Lega sekali. Itulah perasaan yang tengah dirasakan oleh Clara. Ia sudah memutuskan untuk menandatangani kontrak dari Pak Kristo. Ya, mulai besok, seorang Clara sudah resmi bekerja di kantor Kristo Wijaya sebagai salah satu staf khusus bagian literasi dan media yang memantau serta menjaga citra Kristo Wijaya. Entah, tapi Clara masih agak heran. Untuk apa, seorang Kristo sampai merekrut orang-orang seperti Clara, demi citra publik. Sepemahaman gadis itu, Kristo Wijaya sudah sangat baik.
Ah, kenapa ia harus repot-repot memikirkan hal yang bukan urusannya? Gadis itu segera mengalihkan pikirannya kepada hal lain.
Es krim. Itu adalah salah satu yang tengah menari di kepala Clara. Ia memang selalu memberi self-reward, alias hadiah kepada diri sendiri, ketika ia berhasil menyelesaikan sesuatu, atau melewati suatu keadaan yang pelik.
Di tengah terik siang itu, Clara dengan riang membeli es krim dan menikmatinya di salah satu sudut taman kota. Gadis itu menikmatinya sendirian. Ya, Clara tak pernah merasa malu atau tidak nyaman ketika berjalan-jalan sendirian, sekalipun itu di taman kota, atau kafe, restoran, tempat umum manapun. Clara selalu berani.
Clara membuka ponselnya. Ia sedang mengetik pesan ketika sebuah pesan dari Naren muncul. Clara bahkan lupa-lupa ingat kemarin persisnya ia bilang apa.
[Naren. Kalau kamu baca pesan ini dan sibuk, abaikan saja. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu. Aku sedang bingung. Aku bingung antara memilih menjadi penulis biasa, tapi dengan penghasilan yang tanpa kepastian, atau menjadi penulis yang bekerja di bawah seseorang. Seperti menjadi staf Kristo Wijaya. Kamu juga pasti tahu dia, kan? Nah, itu. Aku bingung. Sangat bingung.]
Ah, iya. Clara ingat. Ia menyampaikan kebingungannya kemarin. Rupanya pesannya itu baru dibalas oleh Naren.
[Turuti saja kata hatimu.]
Ah, pesan yang mainstream.
Clara langsung membalas pesan Naren. Meskipun sebenarnya ia agak malas. Karena sepertinya, Naren sedang enggan menanggapi.
[Iya. Aku sudah tanda tangan. Terima kasih sarannya.]
Setelah itu, Clara tak menunggu balasan Naren. Ia malah menonton sebuah tayangan di salah satu aplikasi. Semacam podcast yang bintang tamunya penulis terkenal. Gadis itu asik menikmati me-time-nya.
Setelah agak lama, ia baru ingat tujuan sebenarnya membuka ponsel tadi. Memberitahu San dan mengucapkan terima kasih. Clara menatap kontak San agak lama, dan bingung memilih antara menelepon atau hanya mengirim pesan.
Clara merasa konyol dan senyum-senyum sendiri. Untuk sebuah perkara remeh semacam itu, kebingungan. Padahal, ya, tinggal lakukan saja. Mau menelepon atau mengirim pesan, seharusnya itu bukan pilihan yang sulit.
Clara, entah kenapa terpikirkan satu ide. Ia memgambil gambar dirinya sendiri yang sedang menyendok es krim, kemudian dikirimkannya gambar tersebut kepada San. Dengan caption singkat, "Aku sudah menandatangani kontrak. Sekarang, aku jadi pekerja tetap. Benar katamu. Masa percobaan kontraknya tiga bulan. Itu berarti, aku benar-benar bisa mencobanya dahulu."
Sesaat setelah Clara mengirimkan itu, ia menyesal. Setelah dipikir-pikir, mengirimkan gambar dirinya dan es krim, serta caption, itu terkesan kekanak-kanakan. Terkesan manja dan aih, sangat memalukan!
Clara hendak menarik pesan tersebut, tapi terlambat. San sudah membacanya. Centang dua berwarna biru sudah terpampang nyata.
"Gawat," gumam Clara pelan.
Sedang mengetik ....
Clara buru-buru meletakkan ponselnya. Ia tak ingin melihat balasan dari San. Kemudian ia segera menjejali mulutnya dengan beberapa sendok es krim. Berharap, sensasi dingin dari salah satu makanan favoritnya itu, bisa menyejukkan kepalanya wajahnya yang memanas karena menahan malu.
Beberapa detik kemudian, gadis itu kembali membuka ponsel. Ia penasaran dengan balasan dari San.
[Wah, bagus kalau begitu. Itu di mana? Aku ke sana, ya.]
Deg. Hati Clara dag-dig-dug. Kenapa San selalu saja membuatnya terkejut. Terakhir kali, ia datang ke rumahnya tanpa aba-aba. Dan apakah hal itu akan terjadi lagi?
[Aku di taman kota. Kamu sibuk, kan. Jangan repot-repot. Aku akan segera pulang.]
Clara berusaha mencari alasan agar San tidak benar-benar datang. Ya, ia sebenarnya senang dengan cara San membalas pesannya. Cepat dan selalu membuat Clara merasa dipentingkan. Akan tetapi, masalahnya, gadis itu selalu kebingungan menghadapi laki-laki macam San. Ia terlalu gugup menghadapinya.
Clara membuka pesan dari San lagi.
[Es krim-mu masih banyak. Aku baru selesai pemotretan salah satu produk. Aku mampir ke sana, ya. Mungkin hanya sepuluh menit akan sampai. Tunggu.]
Deg.
San ini, benar-benar ....
Clara tak habis pikir. Kenapa San harus seperti itu. Ia jadi serba salah sekarang. Gadis itu melihat dirinya sendiri di kamer ponselnya. Clara Amira, meyakinkan dirinya sendiri. Ya, ia cukup cantik dan cukup pantas untuk dijadikan penting oleh seseorang. Seperti San. Penulis terkenal dan cerdas.
Cukup cantik dan pantas. Apakah benar? Clara mempertanyakan itu. Rasanya terlalu cepat San jadi dekat dan tanpa keraguan selalu membantu Clara ketika dalam keadaan sulit.
Gadis itu semakin bertanya-tanya. Kepalanya jadi mulai berisik. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali berusaha tetap santai. Ya, bisa saja, San memang bersikap demikian kepada semua orang. Ya, benar. Akhirnya Clara menemukan kesimpulan yang cukup menenangkannya.
Oke, tenang, Clara ....
Tak lama, mungkin benar memang dalam waktu sepuluh menit atau entah, tapi San benar-benar datang.
Dan ia datang dengan bunga. Membekulah Clara saat itu juga.
"Untukmu," katanya santai. Clara terdiam, tak percaya. Tangannya sedikit gemetar menerima bunga itu. San yang kemudian menyadari betapa gugupnya gadis itu, segera mencari cara untuk mengalihkan suasana.
"Aku habis pemotretan."
"Ah, iya, pemotretan apa?" tanya Clara, sementara hatinya masih berdegup kencang. Ia masih memegang bunga dari San, tapi bahkan ucapan terima kasih pun belum sempat ia katakan.
"Sebuah produk."
"Wah, bagus."
Ada yang terasa ganjil dan aneh. Pada akhirnya, San pun seperti tertular keadaan aneh tersebut. Bingung harus berkata apa.
Clara berusaha tetap tenang, walaupun sulit. Ya, sulit baginya untuk menormalkan wajahnya yang masih memanas dan mungkin sedang memerah.
"Aku tidak pernah menyangka, bahwa penulis sepertiku, lama-lama, mungkin bisa jadi artis juga, hehe."
Kembali, San membuka percakapan yang ia harap dapat mengusir suasana aneh yang sedang menyelimuti mereka.
"Ya, itu normal saja. Banyak penulis yang pada akhirnya, mereka juga jadi selebriti."
"Aku sebenarnya, tidak mau jadi penulis yang seperti itu. Aku takut, lama-lama, aku melupakan pekerjaan dan cita-citaku yang asli sebagai seorang penulis. Bagaimana kalau nantinya, aku malah merasa nyaman jadi selebriti."
"Tidak juga, San. Aku, entah kenapa, tapi meyakini sesuatu. Kalau kamu tidak akan jadi orang yang seperti itu. Kamu tidak akan jadi orang yang melupakan cita-cita awalmu. Aku mungkin terkesan sok tahu, tapi aku kan, bisa dibilang adalah salah satu fans-mu juga. Dari dulu, melihat dari tulisan-tulisanmu, kamu tidak akan jadi penulis yang seperti itu."
Berhasil. Percakapan itu membuat suasana di antara keduanya membaik. Pikiran Clara pun sudah tak terfokus kepada perasaan malunya, efek mendapat bunga dari San.
"Ah, iya. Mungkin aku terlalu jauh berpikir. Biasanya tidak seperti ini. Aku jarang mencemaskan apa-apa yang belum terjadi."
Clara tersenyum. Sungguh, sifat yang dikatakan oleh San, berbeda jauh dengan dirinya. Ia justru sering mencemaskan apa-apa yang belum gerjadi, bahkan mencemaskan hal-hal yang sangat sepele.
"Iya. Ehm, terima kasih, ya. Bunganya."
Clara memberanikan diri mengatakan itu. Setelahnya, ia malu sekali.
"Iya, sama-sama."
Dalam hati, gadis itu bersorak. Ia baru pertama kali menerima bunga dari seorang laki-laki. Dan ia tak menyangka kalau laki-laki itu adalah San. Penulis terkenal yang sangat dikaguminya.
Sungguh tak pernah terpikirkan sebelumnya.
San kemudian kembali bercerita banyak soal pemotretannya. Clara juga bercerita banyak soal kontraknya itu. Ia sangat antusias sekali. Sesekali, San melemparkan candaan yang membuat Clara tertawa.
Hari yang indah.