Satu

1005 Words
Hiro Kiandra Ichiro, pria berdarah Jepang berusia tiga puluh lima tahun itu duduk dengan gelisah di salah satu kursi tunggu rumah sakit. Sesekali tangannya meraup wajah frustrasi. Bisa-bisanya dia telah mencelakai seseorang. Apalagi kondisi kritis yang sempat dokter sampaikan, membuat Hiro semakin tak tenang. Rasa bersalah tentu saja menggentayanginya selama satu jam ini. Ekor mata Hiro melirik perempuan yang duduk tak jauh darinya. Dialah istri dari Bapak Umar Ibrahim, lelaki yang satu jam lalu dia buat celaka. Sebenarnya tak ada niat di hati Hiro untuk mencelakai orang seperti ini. Hanya saja yang namanya musibah memang tidak akan pernah dapat dia prediksi. Yang membuat Hiro menyesal karena dia melajukan mobilnya cukup kencang tadi, hingga dia tidak ada kesempatan untuk mengelak saat kecelakaan itu terjadi. Hiro telah menabrak Bapak Umar Ibrahim yang sedang menyeberang jalan. Disini tetap Hiro-lah yang salah. Karena Hiro kurang berhati-hati membawa mobilnya. Sebenarnya, Pak Umar sudah menghidupkan lampu sign saat akan menyeberang jalan. Tapi Hiro tak memperhatikannya tadi. Ditambah kencangnya laju mobil yang ia jalankan. Hingga tragedi kecelakaan itu tak bisa dielakkan. Dengan ragu Hiro berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati istri Pak Umar. Hiro duduk di samping perempuan itu. Perempuan yang terus mengeluarkan air mata karena kesedihan mendalam yang dirasakan. Sang suami sedang berjuang bertaruh nyawa di dalam ruang operasi. "Bu, maafkan saya." Ini untuk kesekian kalinya Hiro mengemukakan rasa bersalahnya. Sungguh, dia sangat merasa bersalah terutama pada keluarga korban. Dengan telapak tangannya, perempuan itu menyusut air mata yang tak juga kunjung berhenti mengalir sedari tadi. "Tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah seperti ini. Tidak ada juga yang ingin mendapat musibah seperti ini nak__" ucapan si ibu menggantung. Hiro tahu dan dengan memaksakan seulas senyum Hiro berkata, "Nama saya Hiro, Bu." "Ah, iya Hiro. Jangan terus merasa bersalah. Ibu yakin, Bapak di dalam sana akan baik-baik saja," ucap si ibu dengan tegarnya. Istri Pak Umar berusaha optimis bahwa suaminya di dalam sana, pasti akan baik-baik saja. Hiro merasa sedikit tenang. Setidaknya keluarga korban yang ia tabrak tidak sepenuhnya menyalahkan dirinya dan itu membuat Hiro cukup terharu. Hiro tahu jika keluarga Pak Umar adalah keluarga yang baik dan mereka bukanlah kaum pendendam. Hiro terus berdoa tanpa henti, semoga Pak Umar bisa melalui masa kritisnya. Hiro bersama istri Pak Umar, keduanya sama-sama gelisah menunggu dokter keluar dari ruang operasi dan memberikan kabar mengenai kondisi lelaki yang sedang berjuang melawan maut di dalam sana. *** "Ibu ...!" seru seorang gadis yang dengan tergopoh-gopoh menghampiri Bu Umar yang sedang duduk dengan menyandarkan punggungnya di kursi tunggu rumah sakit, tepatnya di depan ruang operasi. Hiro mendongak menatap kehadiran seorang gadis yang masih menggunakan seragam sekolahnya. Rambut panjang gadis itu dikucir kuda hingga tampak bergoyang saat sang empunya sedang berlari kecil menghampiri ibunya. Istri Pak Umar yang tadi dalam posisi duduk, kini sudah berdiri menyambut kedatangan putri sulungnya. "Sakura...." ucap si ibu lirih. Lalu kedua perempuan berbeda usia itu saling berpelukan, meluapkan rasa kesedihan yang mendalam atas musibah yang telah menimpa kepala keluarga mereka. "Ibu, bagaimana kondisi Bapak?" tanya Sakura sesaat setelah mereka mengurai pelukan. "Duduklah." Wajah sang ibu yang terlihat lebih tenang, membimbing Sakura untuk duduk di kursi yang memang disediakan di ruang tunggu yang berjarak beberapa meter dari ruang operasi. Sakura, gadis manis yang tak lain adalah anak tertua dari Bapak Umar Ibrahim, mengikuti perintah sang ibu. Mereka berdua duduk bersisihan. "Bapak masih berada di dalam sana." Bu Umar berucap dengan nada kesedihan yang terdengar kentara. Pandangan mata Sakura lurus ke depan, mengikuti pandangan mata sang ibu. Sebuah ruangan tertutup yang diatas pintunya tertulis ' Ruang Operasi'. Hati Sakura bergemuruh mendapati lelaki satu-satunya yang ia cintai sedang bertaruh nyawa di dalam sana. Tanpa disadari olehnya, air mata kembali mengalir membasahi pipinya yang tirus. Tadi saat Sakura baru saja pulang dari sekolah, bahkan gadis itu belum sampai di rumahnya, seorang tetangga yang tak sengaja berpapasan dengannya memberi kabar bahwa bapaknya mengalami kecelakaan. Dan tanpa pikir panjang, Sakura tak melanjutkan niatnya untuk pulang ke rumah. Melainkan dia segera berlari menuju rumah sakit dengan tergesa. Sakura panik juga bersedih. Benarkah bapaknya mengalami kecelakaan. Dan ternyata begitu ia tiba di rumah sakit, semua yang telah tetangganya informasikan benar adanya. Sakura kembali menatap sang Ibu. "Ibu, bagaimana bisa Bapak kecelakaan. Ceritakan pada Sakura apa yang sebenarnya terjadi, Bu!" Ibu menggenggam tangan Sakura, ditatap wajah putrinya." Sakura, ini namanya musibah. Kita berdoa saja agar Bapak bisa segera melewati masa kritisnya." Ibu tak akan menceritakan bagaimana detail kronologis kejadian kecelakaan yang menimpa suaminya. Karena beliau sendiri juga kurang tahu pasti bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Saksi mata juga tidak ada. Beruntungnya orang yang menabrak tak melarikan diri. Dan justru bertanggung jawab dengan membawa suaminya ke rumah sakit. Bahkan lelaki yang menabrak suaminya ikut menunggu dengan cemas menanti kabar dari dokter yang sedang melakukan operasi pada suaminya. Jelas terlihat kesedihan di mata keduanya dan tanpa sengaja mata Sakura bersitatap dengan mata sayu seorang pria yang juga sedang duduk tak jauh darinya. Memang sedari tadi Hiro dengan perasaan bersalahnya, tak lepas mengamati interaksi ibu dan anak tersebut. Hiro tak bisa berbuat apa-apa selain ikut mendoakan Pak Umar yang sedang bertaruh nyawa di dalam ruang operasi. Bahkan Hiro tak berani menimpali percakapan antara ibu dan anak di hadapannya ini. "Lelaki itu siapa, Bu?" tanya Sakura membuat Hiro harus menatap keduanya. Isteri Pak Umar menoleh sekilas pada Hiro, lalu beralih menatap putrinya. "Sakura, dia adalah ...." sangat berat bagi isteri Pak Umar untuk mengungkap siapa sesungguhnya lelaki yang sedang bersama mereka saat ini. Beliau takut jika Sakura tidak bisa menerima dengan apa yang sudah terjadi pada bapaknya akibat ulah lelaki itu. Ternyata tanpa ibunya harus memberitahu, Sakura sudah langsung bisa menebaknya. "Jadi, Paman inilah yang sudah membuat Bapak celaka?" suara Sakura sedikit lantang dengan pandangan sengit menatap Hiro. Hiro, lelaki itu mendongak menatap Sakura. Wajah pias Hiro tak mampu ia sembunyikan. Dengan susah payah Hiro menelan salivanya melihat wajah yang diliputi amarah sedang diperlihatkan oleh gadis remaja di hadapannya. Dalam hati Hiro berkata, sepertinya dia akan mendapat masalah besar untuk menghadapi gadis itu. Ya, anak gadis dari Pak Umar Ibrahim. Seseorang yang telah ia celakai beberapa jam tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD