Terciduk

1128 Words
"Kamu harus banyak istirahat Gi, jangan telat makan dan minum obatnya, vitamin jangan lupa." Gia tersenyum memperhatikan Dokter muda di depannya. "Siapa yang suruh kamu bangun?" Dokter itu beringsut mendekati Gia, membantunya duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Kamu bawel," ucap Gia sambil tersenyum, meski wajah Dokter itu kesal ia tetap perhatian pada Gia. Mengambilkan air di nakas dan menyodorkannya pada Gia. "Makasih," kata Gia lalu meminumnya. "Dam," panggil Gia, membuat Dokter muda itu menoleh ke arahnya. "Apa pilihan aku salah?" Gia melihat ke depan, menatap foto pernikahannya yang terpampang dengan ukuran besar. Adam pun menoleh, mengikuti arah pandang Gia. "Harusnya si tidak, sayangnya tidak semua orang punya intuisi yang bagus." Adam tersenyum simpul. "Apa dia menyakitimu?" tanya Adam, Gia tampak termenung tanpa memberikan jawaban. "Ahh, jangan bilang ini ...." Adam beralih menatap Gia penuh selidik. "Jangan bilang papa, cukup kamu saja yang tahu," ucap Gia. Adam mendesah berat, menatap Gia prihatin. "Apa kamu masih mau bertahan?" Gia menoleh pada Adam, tapi mulutnya masih terkatup. "Giii ...." Adam menggenggam tangan Gia. "Perasaan aku gak pernah berubah, kalo kamu lelah sama semua ini ... kamu bisa datang ke aku kapan pun kamu mau." Adam tersenyum sangat tulus.   Tapi Gia tak memberikan jawaban apa pun, hingga Adam melepaskan genggamannya. "Aku harus kembali ke rumah sakit, jaga diri, jangan lupa minum obatnya." Adam mengusap pipi Gia, lalu merapikan peralatan medisnya memasukkannya ke dalam tas jinjing. "Menikahlah." Adam menoleh menatap Gia yang memalingkan wajahnya ke samping kanan, menatap keluar jendela kaca besar. "Jangan buang waktumu sia-sia," tambah Gia. Adam mendengus. "Apa bedanya dengan kamu?" Adam menghela napas sejenak, sebelum berkata, "Jangan tanya apa alasannya, kamu tahu, tak beda jauh dengan dirimu." Gia tak menyahut, ia memilih bungkam. Hingga dam berdiri tapi Gia masih enggan menoleh ke arahnya. "Aku pergi, kalo ada apa-apa kabari." Adam mengelus puncak kepala Gia kemudian berbalik menuju pintu. Gia masih melihat keluar jendela. "Maaf Adam, seandainya melupakan semudah mencintai mungkin aku sudah menyerah sejak awal," gumam Gia, tanpa sadar air matanya menerobos keluar. ****   Tiga hari berlalu dan Kevin tak pernah kembali ke rumah. Gia menatap masakannya di meja, selama tiga hari ia tetap menyiapkan makan malam dan membiarkannya hingga pagi, membuangnya lalu menggantinya dengan yang baru dan begitu seterusnya.   Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 dan Kevin juga tidak kunjung pulang, ponselnya tidak aktif. Gia meremas jemarinya, ia tahu Kevin pulang ke mana. Tentu saja ke tempat istrinya dan itu jelas bukan Gia. Bukankah aku bodoh. Gia merutuki diri sendiri. "Non, apa makanannya mau———" "Buang aja Mbo," potong Gia, lalu beranjak pergi menuju kamarnya. Sedangkan mbo Minah hanya bisa menggelengkan kepala, melihat majikannya seperti ini seakan dejavu baginya. Sampai di kamar ia menelpon no sekretaris Kevin, tapi sudah tiga kali panggilan dan berakhir dengan suara operator. "Lo kemana si Ve? kenapa nomor lo gak aktif?" gerutu Gia. Gia mondar - mandir dengan menggigiti kukunya, kebiasaanya saat dirundung cemas. Ia langsung mengambil tasnya dan pergi dengan tergesa-gesa. "Mbo, Gia pergi dulu ya!" teriak Gia saat menuruni tangga. "Iya Non Gia," jawab mbo Minah yang sedang memberesi meja makan.   Gia melajukan mobilnya menuju kantor Kevin, entah kenapa siang ini jalanan cukup macet. Membuat Gia kian gusar. Ia melirik jam yang hampir menunjukkan pukul setengah dua belas. Gia kembali melajukan mobilnya. "Sial!" umpat Gia saat melihat lampu merah. Ia memukul stir mobilnya, lalu meletakkan kepalanya di tangan yang masih memegang stir. Lelah, Gia sangat lelah tapi ia tak bisa jika harus diam dan menunggu seperti orang bego. Saat ia mengangkat kepalanya ada anak kecil yang menggedor kaca mobilnya, Gia menurunkan kaca mobilnya. "Buat jajan." Gia memberikan selembar uang seratus ribuan sembari tersenyum pada anak kecil itu. "Makasih Tante." Bocah itu tampak kegirangan dan langsung berlari ke arah penjual es. Gia tersenyum hangat, senang rasanya melihat anak itu bisa tersenyum tanpa merasakan beban, padahal hidupnya susah. Dan saat ia memalingkan wajahnya tanpa sengaja netranya menangkap sosok yang tengah ia cari berada di sebuah kafe samping jalan. "Vero!" pekik Gia. "Vero!!" panggil Gia. "Veroo!!" teriaknya lebih kencang, tapi yang dipanggil sepertinya tak mendengar. Gia hendak turun namun klakson mobil di belakang membuatnya urung, ia melajukan mobilnya dan memutar arah menuju kafe tadi.   "Vero," panggil Gia saat sudah berada di dalam kafe. Wanita itu menoleh dan tampak terkejut ketika melihat Gia. Lalu keduanya kini duduk disalah satu meja, Gia masih tak menyangka kalau Vero bekerja jadi pelayan di kafe itu. "Jadi ...?" Gia menatap Vero, menuntut penjelasan. "Seperti yang lo lihat, Kevin mecat gue dan beruntungnya Leo masih mau terima gue buat jadi karyawannya di sini." Gia terdiam, merasa bersalah. "Ya, mungkin kerjanya gak banget keliatannya, tapi gue seneng kok," tambah Vero tampak memaksakan senyumannya. "Lo bisa kerja di galeri gue," ucap Gia. "Gak usah." Vero tersenyum kecut menundukkan kepalanya. Gue gak pantes dapet kebaikan lo Gia. "Kenapa?" tanya Gia, Vero tak menjawab. "Gue tahu, mungkin gajinya gak sebesar yang Kevin beri ta———" "Gue udah nyaman di sini," sergah Vero, mengangkat kepalanya menatap Gia dengan senyuman. Tangannya menggenggam jemari tangan Gia. "Akhirnya gue nemuin passion gue di sini." Gia mengangguk, mencoba memahami kemauan sahabatnya. "Oke, tapi kalau suatu hari lo berubah pikiran, lo bisa dateng ke galeri gue kapan pun." Vero mangangguk sembari tersenyum. "Pasti."   Gia beranjak berdiri hendak pergi setelah berpamitan dengan Vero. "Ve," panggil Gia mengurungkan langkahnya, berbalik menatap Vero. "Apa lo tahu siapa sekretaris barunya?" Meski ragu, Vero mengangguk. ****   Gia masuk ke kantor Kevin, emosinya sudah memuncak sampai ubun-ubun. Bangsat kamu Vin!! Berkali-kali ia mengumpati kevin. Gia berjalan dengan tergesa, bahkan ia mengabaikan sapaan dari karyawan yang menyapanya.   "Bu gia, kenapa ya? Tumben banget wajahnya kusut gitu," ucap karyawan yang dilewati Gia dan diacuhkannya.   "Iya, biasanya dia ramah banget," sahut yang lain. "Udah-udah jangan ngerumpi, jangan ikut campur, kalau pak Kevin tahu bisa dipecat kita kaya bu Vero," timpal yang lainnya dan mereka pun kembali pada aktivitas masing-masing.   Di sisi lain Gia tengah menatap sebal pada wanita di hadapannya. "Minggir," ucap Gia pada wanita yang menghalangi langkahnya.   "Tapi pak Kevin bilang beliau gak boleh diganggu," kata wanita itu.   Gia mendesah berat, memutar bola matanya malas. "Apakah istrinya mengganggu?" Wanita itu tampak bingung harus menjawab apa. "Minggir!!" Gia mendorong tubuh wanita itu dan berjalan menuju pintu ruangan Kevin. "Bu saya mohon." Wanita itu berdiri di depan pintu merentangkan tangannya dengan mengiba pada Gia. "Kenapa saya gak boleh masuk?" bentak Gia. "Ini perintah pak Kevin, Bu," jawab wanita itu, menundukkan kepalanya saat Gia menatap tajam ke arahnya. "Jangan sampai saya minta papa mertua saya mecat kamu," bisik Gia dan wajah wanita itu seketika pucat pasi. Wanita itu langsung menggeser tubuhnya. Gia tersenyum, tak sia-sia ia mengeluarkan ancaman murahan itu. Padahal Gia takkan mungkin menggunakan cara kotor seperti itu.   Gia langsung membuka pintu ruangan Kevin, matanya langsung membelalak, tubuhnya gemetar. Dunia serasa runtuh saat melihat Kevin berada di atas wanita yang tengah telentang di meja kerja Kevin dengan pakaiannya yang kacau.   Tapi sedetik kemudian ia merubah raut wajahnya menjadi tenang dengan sudut bibirnya yang terangkat. Kena kau. Gia melirik ke arah karyawan wanita yang berdiri di sampingnya. Wanita itu tampak syok dengan wajah kaget dan mulut menganga. Kevin dan wanita yang berada di bawahnya pun menoleh pada Gia, tampak terkejut mendapati Gia di ruangan itu. "Gia!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD