Singgah

1006 Words
 Sudah seminggu sejak pernikahannya Gia dan Kevin tinggal bersama di rumah pemberian papa Gia, kado pernikahan untuk mereka.   Meski Kevin awalnya menolak tapi akhirnya ia menerima dan bersedia tinggal di sana. Tapi siapa yang menyangka jika Kevin menjadikan rumah itu hanya untuk singgah bukan tempatnya pulang.   Seperti saat ini, Gia menunggu Kevin di meja makan. Pria itu belum juga pulang, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Gia mengembuskan napasnya dengan kasar. Meski ini bukan pertama kali tapi hampir setiap hari. Apakah laki-laki itu sama sekali tak menganggapnya?   Gia meletakkan kepalanya di meja, saat kantuk mulai menyerang dan biasanya ia akan terbangun saat pagi buta. Cukup lama gadis itu tertidur hingga suara derap langkah itu membuatnya terbangun.   Gia membenarkan posisinya duduk, mengucek-ngucek matanya lalu menoleh ke arah tangga di mana derap langkah itu terdengar. "Kau ingin pergi lagi?" tanya Gia saat melihat Kevin turun dari tangga.   Kevin tak menyahut dia hanya menoleh sekilas lalu berjalan ke arah pintu. "Kak kevin!!" teriak Gia sembari berlari menyusul pria itu. "Kamu pikir aku ini apa ha?" hardik Gia, membuat langkah Kevin berhenti, ia menoleh ke samping. "Diamlah, kau hanya perlu memainkan peranmu dan jangan ikut campur apa pun atas hidupku." Gia tak percaya kata-kata itu keluar dari mulut pria yang ia cintai selama dua puluh tahun. "Kenapa kau tak menolak jika kau tak menginginkan pernikahan ini." Air mata Gia tak terbendung lagi, membasahi pipi bersama dengan isakan pilu. Tapi tak juga membuat Kevin iba. "Simpanlah air mata buayamu, jangan kau buang-buang untuk meratapiku." Kevin mendecih dan kembali melangkah. "Apa kau masih berhubungan dengan jalang itu?" Kevin langsung berbalik berjalan cepat ke arah Gia. Plak Gia meraba pipinya yang terasa panas dan perih, tapi tak sebanding dengan sakit hatinya. "Cukup!" bentak Kevin. "Jangan kau gunakan mulut kotormu lagi dan jangan pernah kau panggil istriku jalang." Kevin mencengkram rahang Gia membuat gadis itu tercekat kesusahan bicara. "Kau pikir aku tak menolak, bahkan aku sudah menikahi Zahra dan mereka tak peduli mereka tetap menikahkanku denganmu andai saja kau tak menekan orang tuaku mereka tak akan seperti ini padaku, mengerti!!" sarkas Kevin, menghempas tubuh Gia hingga gadis itu terjatuh dilantai. Lalu pergi meninggalkan Gia begitu saja. ****    "Non, Gia."   "Non bangun." Wanita paruh baya itu tampak panik saat menemukan majikannya meringkuk di lantai dengan kondisi kacau.   "Non ...." Ia terus mengoyak bahu Gia , tapi gadis itu hanya melenguh. "Non Gia, bangun."   "Aduh gimana ini, telepon tuan saja," gumamnya, ia sudah akan beranjak berdiri namun tangannya ditahan oleh Gia membuat wanita itu urung melakukannya. "Non, Gia!" pekikknya setengah terkejut. "Aku gak pp--pa-pa Mbo," ucap Gia dengan suara paraunya. "Hati-hati Non." Wanita itu membantu Gia berdiri, memapahnya sampai kamar. "Saya ambilin air dulu Non." Gia mengangguk. "Mbo," panggil Gia saat wanita tua itu baru akan membuka knop pintu. "Iya Non ... Non Gia butuh apa?" tanya wanita itu saat berbalik menatap majikannya. Gia menggeleng. "Gia gak butuh apa-apa kok." Ada jeda untuk berbicara lagi, karena kondisinya yang begitu lemah. "Tolong jangan bilang sama papa, Gia gak mau papa khawatir." Wanita itu mengangguk. "Baik Non." "Satu lagi, tolong telepon Dokter Adam, saya sepertinya tidak enak badan." Wanita itu mengangguk, kemudian pamit undur diri.   Gia hanya bisa menatap nanar foto pernikahannya yang sangat besar sengaja dipasang di kamar ini. "Jadi orang tua kamu tahu dan mereka tak bilang apapun sama aku," gumam Gia saat mengingat ucapan Kevin semalam. "Kenapa terkesan aku yang jahat, padahal aku gak tahu kalau kamu menikah. Meskipun aku tahu kamu pernah menjalin hubungan dengannya." Gia mengusap air matanya yang kembali jatuh.  "Kupikir hubunganmu telah berakhir saat kau memutuskan menikah denganku kak ... bukan inginku menjadi duri dalam hubungan kalian." Gia menutupi wajahnya, tak kuasa menahan tangisnya. Rasa marah, kecewa dan sakit hati bercampur jadi satu. ****   Kevin mendengar keributan di luar ruangannya, tapi pria itu begitu tak acuh hingga seseorang menerobos masuk ke ruangannya. "Kamu harusnya mengetuk pintu du———" "Salah saya apa Pak?" potong wanita muda itu menatap nyalang Kevin, kevin pun mengangkat kepalanya tatapan mereka saling beradu. "Maaf Pak, saya sudah menahannya, tapi Bu Vero tetap menerobos masuk," ucap resepsionis yang didampingi dua security. "Gak pa-pa," jawab Kevin, mengibaskan tangannya menyuruh mereka pergi. "Kamu tak tahu kesalahan kamu apa?" tanya Kevin, ketika pintu kembali tertutup meninggalkan mereka hanya berdua. "Tidak, saya kerja dengan baik dan menurut saya tak ada masalah, lalu kenapa saya tiba-tiba dipecat," tukas Vero. "Karena kamu tidak kerja untuk saya." Vero menaikkan sebelah alisnya, tampak bingung dengan ucapan bosnya. "Maksud Bapak apa?" tanya Vero. "Selama ini saya kerja untuk Bapak, mengatur semua jadwal Bapak dengan baik, melakukan semua perintah Bapak tanpa ada yang terlewat bahkan saya menerima dengan lapang d**a saat Bapak melampiaskan semuanya pada saya, apa Ba———" Kevin mendekat ke arah Vero, menempelkan telunjuknya di bibir Vero. Hal itu jelas membuat wanita itu seketika mengatupkan bibirnya. "Saya puas dengan pelayananmu." Kevin menyentuh dagu Vero, meski wanita itu menepisnya tak membuat ia kapok bahkan Kevin memegang bahu Vero dari belakang membuat keduanya menempel. "Seandainya kamu tidak ikut campur dengan rumah tangga saya." Mata Vero membulat, berbalik menatap Kevin yang sudah menjaga jarak darinya tengah tersenyum miring pada Vero. "Maksud kamu?" tanya Vero. "Aku tahu kamu sahabat Gia, tapi kamu lupa bagaimana jika Gia tahu soal ...." Kevin menggantungkan ucapannya melihat reaksi  Vero. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya, menatap Kevin dengan tajam. "Jangan GR, kamu sendiri kan tadi yang bilang kalo aku cuma jadiin kamu pelam———" "b*****t kamu!!" teriak Vero, menghambur ke arah Kevin hendak memukul pria itu. "Eitttss ...." Kevin menahan kedua lengan Vero hingga wanita itu berada dalam rengkuhan Kevin. "Jangan agresif atau———" "Dasar b******n kamu kevin!!" teriak Vero. "Ya, gue emang b******n,"tukas Kevin mendorong tubuh Vero hingga terjerembab ke atas sofa dan Kevin langsung mengungkungnya. "Mari kita lihat seberapa bajingannya gue." Seringai itu membuat Vero bergidik ngeri dan detik selanjutnya Vero meronta dengan pekikan serta umpatan dari mulut wanita itu saat Kevin menciumnya dengan paksa. "Kenapa, bukan kah ini mau lo?" Kevin melepas ciumannya. "Cuuiiihh, gak sudi!" Vero meludahi Kevin, membuat pria itu geram. "Jangan munafik Vero, kau pikir aku tak tahu jika selama ini kau mencoba menggodaku," cibir Kevin sambil mengikat tangan Vero dengan dasinya, wanita itu meronta tapi tak berdaya. "Nikmatilah, ini kan maumu." Kevin melepas gespernya. "Aawwww!!" pekik serta jeritan dari dalam tak sampai terdengar keluar karena ruangan itu kedap suara. Para karyawan pun penasaran apa yang terjadi di dalam karena Vero tak keluar-keluar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD