BAB 5 - Cinta dan Keluarga

1283 Words
Jelita menaikkan salah satu alisnya ketika mendengar ucapan itu. Apa kata pria itu? Dirinya tidak pernah berlibur? Padahal, ia seringkali menemani sang suami menghadiri pameran dan konferensi yang berhubungan dengan rekayasa perangkat lunak, peluncuran sistem, atau acara investasi untuk startup game. Hal semacam itu telah mereka sambangi atau sekadar mendapatkan hak kekayaan intelektual, terlebih untuk perusahaan kecil yang membutuhkan dukungan. Dalam setahun, mereka bisa pergi empat atau lima kali. Selalu menginap di hotel bintang lima selama dua atau tiga hari, makan malam bersama, dan bahkan menghabiskan waktu untuk bercinta. Jelita selalu mengira itu sebagai momen liburannya. Liburan manis bersama sang suami. Namun, ternyata tidak demikian dengan Dikara. Itu sama sekali tidak berarti apapun baginya. Dan sekarang ia baru mengerti. Jelita tersentak dalam lamunan ketika mendengar ponsel Dikara berdering. Ia memandang pria itu yang tengah merogoh ponsel dari saku jas. “Aku harus menerima telepon,” ujar Dikara seraya berbalik. Lalu pria itu menunjuk ke tumpukan dokumen yang ada di tangan Billy. “Tinggal tanda tangani saja,” perintah Dikara singkat sebelum akhirnya menjauh menerima panggilan tersebut. Jelita hanya mampu memandang kepergian suaminya. Pria itu bahkan menjauh tanpa peduli bahwa d**a istrinya kini patah dan terasa nyeri. Ia jadi ragu, apakah Dikara pernah sekali saja jatuh cinta terhadapnya? Tidak ada jalan untuk membujuknya agar membatalkan perceraian. Jelita tahu benar itu. Ia melihat sikap Dikara yang begitu acuh, seolah keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Jelita mengalihkan pandangannya dari punggung sang suami ke arah dokumen di tangan Billy. Ia mengabaikan pena dan dokumen yang diulurkan oleh Billy. Ia janji tidak akan menandatangani itu sebelum membaca isi dokumennya. Jelita meraih dokumen tersebut, membolak-balikkan seluruh berkas mulai dari surat perceraian sampai agenda liburan yang dijanjikan sang suami. Ia melihat paspor yang selama ini disimpan oleh Dikara dalam brankas kantor, guna keperluan mendadak ke luar negeri. Sepanjang hidupnya, baru kali ini ia memiliki paspor. Dikara telah mengurusnya, karena mereka seringkali dinas keluar negeri bersama tiba-tiba. Selain itu, titik pandangnya tertuju pada tiket pesawat kelas satu dengan beberapa kali transit sebelum sampai di tujuan. Namun, sepanjang perjalanan itu—tiket tetap mendapatkan kelas satu. Tersedia pula akomodasi hotel bintang lima di setiap kota yang akan ia singgahi, serta fasilitas dengan sopir pribadi ke semua destinasi wisata. Rincian perjalanan yang super lengkap, termasuk tour travel yang telah dijadwalkan. Semuanya di Italia, negara yang sebenarnya sudah lama ia impikan. Sebagian besar itinerary terasa seperti dirancang untuk perjalanan bulan madu. Jelita jadi menerka, apakah sekretaris Dikara mengira perjalanan itu untuk bulan madu mereka? Bukan sebagai sebuah perpisahan menjelang perceraian? Perhatiannya kembali beralih ke dokumen perceraian. Kertas itu hanya terdiri dua lembar. Dimana, isinya ia akan mendapatkan rumah yang kini ditempati, serta uang tunai sebesar dua ratus milyar. Keduanya akan didapatkan sehari setelah sidang putusan cerai disahkan—yaitu kurang lebih enam minggu. Jelita mengernyit membaca semua itu. Mereka bahkan tidak pernah benar-benar mendiskusikan perihal ini. Dikara hanya pernah bilang bahwa dirinya akan memberikan nafkah iddah setelah bercerai. Kemudian, Jelita membuka halaman terakhir dokumen itu. Ia melihat disana sudah ada tanda tangan sang suami dan bahkan mencantumkan tanggalnya. Dikara benar-benar sudah mempersiapkan ini dengan matang. Ia bukan hanya menyusun dokumen, tapi juga memastikan bahwa semuanya cepat berakhir. Dari nada bicara Dikara serta cara menunjuk berkas tadi, jelas menyiratkan bahwa pria itu mau ia menandatangani berkas itu secepatnya. Waktu terus berlalu, Billy terlihat sabar menunggunya untuk menandatangani berkas tersebut secepatnya. Sementara, ia melihat Dikara bersikap acuh. Jelita memandang jauh ke arah sang suami yang kini tengah berbicara melalui telepon. Sepertinya panggilan itu lebih penting dibandingkan ucapan perpisahan mereka. Jelita paham suaminya itu memang sibuk. Tapi, setidaknya seseorang bisa meluangkan waktu sebentar untuk mendiskusikan surat tersebut sebelum benar-benar menandatanganinya. Matanya beralih ke arah Billi yang tiba-tiba berdehem sambil mengulurkan pena sekali lagi. “Tolong tandatangani disini, Nona Jelita,” titahnya dengan bahasa formal. Tidak seperti antara dirinya dan Dikara. Dimana sang suami hanya akan memanggilnya Jelita dengan nada yang lembut. Begitupula dengan dirinya yang memanggil ‘mas’ sebagai panggilan sayang. “Apa kalian sungguh mengharapkan tanda tanganku? Bahkan aku belum membacanya secara penuh. Aku tidak sebodoh itu, Billy,” ujarnya tegas. “Aku akan menandatangani surat ini setelah membacanya pelan-pelan, memastikan bahwa semuanya sudah benar.” Billy kini memandangnya dengan ekspresi terkejut. “Aku sudah terbiasa menandatangani kontrak. Aku pasti akan mencocokkan dengan perjanjian pranikah kami dulu, supaya memastikan bahwa isinya sesuai. Mungkin Dikara juga masih bisa menunggu satu hari lagi. Kalau dia memang tidak sesabar itu, seharusnya dia mengirim dokumen ini setelah menandatanganinya, lalu mengambilnya kembali di pagi hari,” lanjut Jelita seraya berlalu pergi. Ia mendengar suara hela napas Billy. Tapi tidak ingin menoleh lagi. Ya, ia akan melihat kembali berkas yang ditandatangani Dikara sambil mencocokkan dengan kontrak pernikahan mereka. Tapi, saat ini yang ia butuhkan hanya waktu menenangkan pikiran. Agar ia tidak menangis di hadapan siapapun. Jadi, ia memutuskan pergi. Seperti yang dilakukan Dikara sebelumnya. Ia akan melakukan seperti yang dikatakan oleh suaminya. Ia akan segera menandatangani itu. Dikara seharusnya tidak perlu khawatir. Tapi, biarlah … untuk saat ini ia hanya butuh waktu menyendiri. Di tepi pantai, tempat dirinya biasa menenangkan pikiran. Hari itu akhirnya tiba. Perceraian yang didagangkan oleh suaminya kini menjadi nyata. Dan mereka akan menjadi orang asing. Sementara dirinya, tetap terperangkap antara cinta dan benci secara bersamaan. Ia benci karena sikap Dikara yang acuh dalam menyampaikan kabar perceraian ini. Andai saja Dikara bisa meluangkan waktu sepuluh menit saja untuk duduk, mendiskusikannya, lalu menandatangani surat itu bersama? Mungkin ia tidak akan sekecewa ini. Ia menoleh ke arah rumahnya dan mendapati Dikara sudah masuk ke dalam mobil lalu menjauh dari kediamannya. Saat itu pula, bulir air mata tak mampu tertahan. Jelita tahu, semua ini akan terjadi. Dikara sudah pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali ke rumah ini lagi. Ia meninggalkan dirinya begitu saja tanpa ucapan terima kasih ataupun selamat tinggal. Dikara pergi begitu saja dan menghilang dari pandangannya. Kini, Jelita menatap kertas di tangannya lalu meremasnya perlahan. Ia menarik napas dalam-dalam berusaha menenangkan hatinya. “Kau tahu ini akan terjadi, hadapi saja, Jelita. Itu hanya dongen yang kau bangun sendiri.” Jelita duduk cukup lama di tepi pantai sebelum berjalan ke rumahnya. Rumah yang selama ini hanya ia tempati sendiri, dimana Dikara hanya datang untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Bukan rumah yang menjadi tempatnya benaung untuk bersenda gurau bersama. Tidak. Dikara punya kehidupannya sendiri di pusat kota metropolitan. Jelita menghela napas pelan sambil membereskan laptopnya untuk masuk ke dalam rumah. Tampaknya rumah itu akan menjadi miliknya sepenuhnya. Ia tertawa hambar. Ini memang akan selalu menjadi rumahnya. Dikara tidak pernah benar-benar tinggal di sini. Tempat ini dibeli pria itu memang untuknya. Jelita teringat sebelum mereka menikah. Dikara pernah bertanya, “rumah seperti apa yang kau inginkan?” Jelas sekali, ia masih ingat bagaimana dirinya menatap pria itu. “Katakan saja, aku pastikan kau akan mendapatkan rumah impian setelah kita menikah,” ujar Dikara, kala itu. Ia tidak benar-benar berpikir akan memiliki rumah. Tapi, pada akhirnya, ia mengutarakan rumah impiannya. “Aku ingin rumah di tepi pantai.” Dan disinilah, rumah yang ia tempati sekarang—di kawasan Pantai Indah Kapuk. Jelita membaca dokumen perceraian itu dengan teliti sambil duduk dan makan siang. Ia memang belum lapar, tapi ia tahu bahwa dirinya harus tetap kuat. Ia tidak ingin terjebak karena pria yang ia cintai tidak membalas cintanya lalu menyiksa dirinya dengan tidak makan. Tidak, ia harus lebih kuat dari itu. Ia sudah belajar dari kecil bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang mencintainya. Jadi, ini bukan sesuatu yang baru. Ia hanya mudah terbuai oleh angan-angan dan mimpi bahwa cinta itu nyata. Padahal, ia tahu sebenarnya tidak. Cinta memang sesuatu yang selalu dirindukan. Dan keluarga, sesuatu yang ia impikan sejak kecil sebagai seorang yatim piatu. Tapi, keduanya tidak pernah menjadi benar-benar nyata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD