Di sisi lain, di sebuah kamar yang rapi, dengan buku-buku tebal yang tersusun di rak dan lemari, seorang lelaki dengan kacamatanya sibuk di depan layar laptop. Tugas kuliah di semester akhirnya menumpuk. Laki-laki itu adalah Narendra atau Naren.
Naren begitu serius mengetik. Ia sedang menyusun tugas yang diberikan oleh dosennya siang tadi. Sementara hari sudah mulai beranjak malam, tapi dia tetap fokus ingin cepat-cepat menyelesaikan tugasnya.
Sesekali, ia membenarkan kacamatanya. Sesekali, ia menarik napas panjang ketika menemui kesulitan dalam usahanya menyelesaikan tugas. Sesekali juga, ia mengingat seseorang.
Clara. Naren berhenti mengetik. Ia malah pergi mengambil sebuah buku antologi cerpen yang tepat di halaman kosong pertama buku itu, terdapat tulisan seseorang. Ada puisi dan ada kata-kata penyemangat atau quote di sana. Setelahnya, barulah ada tulisan berupa puluhan cerpen. Salah satunya adalah cerpen yang ditulis oleh orang yang sama yang menulis puisi dan pesan penyemangat untuknya.
"Orang jahat mungkin tidak akan pernah habis. Tapi orang baik, juga tidak akan pernah habis. Buktinya, aku dan kamu masih hidup, kan? Kita hanya harus memilih, mau jadi orang seperti apa?"
(Cliff)
Tepat setelah puisi itu, ada quote tersebut. Naren tersenyum. Ia ingat hal-hal menarik tentang Cliff atau Clara. Semua hal tentang gadis itu, seperti teka-teki yang sudah jelas jawabannya. Saat ia bertanya-tanya seperti apa Clara, maka gadis itu akan mudah memberikan jawabannya. Saat ia bertanya-tanya tentang perasaannya, senyuman gadis itu, setiap perhatian kecil dan harapan, serta doa Clara, memberinya jawaban juga. Namun, ia merasa tak memiliki apa-apa. Tidak, bukan tidak memiliki apa-apa, tapi belum punya apa-apa. Naren merasa, ia belumlah cukup pantas untuk bisa membahagiakan Clara atau bahkan menyatakan perasaan yang sesungguhnya.
Ia masih memiliki kewajiban untuk mengejar pendidikan. Sebuah tanggung jawab besar yang diberikan orang tuanya masih melekat di pundak. Ia bertekad dan haruslah ia menyelesaikan apa yang semestinya ia selesaikan dengan sebaik-baiknya. Maka, tak ada alasan baginya untuk melenceng.
Tidak ada alasan baginya untuk bermain-main. Tidak sama sekali. Ia harus fokus. Menempa diri, hati, dan menata masa depan.
Tidak untuk mencintai seorang gadis tanpa bekal apa pun. Ia tak ingin jadi lelaki konyol yang memberi Clara bunga dan janji-janji. Hanya bunga dan janji-janji saja, tak akan membuat seseorang merasa kenyang atau bahagia.
Naren beranjak dan menatap ke luar jendela. Hujan gerimis. Ia ingat semua pertanyaan random yang selalu Clara kirimkan untuknya.
"Naren, kenapa namamu Narendra?"
"Naren, kenapa kamu suka hujan?"
"Naren, mamamu sehat?"
"Naren, sekarang wajahku jerawatan."
"Naren, aku di-bully."
Semua pertanyaan dan pernyataan yang tiba-tiba saja ia rindukan. Padahal, setelah tahu bahwa Clara sedang dekat dengan penulis terkenal bernama San, Naren berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga jarak. Meskipun di awal kedekatannya, ketika kasus bully tentang San dan Clara beredar, Naren dengan percaya dirinya menghibur Clara. Sebuah keputusan yang ia sesali dan tidak ia sesali. Ia menyesal, kenapa ia jadi begitu perhatian ketika Clara sudah jadi milik orang lain. Tidak ia sesali, karena mungkin itu bisa jadi sesuatu yang cukup menghibur Clara.
Cinta memang rumit. Bagi Naren, perasaan Clara itu jelas. Naren tahu Clara menyukainya. Namun, ia belum memahami perasaannya sendiri. Ia juga menyukai Clara, tapi masih ada yang terasa ganjil. Ada yang rasa-rasanya belum bisa meyakinkan dirinya. Entah apa itu. Selain ketidaksiapannya, perasaan aneh itu yang membuatnya tak bisa serta merta menyatakan perasaannya kepada Clara.
Ia takut. Ya, mungkin itu yang sebenarnya. Ia takut kalau Clara hanya akan jadi pelariannya saja. Pelarian dari kisah cintanya yang sempat kandas dengan teman lamanya setahun yang lalu.
***
Di sisi lainnya lagi, di sebuah rumah sakit, di sebuah ruangan, seseorang tengah bermain ponsel. Ia merasa sangat bosan. Lelaki itu adalah Arga. Fans fanatik Cliff atau Clara. Lelaki itu hanya bermain media sosial dan menatap pesan-pesan dari Clara dengan tatapan penuh harap. Ya, ia sudah bosan di rumah sakit dan ingin segera keluar dari ruangan yang menurutnya menyebalkan itu.
Ia ingin bertemu dengan Clara lagi, dan memastikan bahwa idolanya menjadi lebih bahagia dan sehat. Ia juga ingin menunjukkan hasil lukisannya kepada Clara. Ia berlatih keras untuk itu. Ia ingin membuat Clara terkesan dan tentunya mendengar semua ocehan atau bahkan kalimat-kalimat bijak yang menenangkan dari gadis itu.
Arga menatap langit-langit kamarnya, dan terkenang dengan tulisan-tulisan Clara yang pernah dimuat di koran. Ia ingat judul-judulnya dan kalimat-kalimat yang sulit dilupakan olehnya. Semua itu amat berkesan dan mungkin, Arga tidak tahu, sampai mana atau sampai kapan ia akan mengagumi Clara.
Ia hanya menyukai, ia hanya terinspirasi dan karena itulah, karena perasaan itu, merupakan salah satu alasannya untuk tetap bertahan dengan getirnya kehidupan. Ia memang bukan berasal dari keluarga miskin. Ayahnya cukup memiliki banyak uang, tapi ia tidak bisa bebas seperti yang kebanyakan manusia normal lainnya.
Tatapan Arga beralih kepada selang infus di tangannya. Betapa sudah tak terhitung benda itu menempel di tangannya. Sudah bosan rasanya ia dengan serba-serbi hal yang berkaitan dengan cek kesehatan, obat, dan lain-lain. Namun, karena Clara-lah, karen penulis itulah, ia tetap bertahan dan semangat menjalani hari-harinya.
Arga mulai mengalihkan pikirannya. Ia seharusnya tidur di jam tersebut. Jika tidak, perawat akan kembali dan memberinya kalimat-kalimat rayuan yang baginya lebih terdengar seperti kalimat-kalimat peringatan.
Arga menginginkan kebebasan. Ingin keliling dunia, ingin pergi ke gurun, seperti tokoh yang ada di buku Immortal Souls yang ditulis Clara. Ia ingin melakukan banyak hal yang selama ini tak bisa dilakukannya.
"Bagaimana? Sudah baikan?" tanya seseorang yang baru masuk ke ruangannya. Itu ayahnya Arga.
"Heemh."
Hanya itu jawaban Arga. Ia malas menanggapi dan segera menyelimuti diri.
"Bagus. Tadi, perawat bilang, kamu sudah disuruh tidur, tapi tidak didengar juga suruhannya itu. Sekarang, ayah kemari dan ada gunanya juga. Kamu langsung bersiap untuk tidur."
Arga tertawa di dalam selimutnya.
"Jangan diselimuti sampai kepala, nanti pengap," ujar ayahnya. Ia segera menarik selimut Arga.
Arga terpejam. Lebih tepatnya, pura-pura terpejam.
"Maaf. Tadi ayah sibuk. Banyak klien. Kamu tahu sendiri, kan."
Arga tidak menjawab.
"Kamu harus terus berobat dan mendapat pengobatan yang paling bagus. Agar kamu bisa sembuh. Ayah yakin, kamu pasti sembuh. Nanti, kalau sembuh, kamu bisa keliling dunia. Oke?"
Arga juga tak menjawab. Ayahnya bohong. Arga tahu, itu hanya kalimat-kalimat kosong. Dulu, saat ia masih tak sebesar sekarang, saat pikirannya dan pengetahuannya belum sampai, Arga juga percaya dengan apa yang selalu ayahnya katakan. Namun, tidak lagi.
Arga sudah memahami. Ia tidak akan sembuh. Ia hanya punya kesempatan hidup tak lama, tanpa tahu kapan berakhirnya kesempatan itu.
Pemuda itu memejamkan matanya erat-erat. Pipinya basah.