Hari Pertama

1176 Words
Hampir pukul tujuh pagi. Clara sudah mandi, beres-beres rumah, dan bersiap untuk berdandan. Lagu-lagu nge-beat yang diputar dari ponselnya, membuat pagi Clara semakin penuh dengan semangat. Ya. Tentu saja, ia harus semangat. Karena ia akan bekerja. Clara sebenarnya masih cemas dan ragu, tapi semua kecemasan dan keraguannya itu, ia singkirkan jauh-jauh dengan membayangkan sosok San. Clara masih saja tak bisa move on dengan semua perlakuan San terhadapnya. Bahkan, bunga dari San saja, ia jaga dan simpan dengan sangat hati-hati. "Ah, seandainya di dunia ini, semua bunga tidak pernah layu," gumamnya sambil menatap bunga dari San. Bukan bunga mawar, memang. Bunga aster kecil yang tersusun. Sebuket bunga aster warna-warni. Imut, simpel,cantik. Dan justru karena itulah, Clara jadi semakin terpesona. San berbeda. Ia tidak memberinya mawar. Tak lama setelah itu, Clara sudah siap. Ia menatap dirinya di depan cermin dan tersenyum mantap. Pagi yang sempurna. Sebuah telepon masuk. Clara langsung gugup ketika melihat siapa yang menelepon. San. Ah, lagi-lagi. "Halo," ucap Clara, hati-hati. Entah, tapi ia berusaha sekali agar tidak terlihat terlalu excited. Ya, agar suaranya terdengar biasa-biasa saja. "Siap berangkat ke kantor?" "Siap!" sahut Clara bersemangat. Ah, ia tidak bisa menyembunyikan atusiasme-nya. "Kalau begitu, sudah sarapan?' "Hah? Sarapan?" "Ya, sarapan. Salah satu hal paling penting di pagi hari, sebelum kita melakukan berbagai macam aktivitas adalah, makan. Sarapan. Tanpa itu, aktivitasmu nanti tidak akan maksimal." "Emmh, tapi aku memang terbiasa tidak sarapan. Maksudku, nanti aku bisa cari makanan kalau lapar." "Salah," sambar San dengan tegas. Clara agak terkejut karena itu. "Uhm, apanya yang salah?" "Ya, salah. Karena sarapan itu adalah harus. Bukan karena menunggu lapar. Kamu mungkin belum menyadari, ya. Kalau sekarang, kegiatanmu sudah berbeda, Clif. Kamu sudah tidak di rumah dan corat-coret buku lagi untuk mencari ide tulisan. Hari ini, kamu akan ke kantor untuk bekerja selama mungkin tujuh atau delapan jam." Clara pun terdiam, seolah tertampar. Ya, kegiatannya akan berbeda sekarang. "Ah, oke. Aku akan berangkat sekarang, dan mampir ke tempat makan untuk sarapan. Masih banyak waktu, karena tadi aku bersiap-siap sejak pagi sekali," ucap Clara. "Sarapan bersama saja, denganku. Mau aku jemput, sekalian?" "Ha?" Jemput? Sekalian? Oke, tenang, Clara .... "Memangnya, kamu mau sekalian ke mana?" "Ya, aku ada jadwal mengisi seminar. Agak siangan, memang. Tapi aku memang sudah siap-siap dan memang sudah jadi kebiasaanku datang lebih awal. Jadi, ya, ayo." Clara sedang berusaha menormalkan setang jantungnya. Harapan-harapan konyol dan lebay mulai mondar-mandir di kepalanya. "Kalau memang begitu, ya. Boleh." "Oke. Aku segera ke rumahmu, ya. Sekarang." "Oke, baik." Setelah telepon ditutup, Clara terduduk. Matanya mengarah tepat ke cermin. Gadis itu melihat dirinya sendiri. Apa yang terjadi barusan? Dijemput? Tunggu, itu terdengar seperti mereka sedang pacaran. Ah, tapi tidak. Bisa jadi, ya, memang San selalu baik hati kepada semua orang. Clara memantapkan diri untuk tidak terlalu berharap. Gadis itu sudah pernah berharap banyak kepada seseorang, siapa lagi kalau bukan Naren. Dan ya, selama bertahun-tahun pun, Naren tetap menganggapnya sebagai teman saja. Tidak lebih. Clara tersenyum menatap dirinya. Ia sudah sangat siap! *** "Di sini enak. Ini tempat makan favoritku," ujar San, sesaat setelah ia membukakan pintu mobil untuk Clara. Gadis itu turun dengan tergesa. Ia pikir, San akan menjemputnya dengan motor tadi. Rupanya dengan mobil. Selama duduk bersebelahan dengan San yang menyetir tadi, ia sangat gugup dan bahkan ketika diajak bicara pun, gadis itu kadang tidak nyambung. Saking aneh perasaannya. Meski begitu, San selalu punya kata atau cara untuk membuat Clara merasa lebih nyaman. Setelah selesai sarapan, San pun mengantarkan Clara ke kantor Kristo Wijaya. "Sudah sampai. Kamu tidak perlu turun. Aku bisa sendiri," ucap Clara, berusaha menahan agar San tidak bersikap berlebihan terhadapnya. "Oh, oke. Selamat bekerja, ya. Semangat!" San mengacungkan jempol. Clara tersenyum. "Siap!" Clara berjalan dengan yakin menuju kantor Kristo Wijaya. Ada satpam yang menyambutnya dengan anggukan pelan dan seperti sudah diberitahu, ia menuntun Clara masuk ke ruangannya sendiri. Gadis itu agak terkejut. Ia berpikir, ia akan bekerja di dalam sebuah kubikel yang bersebelahan dengan yang lainnya. Tunggu, bukankah sebuah ruangan tertutup untuknya sendiri, adalah seuatu yang terlalu istimewa? "Maaf, Pak. Ini, saya disuruh menunggu di sini?" tanya Clara, mencoba memastikan. "Buka, Nona Clif. Ini memang ruangan untuk Nona." Clara tertawa. "Jangan panggil nona, Pak." "Ah, Bu. Iya, Bu. Ini ruangan khusus untuk Ibu." "Ibu?" Clara melongo." "Ah, maaf. Nyonya." Clara menyerah untuk panggilan dari satpam tersebut. "Ah, oke-oke. Terima kasih ya, Pak." "Iya, Nyonya. Selamat bekerja." Nyonya? Ya ampun. Clara pun menatap ke sekeliling ruangan yang katanya merupakan ruangan miliknya sendiri. Tempat ia akan menghabiskan waktu bekerjanya. Clara tak bisa berhenti tersenyum. Ia merasa bangga. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, ia akan bisa duduk di sebuah ruangan kantor di mana pekerjaannya adalah sesuatu yang sangat ia sukai. Menulis. Sebentar, sebenarnya, Clara tidak tahu pertama-tama, apa yang harus ia lakukan. Haha. Ia merasa konyol. Ia lupa dengan kontrak yang kemarin ia tandatangani. Gadis itu buru-buru membuka laptop dan terkejut melihat apa yang ada di layarnya. Di sana, sudah tertera slide demi slide sebagai petunjuk apa saja yang harus ia kerjakan di hari itu. "Wah, ini keren sekali," gumam Clara. Ia tak bisa berhenti merasa kagum. Gadis itu pun mendapatkan tugas pertamanya. Ia harus menuliskan beberapa artikel mengenai kunjungan Kristo Wijaya ke beberapa daerah di Indonesia. Clara menatap tayangan beberapa video Kristo Wijaya dan ya, gadis itu tambah kagum saja. Politisi tersebut begitu ramah dan mengayomi masyarakat. Karena itulah, Clara tak tergesa dalam menulis artikel-artikel tersebut. Hingga tak terasa, waktu terus berjalan dan jam makan siang pun tiba. Seseorang mengetuk pintu ruangannya. Sebuah kepala menyembul dari sana. "Halo, Clif. Salam kenal." Untuk beberapa detik, Clara terdiam. "Ah, masuk. Silakan masuk." Clara menampilkan senyum paling ramah. "Kenalkan, aku Tora. Kamu, Clif, kan? Dan kudengar, nama aslimu Clara?" Clara mengangguk. "Clara dan Tora. Bagus, ya?" tanyanya lagi. Clara hanya tersenyum, salting. "Kalau begitu, ayo makan siang," ajak Tora. "Makan siang?" Clara merasa aneh. Mungkin karena ia belum pernah berada di situasi semacam itu sebelumnya. "Eh, tenang. Tidak hanya kita berdua. Ada Tari juga, dan yang lainnya." Clara mengangguk. "Oke kalau begitu, ayo. Maaf, ya. Aku memang kadang agak kesulitan beradaptasi dengan orang baru. Jadi, maaf, ya." "Ssst!" Tora mengacungkan jarinya dan nyaris saja menyentuh bibir Clara. "Eh, kenapa?" Tentu saja, Clara kaget. "Jangan mengatakan kalimat seperti itu ketika bertemu dengan orang baru. Percaya diri saja, di mataku, kamu adalah penulis keren, Clif." Clara tersenyum. "Terima kasih, ya. Aku jadi sedikit merasa malu." "Tidak perlu sungkan. Kamu hanya harus bersikap biasa, layaknya kita sudah berteman lama." Mendengar itu, mendengar nada bicara dan kalimat-kalimat dari Tora, Clara merasa sangat bersyukur. Rupanya, di dunia ini, ada orang-orang yang memang satu frekuensi dengan dirinya. Keluar dari ruangan bersama Tora, keduanya disambut dua orang pegawai yang lainnya. Mereka pun berkenalan dengan Clara. Mereka semua ramah dan membuat Clara merasa nyaman. Di sela-sela makan siang, Clara akhirnya mencetuskan pertanyaan yang selama ini selalu saja belum juga menemukan jawaban. "Teman-teman, aku masih penasaran, kenapa seorang Kristo Wijaya, yang memang benar-benar sempurna, baik, dan ya, tanpa cela, harus repot-repot membuat staf khusus yang isinya adalah orang-orang yang bekerja untuk menjaga citranya?" Tora hampir tersedak mendengarnya. Semua orang saling menatap, tidak tahu harus menjawab apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD