Episode 2

1119 Words
Beberapa bulan sebelumnya,,  "Mbak Marissa,, dipanggil Bu Rea," panggil Susi, asisten yang selalu membantuku setiap kali ada pesanan gaun pengantin. "Iya, Sus. Terimakasih ya,,," Aku menepuk pundaknya, segera bergegas menuju ruangan Mbak Rea.  Aku mengetuk pintu ruang kerja Mbak Rea, "Iya masuk!" Terdengar suara Mbak Rea dari dalam ruangan.  "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Senyum hangat Mbak Rea menyambut kedatanganku. "Masuk, Ris." Aku segera masuk, dan memilih duduk di seberangnya.  Rea Salsabila, seorang desainer muda bertalenta, berparas cantik seperti artis korea, memiliki seorang anak perempuan berusia delapan tahun. Dia seorang single parent, hampir tiga tahun ini. Mungkin karena sama-sama memiliki seorang anak yang di titipkan pada orang tua, aku dan Mbak Rea memiliki banyak kesamaan.  "Ada apa ya, Mbak? Ada masalah?"  "Apa harus ada masalah dulu, baru aku manggil kamu kesini?" Seulas senyum terbit dari bibirnya yang tidak pernah absen memakai gincu merah.  "Takutnya sih, gitu," balasku. "Justru sebaliknya. Ada kabar bagus!" Raut wajah mbak Rea nampak sumringah, ia mengeluarkan dua lembar kertas bergambar sepasang gaun pengantin.  "Kamu masih ingat, Jessica? Model terkenal, yang enam bulan lalu menikah memakai gaun pengantin hasil rancanganmu?"  "Iya, aku ingat." Aku mengangguk, begitu aku mengingat desain gaun pertamaku, yang langsung disukai  oleh seorang model terkenal Jessica Siregar. Tidak akan aku lupakan begitu saja. "Bulan depan adiknya, akan melangsungkan acara lamaran. Dan awal tahun depan mereka akan melangsungkan pernikahan. Kamu tahu, mereka mempercayakan kamu sebagai perancang gaunnya lagi." Mbak Rea tampak begitu bersemangat, namun aku justru sebaliknya. "Kamu kenapa? Gak senang?"  "Bukan begitu, aku senang tapi, aku takut," balasku. "Takut? Takut kenapa? Justru bagus untuk karir kamu. Kalau sampai mereka puas, nama kamu pasti bakal dikenal orang banyak."  "Aku tidak ingin dikenal orang, Mbak. Aku lebih suka seperti ini."  "Kamu aneh, Ris. Orang lain berlomba ingin terkenal, kamu justru tidak ingin terkenal." Mbak Rea Menggeleng-gelengkan kepalanya, karena menurutnya jawabanku aneh.  "Ya sudah, terserah kamu aja. Yang pasti, aku mau kamu yang mengerjakan project ini. Oke?" Mbak Rea kembali menyodorkan kertas berupa desain kasar sebuah gaun.  "Nanti saya kerjakan, kalau sudah selesai aku kasih Mbak Rea."  "Oke, aku tunggu secepatnya ya. Client kita kali ini rada kurang sabar!" Aku hanya tersenyum menggapai, celotehan Mbak Rea.  Beberapa saat aku dan dia hanya mengobrol ringan, menanyakan kabar anak, dan kehidupan pribadi. Aku dan Mbak Rea lumayan cukup akrab, pertama aku dikenalkan dengannya oleh Raihan temanku semasa sekolah SMA, dulu.  Sudah hampir tujuh bulan ini aku bekerja di Rea Wedding, sebagai salah satu desainer mereka. Disini ada empat desainer utama, yaitu aku, Danang, Tiara, termasuk mbak Rea sendiri. Hanya saja, semenjak banyak client yang mulai berlangganan, Mbak Rea jarang ikut andil dalam mendesain baju, dia lebih sering turun lapangan, menemui client secara langsung.  Bekerja menjadi seorang desainer menurutku jauh lebih flexibel, karena bisa dikerjakan dimana saja. Tidak jarang aku membawa beberapa pekerjaanku ke kosan satu petak, yang aku sewa dengan suamiku, Randi. Masih pertengahan tahun, tapi hujan sudah sering mengguyur bumi. Cuaca tidak bisa lagi diprediksi akhir-akhir ini, terkadang waktunya musim kemarau justru turun hujan, begitupun sebaliknya.  Aku melihat ke sekeliling, lampu ruang kerja mbak Rea sudah padam, tandanya dia sudah pulang. Seharusnya aku pun pulang, tapi aku lebih suka berlama-lama di tempat kerja daripada harus menyendiri di kamar kosan.  "Mbak, Ris belum pulang?" Aku berjengit terkejut, begitu namaku disebut. "Belum. Kamu belum pulang, Sus?" Susi tersenyum lebar,  "Belum, masih ada yang perlu dikerjakan, Mbak." Susi mengangkat beberapa kertas laporan yang harus segera diselesaikan nya.  "Mau aku bantu," tawarku. "Kalau mbak mau, boleh."  Aku segera bangkit dari meja kerjaku, menuju tempat kerja Susi yang hanya dibatasi sekat pemisah, beberapa meter dari tempatku. "Yang lain sudah pulang?" Tanyaku, karena kantor terasa begitu sepi. "Sudah, mbak. Mbak Marissa kenapa belum pulang?" "Aku lebih suka berada di sini, daripada berada di kosan. Sepi." "Suaminya kemana? Suami mbak yang waktu itu sempat kesini kan?"  "Suamiku kerja di bekasi, pulangnya satu minggu sekali. Iya, dia yang pernah kesini, marah-marah waktu itu." Susi meringis, merasa tidak enak. "Maaf,,," ucapnya.  "Kenapa minta maaf, dia memang seperti itu. Bukan pertama kalinya dia memarahiku di depan umum. Aku sudah terbiasa," aku menjeda ucapanku beberapa saat, "Kamu harus hati-hati memilih calon suami. Jangan karena cinta, kamu jadi perempuan bodoh, sepertiku," lanjutku. Selain mbak Rea, aku juga dekat dengan Susi. Dia gadis pintar namun agak lambat, sedikit. Sebagian orang mungkin suka mengorek informasi atau hanya ingin tahu dan dijadikan bahan gosip. Susi berbeda, ia tidak akan bertanya, terkecuali aku sendiri yang menceritakannya. Ia seringkali mendengar aku bertengkar dengan mas Randi, bahkan dia juga sempat melihat mas Randi datang ke tempat kerjaku, dan marah-marah tidak jelas.  Hanya butuh waktu tiga puluh menit, aku dan Susi akhirnya selesai. Susi pulang di jemput kekasihnya Toni, sedangkan aku pulang menggunakan ojek online.  Jakarta masih diguyur hujan, bukan hujan tapi gerimis kecil. Rintik gerimis membasahi sebagian blazer yang aku kenakan, meski driver menawariku memakai jas hujan, tapi rasanya aneh setiap kali memakainya, aku lebih suka merasakan tetesan air mengenai wajah dan juga tubuhku, daripada harus bersembunyi di balik plastik aneh, bernama jas hujan.  Jarak kantor dan tempat tinggalku tidak terlalu jauh, jika dalam keadaan jalanan lengang, aku hanya membutuhkan waktu dua puluh menit. Sedangkan jika dalam keadaan jalan macet, aku bisa menghabiskan waktu sampai dua kali lipatnya. Rumah kost yang aku tempati berlantai dua, dan memiliki empat kamar di setiap lantainya. Cukup nyaman, karena semua penghuni sibuk dengan kegiatannya masing-masing jadi, aku jarang sekali berpapasan dengan mereka, terkecuali pagi hari karena hampir semua penghuni pekerja kantoran.  Aku meletakan tas jinjing yang berwarna merah marun di atas meja. Merebahkan sebentar tubuhku yang terasa lelah, meski pekerjaan hari ini tidak terlalu menguras energi, tapi aku selalu merasa lelah.  Kulihat layar ponsel, pemandangan pertama yang aku lihat adalah foto Aldan, putra semata wayangku. Melihat gambarnya saja sudah membuatku tersenyum, aku sangat merindukan lelaki kecilku itu.  Aldan malaikat kecil yang aku lahirkan lima tahun lalu, hasil pernikahanku dan mas Tama. Aku terpaksa meninggalkan Aldan di Bogor bersama Ibu, Abah dan adikku Feri. Hatiku sesak setiap kali aku mengingat kembali bagaimana sulitnya kehidupanku, hingga akhirnya aku memutuskan bekerja dan menitipkan Aldan pada Ibu.   Sudah empat bulan ini aku tidak bertemu dengan Aldan, rasa rindu yang semakin besar setiap harinya harus aku tahan karena pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya. Untuk mengobati rasa rindu, aku memencet nomor Feri untuk melakukan panggilan video call.  Layar hitam ponsel berubah, menampilkan sosok lelaki kecil yang sangat aku rindukan. "Hai,,, Aldan. Lagi apa, sayang?" Tanyaku, begitu wajah Aldan memenuhi layar ponsel. "Aldan lagi makan," jawabnya, dengan mulut penuh.  "Makan pake apa sayang?"  "Makan ikan," jawabnya, sambil mengacungkan ikan goreng ke layar hape. Aku tersenyum lega melihat anakku bisa tumbuh dengan baik, meski harus berjauhan dengan Ibunya.  "Minggu besok, Mamah pulang ya,,,, nanti Mama yang antar Aldan sekolah."  "Yeayyy,,," Aldan bersorak, senang. Membuatku ingin segera memeluk dan menciumnya.  Obrolan singkat antara aku dan Aldan berakhir, begitu mas Randi menghubungiku dan memberi kabar, jika ia tidak bisa pulang malam ini. Aku hanya menghela lemah setelah panggilan dengan mas Randi terputus. Meski masih terikat tali pernikahan, tapi kondisi rumah tanggaku jauh dari kata baik-baik saja. Seakan saling menjauh,dan mulai terasa hambar. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD