Murka

1029 Words
Kevin tengah fokus pada layar laptopnya saat seseorang mengetuk pintu. "Masuk," ucap Kevin, lalu ia mengangkat kepalanya melihat ke pintu saat pintu terbuka. Kevin tersenyum sangat manis pada wanita yang berjalan sexi ke arahnya. Wanita yang selalu membuatnya goyah. "Kenapa nyuruh aku ke sini, kalau ada yang curiga gima----" Kevin bangkit dan membungkam bibir wanita itu. "Kevin ngeselin!" rajuknya saat bibir keduanya terlepas, sembari memukul manja d**a Kevin. "Kepala aku penat dan aku butuh cuci mata," jawab Kevin, menarik tubuh wanita itu ke atas pangkuannya. "Tapi kan gak harus di kantor," cicit wanita itu, kegelian saat Kevin menciumi lehernya. "Vin ... aaash." Satu desahan lolos saat tangan Kevin merayap dibalik kemeja tipis itu. "Aku mau kamu Zahra," bisik Kevin. Zahra terus menggeliat saat tangan Kevin meraba aset berharganya, bergerilya dan membuatnya menegang. "Aaa ... Vin kalau ada yang lihat gimana?" pekik Zahra, saat tangan Kevin sudah masuk di bawah roknya. "Gak akan ada yang tahu sayang, mereka gak berani masuk ke sini," ucap Kevin, ia menarik kemeja Zahra hingga terlepas semua kancingnya, tangannya menelusup kebalik punggung zahra menarik pengait bra. Ia langsung membalik tubuh Zahra, memburu lehernya. Desahan demi desahan lolos dari bibir Zahra. Kevin terus membuat tanda kepemilikannya diatas tanda-tanda kepemilikannya yang belum pudar. Ia terus menciumi leher Zahra turun ke bawah. Kevin langsung menaikkan tubuh Zahra ke atas meja kerjanya, ia melucuti pakaian Zahra dan menyingkap roknya ke atas. Tanpa perlu pemanasan lagi Kevin segera menuntaskannya. Kini desahan serta deru napas yang saling bersahutan membahana dalam ruangan kedap suara. Hingga tiba-tiba pintu terbuka lebar, mengejutkan keduanya. Kevin menoleh ke arah pintu, di sana tengah berdiri wanita yang tengah menatapnya dengan jijik dan juga satu karyawan tololnya yang melongo. Zahra mendongak melihat bayang wanita di sana. "Gia!" pekiknya terkejut, ia hendak bangun tapi Kevin menahannya. Zahra menatap Kevin, pria itu begitu tak acuh. Kevin tetap mmeneruskan aksinya, tak peduli meski Gia melihat. Hingga pelepasan itu membuat tubuh keduanya bergetar. Kevin melenguh panjang sembari menghentak-hentakkan miliknya, membuat Zahra kebelingsatan menerima semburan yang bertubi-tubi. Dari ekor matanya Kevin, melihat kepergian Gia dan pintu pun tertutup kembali. "Kamu gila Vin!" jerit Zahra lalu merapikan bajunya, sedangkan Kevin mengedikkan bahu lalu duduk di sofanya merebahkan diri di sana. ***** Gia memutar mobilnya, bukan arah pulang melainkan menuju kantor papanya. "Kita lihat Vin, sejauh apa kamu bisa bertahan dengan wanita itu." Seringai Gia muncul. Sudah cukup ia mentolerir keduanya. Gia memang bodoh menutup mata selama hampir delapan tahun, pura-pura bodoh di depan mereka berdua. Padahal ia jelas tahu bagaimana perbuatan keduanya, bagaimana Zahra memberikan aset berharga miliknya kepada Kevin. Gia mendecih, betapa murahan sekali wanita itu. Ia masih tak habis pikir jika Kevin senekad itu merekrut wanita lendir itu menjadi sekretaris dan melakukan hal menjijikkan di dalam ruangannya. Gia masuk ke lobi setelah memarkir mobilnya, sapaan demi sapaan ia terima dari karyawan papanya. Ia tetap tersenyum meski hatinya tengah ketar ketir. Gia memang hebat selalu bisa memanipulasi keadaannya, tak membiarkan siapa pun tahu kehancuran dalam dirinya. "Gia!" pekik papanya setengah terkejut saat melihat Gia memasuki ruangannya. "Kok Papa kaget gitu sii?" Gia terkekeh geli, melihat raut wajah papanya. "Kamu kenapa gak bilang mau ke sini?" Pria paruh baya itu memeluk Gia. "Kejutan buat Papa." Gia tersenyum manis lalu duduk di samping papanya. "Ada apa? Pasti ada sesuatu yang membuatmu sudi menginjakkan kaki di sini." Terdengar tawa jenaka dari sang papa, mengingat Gia yang sangat anti menginjakkan kaki diperusahaan Gia lebih suka menghabiskan waktunya di galeri atau ruang lukisnya. "Papa cenayang ya?" Gia tampak tertawa menimpali pertanyaan papanya yang memang benar adanya. "Papa hafal dengan putri papa ini." Papa Gia mengusap puncak kepala Gia. "Begini Pa, Gia mau minta tolong Papa buat cabut semua saham dan investasi Papa dari perusahaan Kevin." Papa Gia terkejut, menaikkan sebelah alisnya menatap bingung Gia. "Kenapa?" "Bukan apa-apa Pa, hanya saja ini kemauan Kevin. Dia mau mandiri katanya, dia pengen buktiin ke semua orang kalo Kevin nikahin aku bukan karena aku anak Papa." Gia tersenyum, senyum kemenangan. Walaupun awalnya papa Gia menolak tapi akhirnya ia menuruti keingin Gia. Gia keluar dari ruangan papanya dan tanpa sengaja ia berpapasan dengan seorang pria bertubuh tegap. "Hai Kak," sapa Gia, pria itu tampak kaget. "Hai Gi," jawab pria itu dengan gugup. "Abis ketemu Papa?" tanya pria itu. Gia mengangguk. "Kalo gitu Gia pulang dulu Kak, dahh Kak Romeo." Gia melambaikan tangannya, sedangkan pria yang dipanggil Romeo itu hanya mengangguk menatap punggung Gia dengan ekpresi tak terbaca. **** Gia masuk ke rumah, hari mulai gelap saat menjelang petang. "Non Gia, dah pulang?" tanya mbo Minah. "Iy Mbo, Mbo Minah pulang aja gak pa-pa." Wanita paruh baya itu pun mengangguk. "Oh, iya Non ada titipan dari mas Adam, mbo taroh di kamar Non Gia," ucap mbo Minah saat diambang pintu. "Iya, Mbo makasih," sahut Gia, ia pun bergegas masuk ke kamarnya. Lalu menemukan bungkusan kado di atas ranjangnya. Gia membuka kotak itu. Senyumnya tersungging saat melihat isi di dalamnya. Lalu ada kartu ucapan di atasnya. Kamu pasti akan terlihat sempurna saat mengenakannya. Dari sahabatmu. Gia langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, cukup lama ia di dalam. Gia pun keluar hanya mengenakan handuk. Tangannya terulur mengambil gaun renda transparan itu dan mengenakannya. Gia berdecak kagum melihat tampilan dirinya di depan cermin.                      "Selera kamu memang tak bisa diragukan lagi Dam," gumam Gia, tersenyum manis di depan kaca. Seandainya ia bisa mengenakannya di depan Kevin, Gia tersenyum kecut mengingat pria yang diharapkannya pasti tengah berada di atas tubuh wanita lain. Brakk Gia tersentak dan sontak menoleh saat pintu terbuka kasar.  "Kamu!" pekik Gia, melotot saat melihat Kevin berdiri di ambang pintu dengan deru napas yang menggebu dan tatapan tajam seakan menelanjanginya. Kevin mendecih. "Apa kau sedang menungguku?" ejeknya. Kevin berjalan menghampiri Gia. Gia mendesis, membuang mukanya ke samping. "Tidak, aku sama sekali tak mengharapkan kedatanganmu!" tukas Gia dengan suara dingin. "Lalu, untuk siapa ini?" Kevin menyentuh bahu Gia, turun ke lengannya membuat Gia meremang seketika. "Ohhh, atau ... untuk pria lain?" Kevin langsung mencengkram rahang Gia menarikknya hingga menghadap ke Kevin. "Jawab!" bentak Kevin. "Bukan urusan kamu!" sarkas Gia. "Ohhh, ya? Kamu lupa kalo aku ini suamimu." Kevin menyunggingkan senyum sinisnya. "Baiklah, kita lihat apakah setelah ini kau masih bisa menunjukkan wajahmu pada pria itu?" Kevin langsung menghempas tubuh Gia, hingga dia terjungkal membentur meja rias. Kevin melepas ikat pinggangnya berjalan ke arah Gia, sontak saja Gia mundur secara perlahan hingga akhirnya punggungnya menabrak tembok. "Mau lari kemana Gia?" Terdengar tawa mengerikan itu. Gia bisa melihat betapa murkanya pria itu. Ia meremas jemarinya, merapalkan segala doa agar terhindar dari pria menakutkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD