyum tidak mengiyakan pertanyaanya. "Atau jangan-jangan kamu memang tidak mencintaiku!"  Aku suka melihatnya menerka-nerka seperti itu, rujukannya persis seperti anak ABG baru mengenal cinta. "Benarkan?" Dia melepas pelukannya, menggeser tubuhnya sedikit menjauh dan meraih kaos yang sempat aku lempar tadi. Aku masih diam memperhatikannya, sungguh menggemaskan melihatnya seperti itu.  Dia hendak beranjak, memunguti pakaiannya yang berhamburan di lantai. Namun baru sempat dia menginjakan kakinya di lantai, aku terlebih dulu menarik tangannya hingga dia kembali berbaring di sebelahku. "Aku mau ngerokok," kilahnya dan kembali hendak berbaring. Namun masih aku tahan, hingga aku merangkak menindih tubuhnya. "Ris,," Aku tidak menghiraukannya, aku justru menciumi tubuhnya, bergerak dari atas hingga ke bawah. "Ris,," "Mmm." Jawabku, kini aku berada di bawah, di antara tengah-tengah tubuhnya. "Ris,,,kamu sedang,, ahh." Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan dan masih memainkan bagian tubuh sensitifnya.  Merasa frustasi dengan permainanku, akhirnya dia menarikku, menggulingkan tubuhku hingga berubah posisi, kini aku yang berada di bawah kungkungan tangannya yang berotot. "Tadi bilangnya pelan-pelan? Awas saja kalau sekarang masih berani berbicara seperti itu lagi." Aku hanya tertawa menerima kembali ciuman panasnya, mudah sekali mengalihkan perhatiannya. Entah mengapa aku sangat menyukainya ketika dia menyentuhku, dengan kasar ataupun dengan lembut sekalipun. "Ris,,," suara seraknya mengalun lembut persis di telingaku, setelah percintaan kedua kita. "Mmm" "Kita menikah saja." "Mmm" "Kita pindah keluar negeri, bawa Aldan dan kita hidup bahagia disana. Bertiga."  "Mmm" "Ris,,"  "Iya, aku dengar."  "Kamu tidak ingin menikah denganku?"  "El,"  "Benarkan? Kamu memang tidak ingin menikah denganku" "Demi Tuhan, El. Aku ingin sekali menikah denganmu. Tapi aku tidak ingin menghancurkan masa depanmu hanya karena kamu memilih perempuan seperti diriku." Meski lelah, aku mencoba menjelaskan agar lelaki di sampingku ini mengerti dengan kondisiku.  "Dengar, aku sangat,,, sangat mencintai kamu, El. Sampai aku tidak ingin kamu dimiliki siapapun. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu ikut menderita hanya karena memilih hidup bersamaku."  Raut wajahnya berubah, aku tau dia pasti merasa tidak puas dengan jawabanku. Tapi aku memang tidak punya pilihan lain. "Iya aku mengerti." Perlahan dia bangkit dari tidurnya, duduk membelakangiku. "Aku tau, aku tidak akan memaksa."  "Bukan seperti itu, El!"  Dia tidak menghiraukan ucapanku dan memilih berdiri, berjalan menuju kamar mandi. Oh,,, jangan lagi sampai merajuk, karena aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk meluluhkan rujukannya.  Dia adalah Elnandar Siregar, lelaki blasteran Sunda,Batak. Lelaki yang dekat denganku akibat kecelakaan tujuh bulan lalu, yang berakhir dengan hubungan rahasia seperti hari ini. Elnandar untuk nama sunda, sedangkan Siregar untuk nama Bataknya. Tapi dia tidak mau dipanggil Nandar, menurutnya itu terlalu Sunda banget, dan dia juga tidak mau dipanggil Siregar, karena terlalu Batak menurutnya. Dia lebih suka dipanggil El, menurutnya itu lebih baik.  El, anak salah satu pengusaha kaya di Negeri ini. Perusahaan Ayahnya bergerak di bidang industri textil, sedangkan Ibunya salah satu sosialita paling berpengaruh di kalangannya. Lalu aku, aku hanya seorang perempuan biasa, berasal dari keluarga miskin, berasal dari pedalaman kota Bogor.  Biar aku perkenalkan, aku bernama Marissa, Ibu satu anak dan berstatus sebagai istri dari lelaki bernama Randi. Seperti yang sudah aku ceritakan tadi, aku menjalin hubungan rahasia dengan El semenjak enam bulan lalu. Mungkin banyak yang akan menghujatku karena aku berselingkuh dibelakang suamiku, tapi keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Banyak pertimbangan yang akhirnya memaksaku hingga jatuh kedalam pelukan lelaki muda berbeda usia denganku itu. El tiga tahun lebih muda dariku, tapi karena paras dan postur tubuhnya yang tinggi, besar membuatnya tidak terlihat seperti lebih muda dariku. Menurutku wajah El jauh lebih tua dibanding usianya, tapi El tampan.  Akhir-akhir ini El, sering memintaku untuk membatalkan pernikahannya dengan seorang gadis cantik bernama Moana, gadis kaya keturunan timur tengah. Mungkin jika aku berniat jahat dan meminta El membatalkan pernikahannya, dia akan dengan senang hati melakukannya. Tapi aku tidak seserakah itu, meski aku mencintainya aku masih memikirkan bagaimana nasibnya jika dia sampai menikahi perempuan biasa seperti diriku. Aku cukup tahu diri dengan statusku yang masih menjadi Istri dari lelaki bernama Randi.  Awal mula aku mengenal El, yaitu ketika dia dan calon istrinya Moana, menjadi salah satu pelanggan baru di butik Rea Fashion, yang menjadi tempatku bekerja. Aku bekerja di sana sebagai salah satu desainer gaun pengantin. Meski aku tidak memiliki modal pendidikan tinggi seperti desainer lain pada umumnya, tapi Mbak Rea selaku pemilik butik, memberiku kepercayaan menjadi salah satu desainer andalan di butiknya. Semua berjalan seperti biasa, El datang dengan Moana untuk  fitting baju di acara pertunangannya.  Karena mereka sama-sama berasal dari keluarga kaya, untuk acara pertunangan saja mereka memesan dua kebaya sekaligus. Moana yang cantik, semakin anggun begitu mengenakan kebaya berwarna gold. Seakan saling menyempurnakan, penampilan El pun tidak kalah mempesona. Dia memesan batik tulis khas jawa timur, berwarna senada dengan Moana, semakin menambah kesan serasi.  Moana yang tampak begitu semangat mencoba gaun kedua, berbeda dengan raut wajah pasangannya. El nampak tidak bersemangat sama sekali, bahkan berulang kali aku harus mengulang kalimatku ketika aku bertanya.  Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, bahkan semenjak datang ke butik pun dia tidak pernah senyum sedikitpun.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD