10

1089 Words
Aisha menatapku. Di matanya tertulis tanda tanya besar padaku. Aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Wah aku harus menyiapkan sejuta alasan nih... "Aisha bagaimana tentang kostan itu? Apa sudah dapat?" Aisha menarik nafas. Apa yang akan ia katakan ya? Aku memang salah telah mengusir temannya itu. Tapi ini juga demi kebaikannya bukan? Akhirnya aku diajak untuk menemui ibu Saodah yang merupakan pemilik kostan disini. Ada banyak peraturan disini. Tidak boleh pulang melebihi jam 12 malam. Bagi gadis atau bujangan jangan mengajak lawan jenis ke dalam kostan selama 1x24 jam dan jadilah aku tinggal di kostan ini. Hampir setiap hari aku selalu bersama Aisha. Aku berhasil menyewa kost yang dekat dengan kostannya. Aku semakin mengenal gadis itu. Sederhana. Itu yang pantas aku sebutkan untuknya. Entahlah aku semakin tidak bisa jauh darinya. Dia juga sangat penyayang. Dia akan sewot kalau aku tidak sarapan atau mengabaikan jam makanku. Terlebih saat aku sakit. Dia akan memberiku perhatian lebih. Kadang aku pikir lebih baik aku sakit karena dengan begitu dia akan rela membatalkan semua jadwal bersama temannya. Satu yang aku heran darinya. Dia tidak akan pernah mau masuk ke kamarku hanya mengambil barang apalagi berduaan denganku di kamar. Mungkin takut? Yang benar saja. Aku tidak pernah macam-macam padanya. Bahkan hanya sekedar memegang tangan pun aku belum pernah. Jika dia ke rumahku (ehm.. tepatnya aku yang bawa dia) maka dia hanya akan duduk didepan kost. Kecuali jika aku sakit. Itu juga di ruang tamu. Mana mau dia masuk kamarku. Tapi tak apalah, aku rela tidur di kursi saat sakit. Yang penting dia mau menemaniku. Rio sahabatku yang kini menjadi kepala UGD tempat Aisha bekerja membuatku sedikit curiga padanya. Rio sering terlihat makan siang bersama Aisha. Katanya sih masalah pekerjaan. Entah apa itu. Seperti malam ini aku sedang bersama Rio. "Bin.. Aku rasa kau harus segera memberi kejelasan pada Aisha. Kasihan gadis itu. Aku rasa dia menyukaimu." Aku terdiam. Meski aku lihat Rio menyukai Aisha, tapi dia selalu mendukungku. "Kau tidak mengerti keadaanku." Aku mengaduk malas minumanku. "Ini sulit. Kau tahu? Aku tidak berani melawan ibuku." Rio terdiam cukup lama. Aku sedikit was-was. Rio pernah berkata padaku seandainya aku tidak serius pada Aisha maka ia tidak akan diam, dia pasti mengambil Aisha dariku. "Jangan membuat dia menangis karenamu. Itu saja." Rio bangkit dan pergi meninggalkanku. Aku tidak bisa menjawab. Sebenarnya aku sudah dijodohkan dengan Kania. Hanya saja aku tidak pernah menganggapnya serius karena aku menganggap Kania seperti adikku. Ibu begitu antusias ingin menjodohkanku. Aku tidak tega menolaknya. Aku tidak mau melihat raut sedih dari mata lembutnya. Kania juga sering main ke apartemenku. Bahkan sering menghabiskan waktu disana siang hari. Aku paling mampir sore hari saat Kania mau pulang. Aku mengantar dia pulang sementara aku pulang ke kostanku. Dia tidak tahu aku menyewa kost di dekat Aisha. Kalau dia tahu, bisa berabe. Dia pasti melapor pada ibuku. Baru pukul 09.00 p.m Aku memutuskan pulang ke kostan. Apa Aisha sudah pulang ya? Tapi kostannya masih gelap. Mungkin dia belum pulang. Aku memutuskan untuk menunggu dari dalam mobilku. Aku selalu memastikan dia pulang sebelum aku tidur. Tepatnya sih, aku ingin melihat dia sebelum aku tidur. Setengah jam berlalu. Belum juga ada tanda-tanda kedatangannya. Kantuk mulai menyerangku. Menunggu seperti ini memang melelahkan daripada memeriksa puluhan bahkan ratusan pasien di rumah sakit . Aku berusaha menahan kantukku. Deru mobil membangunkanku. Tunggu! Kenapa ada mobil yang berhenti di depan kostan Aisha? Mataku hampir keluar! Apa ini? Seorang lelaki membukakan pintu mobil dan Aisha keluar dari mobil itu! Mereka berjalan beriringan. Hatiku memanas tak rela. Aku harus memastikan siapa lelaki itu! Tidak, aku harus sembunyi dulu. Aku mengawasi mereka dari jauh. Aku harus sedikit mendekat. Ya Tuhan...! Itu kan Rio!! Secepat itu dia mengambil Aisha? Tidak akan kubiarkan! Aku keluar dari mobilku dan berjalan mengendap-endap. Aku bersembunyi di balik pepohonan. Mereka terlihat berbincang sebentar. Aisha ayo masuk...!! Teriakku dalam hati, tapi mana mungkin Aisha mendengar. Lihatlah dia tersenyum pada Rio. Keterlaluan! Aisha nampaknya akan masuk. Apa dia mendengar teriakanku? Aku menggelengkan kepala. Aku bisa gila kalau begini. Rio memanggil Aisha. Dia berbalik entah apa yang dikatakannya, pelan sekali. Dan yang terjadi membuat jantungku seperti mau copot! Rio sepertinya akan mencium kening Aisha! Aku harus keluar sekarang, ini tidak boleh dibiarkan! "Hei... Aisha kamu baru pulang?" Aku langsung berdiri di antara mereka. Rio terkejut melihatku. Apalagi Aisha. Haha biarlah yang penting aku menggagalkan ciuman mereka! Rio memalingkan wajahnya. Aku yakin dia kesal. "Dokter sendiri baru pulang?" Aisha balik bertanya padaku. Mungkin dia sedikit gugup atas peristiwa yang hampir saja terjadi padanya. "Ah ya. Dan ini sudah sangat malam. Hoamm.. ngantuk sekali. Aisha sebaiknya kamu masuk. Tidak baik anak gadis lama-lama di luar! Bahaya tahu?" Aku pura-pura menguap. Kulihat Rio menatapku malas. Hahaha rasakan! Siapa suruh berani menyentuh gadis gugupku ini! "Ya, dr Rio sekali lagi terimakasih sudah mengantar saya. Saya masuk dulu. Dr Bintang saya masuk dulu." Aisha pamit. Lalu pintu kostannya tertutup. Baiklah sepertinya ada urusan yang belum selesai disini. Aku siap. "Kita harus bicara." Lugas, tegas dan tidak bertele-tele aku mengajak Rio bicara 4 mata. Rio tidak menjawab. Dia hanya mengikuti langkahku di belakang. Ku ajak dia ke kostanku. "Kau ini kenapa, Ri?" Aku tidak mau berbasa-basi. "Aku? Kenapa? Kau tidak rela? Sudahlah kalau kau tidak sanggup memegangnya maka lepaskan saja dia!" "Rio ini rumit." "Yang rumit itu kau. Bintang! Kau mencintainya tapi kau tidak bisa memilikinya! Lepaskan dia sebelum terlalu jauh kau menyakitinya!" "Aku tidak akan menyakitinya, aku pastikan itu!" "Kita lihat saja, jika dia menangis karenamu dan datang padaku maka aku tidak segan untuk mengambilnya!" Rio pergi. Aku terdiam lama. Ya Tuhan... bagaimana ini? Aku tidak mau dia mengambil gadisku! Aku kalut. Sampai pagi tiba aku tetap terjaga. Aku yakin kelopak mataku pasti menghitam. Kulihat ponselku bergetar. My mom. "Hallo, bu?" "Bintang, semalam kau menginap dimana?" Degh! Pasti Kania. Anak itu! "Maksud ibu apa?" "Kania semalam nelfon ibu. Katanya dia ke apartemenmu. Tapi tidak ada siapa-siapa." "Oh, aku tidur di rumah Rio, bu!" Aku berbohong. "Lain kali. Jangan seperti itu. Kania pasti khawatir sayang. Kasihan kan dia?" "Iya bu. Lain kali tidak akan." "Ingat, dia itu calon istrimu. Kemanapun kau pergi, kau harus memberitahunya." "Iya, bu. Aku mengerti." "Sudah dulu ya, ibu merindukanmu." "Ya, bu. Aku juga." Klik. Ibu menutup sambungan telefon. Aku merebahkan badanku. Aku memang belum resmi bertunangan. Alasanku karena aku masih sibuk di Bandung ini. Aku baru mutasi beberapa bulan, jadi belum bisa pulang ke Tasik. Sebenarnya itu tidak bisa menjadi alasan. Aku hanya menghindar. Entah sampai kapan. Aku memandang foto Aisha di profil What's up miliknya. Menyejukkan. Hhh.. Aku tak bisa melepasmu! Sekalipun pada Rio sahabatku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD