Intermeso

1002 Words
Pertemuan dengan San tidak menghasilkan apa-apa selain perasaan gondok. San mengakhiri percakapan mereka sore itu, meskipun tak ada titik temu yang cukup meyakinkan keduanya untuk merasa baik-baik saja. San hanya merasa seolah apa yang akan ia katakan selanjutnya dan selanjutnya lagi, itu hanya akan membuat dirinya atau Clara semakin terluka dan kehilangan kendali. Di saat itulah, ia memutuskan untuk berhenti. "Jangan lakukan apa pun dulu. Jangan katakan apa pun kepada siapa pun tentang apa yang kamu ketahui soal aku atau Kristo Wijaya. Saat ini. Itu yang terpenting. Aku tidak sedang berbicara soal diri sendiri. Aku berbicara tentang keselamatanmu juga." Clara yang mendengar itu, sebenarnya merasa agaknya kalimat San berlebihan, tapi gadis itu menurut. Apalagi, sore hari itu, cuaca mendadak jadi buruk. Ia tak ingin membuang waktu. "Baik." "Aku akan jemput besok pagi seperti biasa. Kita bicarakan setelah masing-masing emosi reda. Aku tidak bisa bicara saat sedang seperti ini." Setidaknya, San masih menjunjung sikap itu. Sikap yang selalu Clara kagumi dan membuatnya jatuh hati berkali-kali. "Baik." Begitulah pertemuan sore itu berakhir. Saat pulang, ibunya Clara sudah ada di rumah. Memasak untuk Clara dan membereskan apa-apa yang terlihat berantakan di rumahnya. Lalu untuk kali ke sekian, Clara menyuruh ibunya berhenti beres-beres. "Bu, jangan beres-beres terus. Aku sudah bilang, kan." "Iya. Ibu hanya beres-beres sedikit." Kalimat itu, Clara tak berkeinginan untuk mendebatnya. Alih-alih pergi ke meja makan, gadis itu malah hendak ke kamar. "Kenapa? Ada masalah?" tanya ibunya. Langkah Clara tertahan. "Sini, makan dulu bersama ibu. Cerita-cerita," ucap ibunya. Clara yang melihat ibunya, jadi tidak tega. Gadis itu kembali dan duduk di meja makan. Di hadapannya ada beberapa makanan. "Seharusnya Ibu tidak perlu memasak sebanyak ini." "Sudah, jangan banyak protes. Ini bukan hanya untuk kamu saja, ini juga ibu masak untuk Karin." Ibunya menuangkan nasi dan sup untuk Clara. Gadis itu sebenarnya tak terlalu lapar, apalagi ia baru saja makan dengan San. Meskipun tadi, ia lupa dengan rasa makanannya. Saking seriusnya berdebat. "Bu, apa yang membuat Ibu jatuh cinta kepada Ayah, dulu?" Tiba-tiba saja, pertanyaan itu terlontar dari mulut Clara. Gadis itu penasaran. "Apa, ya. Kenapa tiba-tiba bertanya?" Ibunya duduk di depan Clara. Membenarkan letak piring dan menatap gadisnya. "Tidak tahu. Ingin tahu saja. Kenapa?" "Banyak. Ibu tidak bisa jelaskan. Satu yang pasti, dia membuat ibu merasa nyaman dan aman di dekatnya. Sebelum menikah, dia tidak berani macam-macam dengan ibu." Clara mengangguk-angguk. Untuk tiga alasan itu, nyaman, aman, dan tidak berani macam-macam, San juga memilikinya. "Apa, Ayah pernah berbohong kepada ibu dan ibu memergokinya?" Ibunya menggeleng. "Tidak pernah. Dia rasanya, tidak pernah berbohong. Atau ibu yang tidak tahu, hehe. Tapi ibu yakin, ayahmu orang yang jujur." Itu yang tidak ada di dalam diri San. Kejujuran yang sejak awal tidak diberitahukannya kepada Clara. "Begitu, ya." "Iya. Kalian bertengkar, ya?" "Hah? Siapa?" "Siapa lagi. Kamu dengan San. Iya, kan? Sepertinya, kalian bertengkar." "Tidak, Bu. Bukan bertengkar. Kami hanya berdebat." Perdebatan yang menyebalkan. "Tidak apa-apa. Hal-hal semacam itu memang wajar terjadi dalam sebuah hubungan. Setelah menikah, juga pasti ada hal-hal seperti itu. "Menikah?" Ibunya mengangguk. "Ya, menikah. Memangnya, apa lagi? Bukannya tujuan kalian itu, pasti menikah?" Clara mengangguk, tapi hati dan pikirannya menggeleng ragu. Apakah bisa ia menikah dengan seseorang yang sejak awal tidak memiliki keberanian untuk jujur? Ah, rumit. "Makan saja dulu," kata ibunya. Clara mengangguk. "Iya, Bu." Gadis itu menyendok nasi dengan sangat malas, sambil memikirkan detail ekspresi wajah San saat berdebat tadi. Menyebalkan. Kenapa ia jadi berubah sedemikian jauh saat berdebat? Clara perlahan mulai tahu sifat San. Ya, ternyata memang sesempurnanya sosok yang Clara idamkan, tetap saja, akan ada celanya. Clara terlalu naif. Dan itulah yang membuatnya kecewa sedalam samudra. Sejak awal, harapannya sudah setinggi langit. *** San kembali ke rumahnya. Bukan, bukan rumah yang terpencil yang berisi Romi dan ruang bawah tanah. Melainkan rumahnya sendiri. Kepala San terasa berat, tapi ia harus menyelesaikan beberapa hal. Ada yang berulah lagi selain Tora. Ada Pak Edo yang katanya mengambil data-data penting. San semakin pusing saja, ketika melihat profil Pak Edo. Anaknya masih kecil dan menderita penyakit parah. Istrinya sudah meninggal. Segera, ia menelepon Romi. "Data penting apa yang diambil oleh Pak Edo?" "Penting sekali. Ini menyangkut kepercayaan publik terhadap Kristo Wijaya. Benar-benar, kasus demi kasus akhir-akhir ini, membuatku sakit kepala." "Bukan hanya dirimu yang sakit kepala," ucap San. "Ya sudah, kalau begitu, kita serahkan saja ini kepada pihak yang lebih mudah menyingkirkannya?" "Tunggu. Dia punya anak yang sakit." "Berhenti bersikap lembek. Akhir-akhir ini, kau jadi lemah dan aneh. Jangan hanya karena cinta, kah mengenyampingkan semua hal penting. Itu tidak bisa diterima, San. Itu kebodohan." San yang mendengar nasihat dari Romi hanya bisa tertawa. Kebodohan? Apa itu? Ia bahkan jadi sedikit sulit membedakan yang mana bersikap bodoh, yang mana bersikap mencintai. "Sudah, kesampingkan dulu kekasihmu itu. Dia tidak akan ke mana-mana. Kudengar, dia gadis baik. Jadi, tak akan sulit untuk mengikatnya agar tetap berada di sampingmu. Sudah, selesaikan saja dulu apa yang harusnya diselesaikan." "Iya." "Bagaimana? Kamu akan selesaikan? Atau kita serahkan kepada pihak lain? Cepatlah beri jawabanmu." "Pak Edo tidak akan mati, bukan?" "Asalkan tidak ada yang muncul ke permukaan, ia masih bisa diselamatkan. Mungkin, penjara sepuluh tahun atau seumur hidup." "Bagaimana dengan anaknya?" "Tenang saja. Kita urus semua itu. Pengobatan dan biaya hidupnya, tentu kita tanggung penuh." San memijit kepalanya sendiri. "Aku harus menemui Pak Edo terlebih dahulu." "Tidak." "Aku ingin mengatakan beberapa hal." "Tidak perlu. Jangan ada lagi kesalahan seperti yang kita lakukan kepada Tora. Ah, aku baru sadar. Aku memang pantas bekerja untukmu, San. Pikirkan saja kalau aku tidak kembali setelah dipecat terakhir kali olehmu. Kamu akan melakukan banyak kesalahan, bukan?" San mengangguk, membenarkan ucapan Romi. "Benar, bukan?" "Diamlah. Jangan banyak omong. Aku tidak akan menemui Pak Edo. Tapi, bereskan dia dengan rapi. Jangan ada kesalahan." "Tentu saja aku akan melakukannya. Jangan pikirkan apa pun. Aku akan bereskan Pak Edo. Anaknya, tenang saja. Dia akan mendapatkan kehidupan yang layak. Itu. Kamu istirahat. Sudah berapa hari ini, tidak tidur." San menatap jam dinding. Seharusnya, ia memang tidur. Seharusnya, ia memang istirahat. Namun, entah kenapa matanya sulit sekali untuk terpejam. Sangat sulit. Pikirannya terlalu penuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD