Not the End

1153 Words
Di restoran dekat rumah sakit. "Clara masih bermimpi," ucap wanita paruh baya itu di depan Naren. Sudah berapa hari, dua orang tersebut tidak tidur dengan benar. Naren mengangguk pelan. "Ya, dia masih bermimpi." Mereka akhirnya keluar untuk mencari makan. Sementara, Karin yang bertugas menjaga Clara di rumah sakit. "Naren, Ibu tidak tahu harus bagaimana." "Tentang apa?" "Rasanya, ucapan terima kasih beribu-ribu kali pun, tidak akan pernah bisa membuat semua yang sudah kamu lakukan untuk Clara terbayar. Tidak sedikit pun. Sama sekali." Naren menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. Berusaha menyingkirkan sesak. "Tidak perlu merasa seperti itu. Jangan pernah merasa seperti itu. Justru, aku yang harus berterima kasih. Karena Ibu sudah melahirkan Clara, sudah merawat dan mendidiknya dengan baik." Ibu Clara tersennyum. Senyum yang agak miris. "Tidak. Kamu salah, Naren. Ibu tidak pernah jadi ibu yang baik untuknya. Sejak dulu, Ibu selalu menimpakan banyak tuntutan kepadanya. Lalu, setelah ayahnya meninggal, Ibu memintanya memilih. Ibu tahu dia suka menulis. Tapi ibu memintanya untuk berhenti saja. Dia tidak mau. Dan karena itulah, Karin membencinya juga. Ibu salah. Sudah salah. Dan kini, setelah semua yang terjadi, Ibu menyadari. Bodohnya, ibu baru sadar. Bahwa tidak ada yang paling diharapkan oleh orangtua, terhadap anaknya, selain anaknya sehat, baik-baik dan tenang. Tidak ada. Ibu ingin Clara sehat dan baik-baik saja." Ibu Clara mengusap air mata yang mulai turun ke pipi. Mendengar itu, Naren tidak menanggapi apa-apa. Karena ia tahu yang sebenarnya. Bahwa memang ibunya Clara cukup keras terhadap gadis yang dicintainya itu. Ibunya Clara memang salah. Tapi, itu sudah. Selanjutnya, Naren berharap, setelah Clara sadar dan sehat lagi, ibunya itu bisa lebih mencintai Clara. "Ibu, makan dulu." Ibu Clara mengangguk. Sejak tadi, sejak mereka datang ke restoran itu, belum ada satu pun makanan yang disentuh oleh keduanya. Tidak berselera. "Bagaimana mungkin, kita bisa makan semua makanan ini. Bagaimana mungkin, Ibu bisa makan makanan bagus ini, sedangkan anak Ibu sedang terbaring di rumah sakit." Ibunya Clara tak kuasa mengangkat sendoknya. Naren juga rasanya kesulitan menelan setiap makanan yang masuk ke dalam mulutnya itu. "Kita harus makan. Sesulit apa pun kita mengunyah, kita harus paksakan. Bagaimana kalau Clara bangun, dan kita yang mati. Apa Ibu pikir, kita harus membiarkan Clara sendirian menghadapi kejamnya orang itu?" Ibu Clara terisak. Mereka benar-benar kesulitan. *** Setelah mengantar ibu Clara kembali ke rumah sakit, Naren berencana menemui El. Ia menerima pesan dari El, bahwa perempuan itu mendapatkan ancaman. Tepat ketika Naren keluar dari rumah sakit dan hendak menemui El di tempat yang sudah ditentukan, Naren bertemu dengan San. Lagi. Naren mengerti. Ya, San sepertinya menunggu ia lengah dan meninggalkan Clara. Naren bimbang antara kembali masuk ke dalam atau .... "Aku tidak akan seperti ini, kalau kamu menerima bantuanku." Naren sebenarnya sudah muak. Tidak, ia tidak mau percaya kepada laki-laki yang ada di depannya itu. "Percaya padaku. Sejak dulu, aku tidak pernah berniat mengkhianati Clara. Tidak sekalipun. Keadaan yang memaksaku untuk seperti itu." Tidak. Naren sangat tidak ingin mendengar alasan apa pun. Penjelasan apa pun. Sungguh. Ia hanya ingin keadilan untuk kekasihnya. "Apa yang bisa membuatku percaya padamu? Apa kamu bisa buktikan kalau sekarang, kamu bukan lagi kaki tangan dari Kristo?" San terdiam. Bingung. "Aku mungkin masih terlihat seperti bawahannya. Aku sudah mengajukan diri untuk keluar dari lingkaran yang dipimpin olehnya. Sebentar lagi ... setelah disetujui, aku akan bebas dan aku ... ya, aku tidak akan pernah bekerja lagi untuknya. Aku tidak bohong." Naren menahan tawa. Untuk nada gugup yang ditunjukkan oleh San. "Ya, aku tahu. Jauh di dalam hati kecil kamu itu, San. Kamu orang baik. Sejak dulu, Clara selalu mengagumimu. Sejak dulu, gadis itu selalu saja mengatakan hal-hal baik tentangmu. Kepadaku, kepada semua teman-temannya. Kamu sangat baik di matanya. Tapi itu dulu. Jauh sebelum hari 0ini, San. Menurutmu, jika kamu jadi aku, kamu akan menerima bantuan dari seseorang yang sudah menyakiti hati orang yang sangat kamu cintai? Bagaimana kalau suatu hari Clara bangun dan tahu tentang itu. Bagaimana?" San terlihat berpikir. Benar, ia memang sudah sangat bersalah. Pengkhianatannya, mungkin tak akan pernah bisa dimaafkan. Semua sikap Naren, sebenarnya adalah hal yang wajar. Penolakannya adalah sesuatu yang normal. "Begini. Aku mohon, tetap terima bantuanku. Dan jika suatu hari Clara bangun lagi, jangan katakan bahwa aku terlibat dalam hal apa pun tentang kalian. Jangan pernah." Karena San mengatakan kalimat itu, Naren jadi mulai bertanya-tanya. Apakah benar, laki-laki itu memang tulus? "Baik. Memangnya, apa yang bisa kamu lakukan, San? Meskipun orangtuamu itu punya kuasa, tapi tetap tak akan bisa menandingi kekuasaan Si Kristo itu. Aku tahu itu." "Mungkin tidak bisa, tapi aku kenal banyak orang. Aku juga punya rekan di kepolisian. Aku bisa meminta bantuan kepada mereka. Dan lagi, aku harap, untuk berjaga-jaga, jangan sampai teman-temanmu itu terlibat. Aku tidak sedang ikut campur atau sok melarang. Tapi, memang sebaiknya begitu. Terserahmu." Naren berpikir sejenak. Ia memikirkan soal El dan semua teman-teman Clara yang lain. Tidak ada salahnya memang, jika mereka ingin membantu Clara, tapi Naren juga tidak ingin jika masalah yang sama terjadi lagi. Cukup Clara saja, bahkan seharusnya ia juga tidak mengalami hal yang buruk. "Oke. Aku akan mencoba berkomunikasi dengan mereka semua. Agar menahan diri untuk tidak melakukan apa-apa yang memang membuat mereka rugi nantinya." "Terima kasih. Karena sudah menerima bantuanku. Ijinkan aku pergi melihat Clara." Naren menggeleng. "Tidak. Pulang saja." "Gila. Aku harus bagaimana lagi, saudara Naren? Aku harus berlutut? Aku sudah memohon seperti orang yang tidak punya harga diri sekarang!" "Memang. Sudah seharusnya begitu. Sudah seharusnya kamu mulai membayar semua kesalahan dan pengkhianatan yang sudah kamu lakukan. Salah satunya dengan ini." Naren mengatakan kalimatnya dengan kepercayaan diri yang penuh. Ia tak mau melonggarkan sedikit pun pengawasannya terhadap Clara. Siapa yang tahu, kalau ternyata San punya maksud lain. Jujur saja, Naren belum sungguh-sungguh percaya dengan kata-kata San. "Ijinkan aku. Sekali saja." "Tidak." "Kalau begitu, silakan," ucap San sambil bergeser, mempersilakan Naren untuk pergi. "Memangnya, aku ini bodoh?" tanya Naren disusul tawanya yang seolah mengejek San. "Tidak." "Aku tidak akan pergi dari rumah sakit ini, selama kamu ada di sini juga." "Menyebalkan." Naren bimbang. Ia harus menemui El, karena katanya gadis itu mendapat ancaman. "Sekali saja. Aku ingin melihat Clara. Sebentar." Setelah kalimat itu, akhirnya Naren mengijinkan San melihat Clara. Namun, tentu saja Naren ikut mengawasi. Ia tidak bisa jika membiarkan San melihat Clara tanpa pengawasan darinya. *** Naren bertemu dengan El. El yang terlihat agak cemas, tidak seperti terakhir saat mereka bertemu, El tampak bersemangat dan optimis tentang membantu Naren. "Sudah, hentikan. Biar aku yang maju. Kalian jangan. Aku sudah banyak menerima berbagai hal buruk, dan aku akan sangat merasa bersalah kalau kamu dan anak BBA yang lain, juga menjadi korban nantinya. Aku tahu, kamu tulus. Aku tahu, semua orang yang menyayangi dan mencintai Clara ingin menyelamatkannya dan membantunya. Akan tetapi, satu-satunya cara terbaik untuk itu adalah tenang. Sulit, jujur. Tapi tanpa itu, kita semua akan hancur." El terdiam, nyaris terisak. "Seandainya dulu, aku melarangnya untuk bekerja di bawah Kristo Wijaya, mungkin tidak akan seperti ini akhirnya." "Tidak, El. Ini bukan akhir. Aku jamin." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD