BAB 4 - Sudah Waktunya …

1384 Words
Jelita duduk di pekarangan belakang rumahnya, duduk di atas selimut yang terbentang di bawah rerimbunan pohon. Pagi itu, langit tampak cerah. Namun, udara tetap terasa sejuk. Angin dari arah pantai berhembus tenang. Ia memilih untuk bekerja di luar ruangan, setelah dua hari terakhir merasa seperti terkurung dalam rumah besar itu. Tanpa adanya sepatah kata dari Dikara. Hal itu, jelas saja membuatnya sesak. Jelita sadar bahwa Dikara tengah marah padanya. Hanya karena kata-kata yang sempat ia lontarkan. Bahkan, naskah yang sedang ia garap pun berubah menjadi melow dan sarat emosi. Seperti suasana hati yang ia rasakan akhir-akhir ini. Namun, bagusnya, ia bisa memanfaatkan kesedihan dan rasa sepi itu untuk menyiapkan tulisan serta alur yang penuh emosional. Saat ini, ia masih terus mengetik. Bahkan hampir semalaman ia tidak bisa tidur dan hanya gelisah di atas ranjang. Alhasil, ia mengambil kesempatan itu untuk menulis. Sebab baginya, menulis adalah satu-satunya cara untuk mengurangi overthinking dan meredam emosinya. Hal ini ia jadikan sebagai wadah untuk menumpahkan segalanya. Namun, tak lama kemudian, ia mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Ia menoleh dan mengerutkan kening. Biasanya Dikara tidak pulang pada waktu-waktu seperti ini. Ditambah dirinya, sedang tidak memakai pakaian yang pantas untuk menerima tamu. Ia hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Selama menikah, ia terbiasa rapi di hadapan sang suami. Dan pakaian yang ia kenakan hari ini adalah pakaian lamanya. Mungkin karena ingin bernostalgia, jadi ia mencari di lemari dan memakai pakaian yang membuatnya nyaman. Entah mengapa, ia ingin merasakan kehidupan lamanya lagi. Dimana, ia bisa memakai pakaian sesuai suasana hatinya. Jelita kembali fokus pada laptopnya. Ia yakin, kedatangan Dikara bukan untuk menemuinya. Apalagi jam kerja seperti ini, mungkin pria itu hanya ingin mengambil berkas di ruangannya. Meskipun rumah ini milik Jelita, tapi Dikara memiliki satu ruangan khusus yang digunakan untuk bekerja. Bahkan, Jelita belum pernah sama sekali memasuki ruangan tersebut. Sebab, Dikara pernah melarangnya masuk. Pria itu juga mengatakan bahwa ada kamera cctv yang mengawasi tempat itu. Sensor kamera itu akan mengirimkan sinyal jika ada seseorang yang berusaha memasuki ruangan tersebut. Sampai detik ini, Jelita tidak memusingkan hal tersebut. Karena pekerjaannya tidak berkaitan langsung dengan industri teknologi milik suaminya. Meskipun, ia cukup mengenal banyak orang dari dunia teknologi. Jelita merupakan lulusan ilmu komputer dan seandainya mau, ia bisa saja bekerja di kantor pusat milik Dikara. Dulu, tim yang ia pimpin pernah diakuisisi oleh Darmawangsa Teknologi, tepatnya sebelum pernikahan kontrak mereka berlangsung. Dan dari sanalah, Dikara mengenalnya. Jelita pernah bertugas untuk menguji dan mendeteksi bug pada sistem permainan yang perusahaan itu kembangkan. Memang, Jelita cukup pandai dalam hal teknologi. Tapi, ia sadar bahwa dirinya kurang bijak dalam mengatur emosi. Ia sudah menyerahkan seluruh hatinya pada Dikara dan itu adalah kesalahan terbesarnya. Tak lama kemudian, ekor matanya menangkap bayangan yang bergerak. Ia pun mendapati bahwa tidak hanya Dikara yang datang, tapi juga Billy. Sahabat sekaligus pengacara suaminya. Kemudian, tatapannya beralih pada map besar yang dibawa oleh Billy. Seketika itu pula, ia sudah menebak isinya. “Sudah waktunya,” gumam Jelita, dalam hati. Kini, ia mulai bermonolog. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada tim kerjanya? Semua wanita disana, melihatnya sebagai sosok yang hidup sempurna. Memiliki suami yang luar biasa dan rumah mewah. Mereka semua percaya bahwa Jelita sangat beruntung bisa mendapatkan cinta dari pria seperti Dikara Darmawangsa. Namun, tidak ada satupun yang tahu bahwa Jelita tidak pernah memiliki hati Dikara sepenuhnya. Melihat Dikara semakin mendekat, Jelita akhirnya menyadari satu hal yang menyakitkan. Mungkin Dikara mampu memiliki hatinya. Tapi, tidak dengannya. Sekeras apapun, Jelita tidak akan mampu memiliki hati pria itu. Semuanya hanya bagian dari sandiwara publik. Demi menjaga citra Dikara sebagai seorang pria yang sudah berkeluarga. Jelita menutup laptopnya. Ia tidak ingin ada orang yang melihat karyanya. Kegiatan menulis ini tidak ada kaitannya dengan perusahaan teknologi suaminya. Bahkan, Dikara sendiri tidak tahu bahwa ia memiliki pekerjaan sampingan. Jelita sengaja menyimpannya sendiri. Demi mempersiapkan diri, ketika ia harus melanjutkan hidup tanpa pria itu lagi. Ia belum pernah menceritakan pada siapapun, karena takut semuanya gagal. Tapi ternyata tidak. Dalam satu setengah tahun, pekerjaan sampingannya itu justru berkembang pesat. Jika boleh jujur, ia sengaja menyembunyikan itu dari suaminya karena tahu bahwa suatu hari—perpisahan itu akan tiba. Dan dirinya, harus berdiri di kakinya sendiri. Ia menulis novel romantis dengan nama pena Juwita Lestari. Dua bukunya telah terbit dan terjual best seller. Sisanya tersedia secara online. Ia memang belum menjadi milyader. Tapi, hasil dari menulis cukup untuk bisa membuatnya tetap tinggal di rumah dan menulis karya berikutnya. Tanpa harus bekerja di kantor atau laboratorium komputer. Setelah perceraian mereka selesai, ia akan melepas identitas Jelita Larasati dan kembali hidup sebagai Juwita Lestari. Ia akan pergi dari kota ini—ke tempat dimana orang tidak tahu bahwa dirinya adalah mantan istri Dikara Darmawangsa. Ia akan menetap di kota lain, tempat terpencil dimana ia bisa menjalani hidupnya dengan damai dan tenang. Ia tidak perlu lagi mendengar nama Dikara atau menyaksikan pria itu menggandeng wanita lain. Sesuatu yang sudah pasti sangat menyakitkan. Ia juga harus berhenti dari perusahaan Dikara, karena dalam kontrak pernikahan sudah tertulis jelas. Ketika perceraian terjadi, ia harus mundur agar tidak menimbulkan gosip dan ketidaknyamanan. Meskipun demikian, Dikara sudah berjanji akan memberinya surat referensi kerja yang baik, sebagai bentuk penghargaan atas kerja kerasnya. Itu akan memudahkan Jelita mendapatkan pekerjaan baru, jika ia memilih kembali ke dunia teknologi nantinya. Mungkin Dikara bisa melihatnya di konferensi-konferensi profesional tanpa beban, tapi tidak demikian dengan Jelita. Ia ragu, bahwa dirinya mampu melihat Dikara menggandeng wanita lain. Jika Dikara berani mencium wanita lain di hadapannya, maka ia tidak bisa menahan diri. Meski pada kenyataannya, bibir pria itu tidak pernah menjadi miliknya, bahkan sedetik pun. Namun, hal itu tidak bisa menghentikan angan-angan, seperti apa rasanya dicium oleh Dikara. Apakah ciuman itu akan lembut dan sensual? Kasar dan menuntut? Atau justru … pelan tapi menggoda? Ah! ia ingin sekali merasakan itu. Meski tahu bahwa itu adalah hal yang mustahil. Ciuman itu pasti hanya akan diberikan kepada wanita yang pria itu cintai. Wanita yang akan menjadi dambaan hatinya. Hatinya teriris ketika melihat Dikara kini hanya berjarak beberapa langkah saja. Pria itu masih tampil menawan, rapi seperti biasanya. Ia mengenakan setelan jas berwarna navy dengan kemeja putih dan dasi bergaris emas. Tangannya berada di saku celana, melangkah santai bersama Billy menuju ke arahnya. Senyum kecil terlukis di bibirnya dan Billy pun ikut tersenyum, seolah ini bukanlah momen yang menyakitkan. Jelita sempat berharap, meski hanya sesaat—bahwa tebakannya salah. Mungkin, mereka datang bukan karena surat perceraian. Bagaimana bisa Dikara tersenyum dan bercanda dengan Billy hanya untuk menyerahkan surat cerai? Bukankah itu sesuatu yang serius, bukan sebuah lelucon yang harus di tertawakan? Ia pun beranjak untuk menyambut kedua pria disana. Kemudian, ia menangkap sorot tatap Dikara yang menelusuri pakaiannya dengan kerutan di keningnya. Dan Jelita tahu, Dikara tidak menyukai pakaian yang ia kenakan. “Mas, tidak biasanya kau pulang jam segini?” tanya Jelita, tenang. “Itu kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya balik, Dikara. Nadanya terdengar tidak senang. “Bukankah aku sudah membelikanmu pakaian yang lebih pantas?” lanjutnya. Jelita menatap bajunya sekilas lalu tersenyum samar. “Aku akan berkebun. Menurutku, ini pakaian yang cocok untuk kegiatan itu,” kilahnya. “Iya sih. Memang cocok untuk pekerjaan yang akan mengotori pakaian,” sahut Dikara. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan menatapnya dalam-dalam. “Dan, sudah saatnya kita bercerai, Jelita.” Kalimat itu meluncur tanpa ragu. “Jika kau bersedia menandatangani dokumennya hari ini. Aku akan sangat senang. Dan proses hukum akan berlangsung selama enam minggu.” Pada akhirnya, Jelita tidak terkejut. Ia tahu bahwa satu pertanyaan bodoh kemarin, telah membawanya pada titik ini. Mengapa ia tidak bisa menahan diri saja? Kenapa harus menyuarakan keinginannya untuk memiliki anak dari pria yang dicintai? Betapa bodohnya! Ia membeku sambil bertanya-tanya apakah permintaan maaf akan mengubah keputusan pria itu? Namun, jauh dari lubuk hatinya, ia yakin keputusan Dikara tidak bisa diganggu gugat. Matanya beralih pada Billy yang kini membuka map dan mengeluarkan berkas di dalamnya. Isinya tidak hanya selembar kertas, melainkan berkas tebal, kemungkinan termasuk perjanjian rahasia agar dirinya tidak membocorkan isi kontrak pernikahan mereka. “Ini surat perceraian, sesuai dengan kontrak kita,” ucap Dikara. “Aku juga telah mengatur perjalanan liburan untukmu ke luar negeri. Selama tiga tahun pernikahan, kau belum pernah berlibur, ‘kan? Aku pikir ini waktu yang tepat. Perjalanan itu semua sudah dibayar dan menjadi bagian dari perjanjian perceraian kita.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD