Sky sudah tertidur ketika Lizie
Merangkak naik ke atas ranjangnya dan menggoyang-goyang tubuhnya.
"Sky, aku tidak bisa tidur."
Sky yang terkejut langsung kembali terbangun dan menyalakan lampu di samping ranjang. Sky masih seperti bermimpi ketika melihat Lizie sudah duduk bersimpuh di atas hamparan selimutnya. Gadis itu hanya memakai kaos longgar tanpa celana dan Sky yakin dia juga sedang tidak memakai bra.
"Kepalaku semakin sakit karena tidak bisa tidur," keluh gadis itu sambil memijit pelipisnya.
Sudah dua malam Lizie belum tidur sama sekali dan tadi sepanjang siang dia cuma bisa berguling-guling di atas kasur tanpa dapat memejamkan mata. Sky pulang dari kantor juga langsung kembali sibuk sendiri dengan sisa pekerjaannya yang masih terus menuntutnya seperti mesin sampai dia lupa untuk memastikan anak itu.
Sky bangkit untuk mengambil botol kecil di laci meja nakas kemudian memberikan satu kapsul yang tadi juga dia telan.
"Apa ini?" tanya Lizie ketika memperhatikan kapsul kecil yang sudah berada di telapak tangannya.
"Minum saja itu akan membantumu cepat tidur."
Lizie cuma menatap Sky sebentar sambil cemberut baru kemudian langsung beringsut turun dari kasur dan keluar.
Entah ini bencana atau kutukan, seketika Sky kembali menjatuhkan tubuhnya sambil menghembuskan nafas kasar. Sky sampai harus berulang kali mengingatkan jika dirinya sekarang tinggal dengan seorang gadis yang mulai beranjak dewasa, dan hanya berdua dalam satu rumah. Gadis remaja yang juga agak sembrono untuk menjaga diri.
Selama ini Sky selalu tinggal sendiri bahkan dia tidak pernah membawa teman wanita pulang, jadi dia tidak pernah menyangka bakal ada yang ikut merangkak naik ke atas tempat tidurnya di tengah malam. Sky mulai merasa tidak sehat karena setelah itu justru dirinya sendiri yang jadi tidak bisa memejamkan mata sampai harus kembali menelan dosis obat yang lebih tinggi. Sky memang memiliki masalah insomnia dan dokternya sudah meresepkan beberapa jenis obat mulai yang ringan sampai cukup berat.
Siapa bilang hidup sukses seperti dirinya lantas cuma tinggal berfoya-foya saja, karena nyatanya tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Selama ini Sky memang sudah bekerja keras seperti mesin untuk bisa sampai pada posisinya seperti sekarang. Sky adalah pemuda yang penuh ambisi dan sangat disiplin demi meraih tujuannya. Sesekali dia akan berlibur hanya untuk menyaksikan pertandingan bola dan cuma itu momennya merasa bisa hidup seperti manusia normal.
Sky mencengkram kulit kepalanya yang terasa kaku, sepertinya dia memang perlu segera menunjuk profesional untuk membantu pekerjaannya. Entah jam berapa akhirnya mata Sky kembali terpejam karena saat dia bangun hari sudah terang benderang dan dirinya masih menggeliat di atas tempat tidur dengan selimut kusut. Alarm sengaja tidak dia aktifkan di akhir pekan tapi Sky tetap terbangun karena suara berisik di luar. Sky segera ingat jika sekarang dirinya tidak hidup sendiri, buru-buru ia turun dari tempat tidur menggosok gigi dan keluar untuk memastikan jika Lizie tidak membuat kekacauan.
Setelah berhasil tidur nyenyak, pagi-pagi Lizie sudah bangun dan Sky melihat gadis itu sedang sibuk di meja pantry. Ternyata Lizie sedang membuat kopi dari mesin 'coffe maker' yang sudah dia pencet berulang-ulang dengan ujung jari telunjuknya yang gemas.
"Untuk siapa kau membuat kopi sebanyak ini?" heran Sky melihat beberapa cangkir yang sudah berbaris di meja.
"Aku coba menemukan varian yang pas tapi sama sekali tidak ada yang cocok di lidahku."
Sky melihat Lizie masih kembali memasukkan kapsul kopi ke dalam mesin 'coffe maker'. Semua tulisan di kapsul tersebut menggunakan bahasa Prancis yang mengejanya pun Lizie tidak bisa, jadi dia coba saja semua varian yang ia temukan satu-persatu.
"Sudah hentikan yang itu rasanya juga akan sama saja di lidahmu, karena seharusnya kau masih minum s**u bukan kopi!"
"Berhentilah menganggapku anak-anak. Jangan lupa umurku sudah delapan belas tahun tiga bulan lagi!"
Sky cuma pura-pura mendengarkan.
"Kenapa kau tidak pernah percaya jika kubilang umurku sudah dua tahun lebih tua! " protes Lizie yang masih terus coba memasukkan kapsul varian rasa yang lain ke dalam mesin sambil kembali melirik Sky.
"Bahkan aku sudah pandai mencium pria!" goda Lizie dengan mengangkat alis dan mengigit sudut bibir bawahnya sendiri.
"Oh!" Sky langsung berpaling tidak mau mendengar ocehannya.
"Aku serius." Lizie malah kembali mengedip jahil kepada Sky yang masih menolak menghiraukan leluconnya.
"Aku belajar dengan teman-teman," santai Lizie untuk terus memancing Sky.
"Kau tinggal di asrama perempuan memangnya siapa yang kau ajak berciuman!" Sky yakin Lizie cuma membual, sampai tiba-tiba Sky sadar , "Teman perempuan?" kaget Sky dengan spekulasinya sendiri sementara gadis itu tetap santai dan cuma mengedikkan alis untuk menanggapi keterkejutan Sky yang ternyata terlihat lucu menurut Lizie.
"Ya, kami hanya saling bertukar pengalaman, aku masih normal dan tetap lebih menyukai bibir pria."
"Oh, Tuhan... jagan bilang kau juga sudah mencium pria di asrama wanita?"
"Hanya beberapa kali," enteng Lizie sambil menjentikkan jari.
"Jadi kau mencium tukang pemotong rumput!" Karena seingat Sky hanya tukang potong rumput satu-satunya laki-laki yang berkeliaran di asrama.
"Guru di gimnasium masih jauh lebih menarik dari pada tukang pemotong rumput."
"Oh, b******k! sungguh aku akan menuntutnya jika benar dia telah menciummu!" Sky langsung berjengit marah dan berdiri dari duduknya.
"Tidak ada paksaan jadi tidak ada kejahatan," kelit gadis itu masih tidak merasa berdosa sama sekali setelah bercerita pernah mencium gurunya, sedangkan kepala Sky sudah seperti mendidih.
"Kau masih anak-anak dan dia pria dewasa, jadi itu tetap pelecehan!" tegas Sky.
"Tapi dia tampan dan punya badan yang bagus kami semua menyukainya."
"Oh, tentu karena setiap hari dia cuma berada di gimnasium dan menggoda anak-anak remaja! Sungguh aku akan melaporkan pengecut b******k itu ke dewan sekolah!"
"Kenapa kau selalu marah-marah sejak bangun tidur?" Lizie malah mengoreksi sambil benar-benar memperhatikan tubuh Sky dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria itu masih memakai celana pendeknya semalam tapi kali ini sudah berpakaian meski kemejanya belum sempurna dikancingkan, Sky benar-benar memiliki wujud seorang pria.
"Ingat kau masih remaja jangan sembarangan mencium lelaki!"
"Itu hanya ciuman, jangan terlalu ribut! "
"Oh, Tuhan....apa memangnya yang terjadi dengan remaja jaman sekarang...."Sky kembali memijit pelipisnya karena frustasi sendiri.
"Aku baru tahu kau rajin berdoa seperti suster di asrama," cemooh Lizie karena Sky yang sudah beberapa kali menyebut nama Tuhan sepanjang pagi.
"Sudah kemarikan kopimu biar aku minum!"
Sky menyerah jika harus berdebat dan memilih mengabaikan ejekan Lizie.
"Aku bisa sakit perut jika minum sebanyak ini."Sky memperhatikan lagi barisan cangkir yang disodorkan gadis itu. "Habiskan sendiri yang lainnya!"
"Aku tidak mau!" tolak Lizie.
Sky diam untuk memelototi Lizie agar takut tapi Lizie malah mengambil permen karet dari kantongnya dan mulai mengunyah dengan acuh. Bagaimana Lizie bisa takut jika yang memelototinya pria tampan.
Kemarin Lizie juga terkejut ketika melihat Sky menjemputnya ke asrama. Lizie terkejut karena Sky Adington ternyata masih sangat muda dan tampan, sama sekali bukan pria botak dengan perut buncit seperti yang Lizie bayangkan selama ini.
"Sky, apa kau punya teman wanita?" tanya Lizie tiba-tiba malah melompat ke tema yang lain lagi. "Maksudku teman kencan."
"Untuk apa aku harus membahasnya denganmu!" tolak Sky, karena istilah teman kencan juga terdengar terlalu remaja untuk pria seperti dirinya yang cuma membawa wanita untuk diajak tidur.
"Aku hanya ingin memastikan jika kau bukan gay."
Sky jadi kembali berjengit dan mulai penasaran seperti apa sebenarnya gadis itu telah dibesarkan hingga bisa tumbuh jadi seperti ini.
"Seperti apa ibumu, Lizie?"
"Ibuku sudah meninggal empat tahun lalu dalam kecelakaan."
Lizie langsung menghindari tatapan Sky yang juga jadi ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Tapi menurut Sky seharusnya ia tahu latar belakang Lizie, sebab sekarang dirinya yang bertanggung jawab mengurus gadis itu.
"Jadi sebelumya kau tinggal bersama ibumu?" lanjut Sky hati-hati karena khawatir bakal menyinggung perasaan Lizie tapi ternyata Lizie malah santai saja menanggapinya.
"Ya," jawab gadis itu setelah meniup permen karet yang baru meletus di bibirnya kemudian dia kunyah lagi.
"Bagaimana dengan ayahmu?" maksud Sky hubungan Lizie dan Gerald karena kalau mengingat pertanyaan Lizie kemarin sepertinya gadis itu tidak terlalu dekat dengan Gerald.
"Dia pernah mengunjungiku beberapa kali tapi ibuku selalu marah padanya, baru setelah ibu tidak ada dia berani mengambilku dan memasukkanku ke asrama terkutuk itu."
Sky juga ingat Lizie sempat bercerita jika dirinya pernah hidup terlantar sebelum Gerald mengambilnya. Sky jadi semakin penasaran bagaimana Gerald bisa bertemu ibu Lizie.
"Apa pekerjaan ibumu?"
"Dia bekerja di sebuah klub malam di Vegas."
"Apa ayahmu tidak pernah membantu?" heran Sky dengan pekerjaan macam itu.
"Aku tidak tahu kenapa ibuku selalu menolak bantuannya padahal kami sudah sangat miskin dan tinggal di flat murah bersama dua orang teman ibuku yang lain. Mereka sering pulang membawa teman-temannya hingga membuat rumah sempit kami bising."
Walau cerita itu sangat mengenaskan bagi Sky, tapi tetap saja Lizie terlihat santai membahasnya sambil kembali meniup bubble gum di mulutnya.
"Kau mau?" Lizie mengambil dua bungkus permen karet lagi dari kantongnya dan langsung melemparkan pada Sky yang juga reflek menangkapnya walapun dia tidak ingin. Lizie tahu dari tadi Sky memperhatikanya tepatnya memperhatikan bibirnya yang mengunyah permen karet.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" Sky kembali bertanya untuk mengalihkan perhatianya yang kembali kacau.
"Aku pernah dikelurkan beberapa kali dan dianggap nakal. Mungkin karena itu kemudian aku dimasukkan ke sekolah asrama religius agar setan-setan yang ikut menempel di otakku hilang." Lizie tertawa, tapi Sky masih tidak bergeming menatap gadis itu.
"Jangan merasa kasihan padaku karena aku tidak suka dikasihani!" tegur Lizie menebak isi pikiran Sky. "Bukankah kau bilang sekarang aku sudah kaya?" Lizie pura-pura mengingatkan agar Sky tidak terlalu tegang menanggapinya.
Akhirnya Sky mulai paham kenapa Lizie sampai jadi gadis seperti ini.
"Aku akan tetap mencarikan guru terbaik untukmu, karena kau tetap harus mendapatkan pendidikan yang baik."
"Terserah asal jangan guru perempuan!"
Sky mengabaikannya dan berpamitan pergi untuk mandi. Percaya atau tidak karena diam-diam Lizie suka melihat kaki Sky yang berbulu sampai ke pangkal pahanya. Lizie yakin Tuhan sedang berlebihan ketika menciptakan mahluk tampan itu.
Selama ini Lizie memang tumbuh di lingkungan yang tidak sehat untuk anak-anak. Dia sudah sering melihat teman-teman ibunya membawa teman pria pulang ke rumah dan melihat mereka b******u di depan matanya. Dia juga sudah sering mendengar perkataan vulgar sehari-hari dan ikut menyimak obrolan dewasa mereka mengenai tipe pria yang menyenangkan di atas ranjang. Tidak heran jika Lizie sudah mulai berani berciuman dengan teman laki-laki yang lebih dewasa sejak baru menginjak sekolah menengah. Lizie hanya takut berhubungan intim karena dia pernah melihat teman ibunya melahirkan bayi prematur yang sudah tidak bernafas di kamar mereka tanpa pertolongan medis. Waktu itu Lizie benar-benar melihat ketika kepala bayi tersebut keluar seperti merobek organ kewanitaannya. Lizie langsung ingin mengutuk perbuatan pria yang telah membuat wanita sampai jadi seperti itu. Sampai sekarang nampaknya Lizie juga masih menyimpan trauma tersebut untuk dirinya sendiri.