Tamu Tak Diundang

989 Words
Kevin menyesap rokok, menyebulkan asap rokoknya ke udara. Ia melirik Gia yang masih tertidur pulas. Sudut bibirnya tersungging ke atas.    Katakanlah Kevin memang lelaki paling b******k di dunia ini, ia membawa Gia ke villanya di Bogor dan selama seminggu ini Kevin meniduri Gia. Memaksa Gia selalu berada di bawah kendalinya.   Tepat hati ke tujuh, rasanya terlalu cepat bagi Kevin menyudahi permainannya. Tapi apa boleh buat, Gia akhirnya menyerah. Dia sudah mengembalikan semua seperti semula, semua saham serta investasi perusahaan papanya.   Terbesit rasa iba saat melihat wajah Gia, wanita itu begitu rapuh tapi dia selalu menampilkan wajah sok kuatnya membuat Kevin muak. Drrrrrrrtttt Kevin meraih ponselnya dan mengangkat panggilan telepon dari Zahra. "Halo," jawab Kevin ketika panggilan tersambung. "Kau tak pulang?" Terdengar nada khawatir dari suara Zahra. "Aku akan pulang, jadi dandanlah yang cantik," kata Kevin, kemudian mengakhiri panggilannya. Kevin Melirik ke arah Gia, sepertinya wanita itu sangat kelelahan setelah semalaman Kevin gempur.   Kevin berjalan ke tepi ranjang mengusap lembut kening Gia, lalu entah apa yang membuatnya mendaratkan kecupan di kening Gia. Setelah itu Kevin langsung pergi, meninggalkan Gia begitu saja. ____ Gia membuka matanya, lalu berlari ke arah jendela. Gia menatap keluar jendela, mobil Kevin baru saja keluar gerbang meninggalkan villa. Gia tersenyum kecut, mengetahui fakta ke mana pria itu akan pergi. "Kenapa Gia? Kenapa kamu harus terlena hanya karena sebuah kecupan?" Gia mendongak, menyeka sudut matanya yang berair. "Sadarlah sampai kapan pun, pria itu takkan pernah mencintaimu," gumamnya. Gia melangkah ke kamar mandi, menanggalkan pakaiannya. Berdiri di depan cermin, mengamati tubuhnya yang penuh tanda kepemilikan milik Kevin. Gia kembali tersenyum kecut mengingat bagaimana Kevin melakukannya, bukan atas dasar kemauan dirinya sendiri tapi hanya untuk menggertak Gia. Gia mencengkram erat ujung wastafel, kapalanya tertunduk. Tanpa bisa dibendung lagi, air matanya turun membasahi pipi. "Apa salahku kak, kenapa kamu lakukan ini?" Gia roboh, bersimpuh di lantai. Menutupi wajahnya, Gia butuh seseorang. Tapi siapa? Tidak mungkin ia bilang papanya. Tidak, Gia tidak mau membuat papanya kepikiran. "Adam," pekik Gia saat bayangan pria itu terlintas di pikirannya. Benar hanya Adam yang mengerti dirinya, hanya dia orang yang tepat untuk Gia mencurahkan semua beban hidupnya saat ini. ____   Adam menutup sambungan telepon, setelah itu ia mengambil jasnya dan bergegas pergi. "Adam!" teriak seorang wanita, ketika melihat Adam keluar dari ruang kerjanya. "Kamu mau ke mana?" tanya wanita itu yang kini sudah berada di depan Adam. "Tolong handle semua pasien, aku harus pergi." Adam yang panik langsung beranjak hendak pergi, tapi wanita itu menahannya. "Kamu gila? Kamu tidak lihat pasien banyak begitu dan kamu malah mau ninggalin tanggung jawab kamu begitu saja!" hardik wanita itu. Adam tak perduli ia menghempas tangan wanita itu. "Maaf Rin, aku harus pergi ini lebih penting dari segalanya." Adam berlari tapi teriakan Rina membuat langkahnya berhenti. "Apa karena perempuan itu?" teriak Rina, hal itu memancing perhatian orang-orang di sekelilingnya. "Ya," jawab Adam, lalu pergi tak peduli lagi dengan teriakan Rina.   Adam melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, memasuki tol arah Bogor. "Kevin berengsek!" umpat Adam, memukul stir mobilnya. "Lo lihat  aja Vin, lo bakal nyesel kali ini." Adam menahan gejolak amarahnya yang mulai tak terbendung. "Cukup, gue beri kesempatan lo. Kali ini gue gak akan ngalah lagi sama lo!" Adam mencengkram erat stir mobilnya, matanya tajam menatap ke depan.   Setelah cukup lama di perjalanan, Adam mulai memasuki kawasan kebun teh. Hingga mobilnya tiba di depan villa besar di antara kebun teh, vila milik keluarga Baskoro. Adam langsung keluar dan berlari masuk ke dalam vila. Rasa khawatir dan mencemaskan keadaan Gia, membuat Adam tak berpikir panjang untuk menerobos masuk. "Gia," panggil Adam, tapi tak ada sahutan. "Gia!" Adam terus berteriak, ia berlari ke atas menuju kamar paling ujung. "Giaa!!" pekik Adam saat masuk ke dalam kamar dan mendapati Gia terkulai lemas di lantai kamar mandi hanya mengenakan handuk saja. ___   Zahra duduk di depan cermin, ia mengoleskan lipcream merah terang di bibirnya, senada dengan warna lingerie yang ia pakai. Ting tong Zahra langsung berlari ke depan pintu saat mendengar bel apartemannya berbunyi. Ia berhenti di depan pintu, membenarkan tatanan rambutnya. Ceklek Zahra terperanjat ketika pintu terbuka, ia menatap horor sosok di depannya. "Om!" Zahra melotot, tubuhnya menegang, ketakutan.   Pria itu menatap Zahra dengan datar, tapi sorot matanya begitu menakutkan. Mengamati penampilan Zahra dari atas sampai bawah.  Siapa kira pria paruh baya itu justru masuk begitu saja, membuat Zahra cepat menutup pintu. "Om, mau apa?" cicit Zahra saat menghampiri pria itu yang duduk di tepi ranjang. Pria itu tersenyum sinis, lalu menatap Zahra dengan intens. "Kau sedang menunggu putraku?" tanya pria itu yang ternyata Baskoro, papa Kevin. Zahra tak menjawab, ia menundukkan kepalanya. Papa Kevin pun berdiri menghampiri Zahra, menyentuh lengan Zahra dan mencium pundaknya. "Om!!" hardik Zahra saat pria itu menciumi lehernya. "Kenapa?" bisik Baskoro, napas pria itu membuat Zahra meremang. "Bukannya kamu menyukai sentuhanku." Baskoro berdiri di belakang Zahra, tangannya mengelus-elus pundak Zahra. "Cukup om!" bentak Zahra, menepis tangan laknat itu dari pundaknya. Plak Zahra tersungkur, memegangi pipinya memanas setelah ditampar  Baskoro. Lalu pria itu menjambak rambut Zahra, menariknya ke belakang hingga kepala Zahra mendongak ke atas. "Awwwww ... ampun Om." Tangis Zahra pecah. "Kamu itu wanita jalang, murahan!!" maki Baskoro. "Kamu tidak pantas bersama putraku!!!" bentak pria paru baya itu. "Tapi kami saling mencintai Om," cicit Zahra disela tangisan pilunya. Plak Zahra kembali tersungkur. "Persetan dengan cinta, kamu pikir kalau Kevin tahu siapa kamu sebenarnya, dia akan tetap disampingmu?Hah?" Baskoro mencengkram lengan Zahra, menuntut jawaban. "Jawab," bentak Baskoro. "Apa kamu pikir Kevin akan mau dengan wanita bekas simpanan papanya?" bisik pria itu dengan tawa sinisnya. Zahra melirik ke arah Baskoro melemparkan tatapan nyalangnya. "Aku bukan Zahra yang dulu Om, Zahra yang dulu sudah mati!" jerit Zahra. "Oh, ya?" cibir Baskoro. "Mari kita buktikan, kamu Zahra yang dulu atau bukan?" Seringai itu membuat Zahra gemetar ketakutan. "Kenapa?" Baskoro menaikkan sebelah alisnya, menatap raut wajah Zahra. "Kita sama-sama buktikan, sekaligus kamu bisa bandingkan jagoan siapa. Ayah atau anak?" Baskoro tertawa nyaring. Sedangkan Zahra beringsut mundur.  Tapi pria itu sudah mencengkram kembali kakinya, menyeret Zahra. Menyobek lingerie-nya dan melemparkan tubuh Zahra ke atas ranjang . "Om, kumohon jangan." Zahra menggosok-gosok tangannya, memohon pada pria itu tapi tak digubris. Baskoro melepas gesper  dan  secara membabi buta menyabetkannya pada Zahra. Setelah itu mengikat tangan Zahra dengan dasinya.   Zahra hanya bisa menagis, meratapi nasibnya saat pria itu kembali menguasainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD