Sebuah Keputusan

1201 Words
Pagi hari yang masih dalam suasana membingungkan. Clara bangun dengan malas. Ya, seringnya, ketika ia menghadapi hari yang membuatnya bingung, gadis itu selalu malas bangun untuk beranjak ke kamar mandi. Clara hanya akan duduk dan menatap dinding kamarnya yang polos. Sepi, tapi memang itu sudah jadi suasana yang sudah biasa. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya sejenak. Pikiran tentang tawaran Pak Kristo Wijaya. Namun, tak berhasil. Ia sudah menghabiskan waktu yang sangat sia-sia dengan hanya memandangi dinding kamarnya sendiri. Tanpa hasil. Kepalanya malah mulai menganalisis. Kristo Wijaya. Mendiang ayahnya, ibunya, adalah orang-orang yang menyukai politisi itu. Ah, rasanya hampir semua orang di negara tempat ia tinggal, dan mungkin entah sampai atau tidak ke luar negeri, Kristo Wijaya memang dikenal sebagai sosok yang sangat berpengaruh dan benar-benar bersih. Tak seperti politisi lain, jejak digital seorang Kristo Wijaya itu, sempurna. Semua citra yang ditampilkan oleh media mana pun, semuanya benar-benar tanpa cela. Aneh, tapi nyata. Sebenarnya, Clara sedikit berpikir yang tidak-tidak. Akan tetapi, ketika ia memikirkan kembali saat-saat pertemuannya dengan Kristo Wijaya, pikiran buruk yang sedikit itu, langsung musnah seketika. Karena memang, Kristo Wijaya, sepenglihatannya benar-benar ramah dan baik. Clara memilih berbaring lagi. Ia merasa lebih baik waktu berhenti saja. Ia takut salah memilih. Bagaimana kalau ia pilih untuk menerima tawaran dari Pak Kristo, ia akan terkekang dan kreativitasnya mati. Akan tetapi, bagaimana kalau ia tidak memilih dan ternyata hidupnya akan sengsara. Kalau mengingat soal penghasilan, pasti bekerja di bawah Kristo Wijaya akan terjamin. Ia mungkin bisa mengirim lebih banyak uang kepada ibunya dan membantu adiknya, Karin, dalam hal biaya kuliah dan lain-lainnya. Duh. Ia bingung. Detik, menit, berlalu. Clara hampir saja kembali tertidur, karena ia terlalu lama berbaring. Beruntung, sebuah telepon menarik nyawanya kembali agar tak berkelana ke alam mimpi lagi. San. Nama yang tertera di layar ponselnya. "Halo, San? Kenapa?" tanya Clara, dengan nada yang sedikit terkejut. Entah, tapi telepon dari San, sangat aneh untuk dijadikan kebiasaan. Ya, bagi Clara. Mungkin, karena ia memang tidak terbiasa. "Kenapa? Memangnya harus ada apa dulu, baru aku boleh meneleponmu?" tanya San. "Haha, maaf. Aku tidak bermaksud begitu." Clara tertawa agak canggung. Apa ini modus lagi? Clara bertanya-tanya di dalam hati. Ah, masa bodoh, pikirnya. Kenapa ia harus terus cemas untuk pekara modus atau tulus. Perkataan Mami Ren tentang cinta yang semu memang ada benarnya, tapi hidup dengan waspada yang berlebihan juga tidak menyenangkan. "Kamu sedang apa?" tanya San lagi, yang mana kalimat itu membuat Clara tersipu. "Sedang malas bangun," balas Clara. Sedetik kemudian, ia menyesal jawabannya sendiri. Aneh, pikirnya. Sedang malas bangun, sangat aneh. Itu terkesan manja dan menye-menye. Aduh. Apakah San akan ilfeel? "Kenapa?" Clara mencoba memikirkan jawaban yang elegan. "Ada yang sedang aku pikirkan." Elegan. "Ah, apa itu? Kenapa bisa sesuatu yang sedang kamu pikirkan itu, membuatmu malas untuk bangun. Apakah memang sesuatu yang amat penting?" Kenapa San jadi kepo? "Ah, maaf-maaf. Kenapa aku bertanya begini, ya. Kalau kamu merasa tidak mau menjawabnya, tak apa. Aku tidak akan memaksa. Aku hanya berpikir, mungkin aku bisa sedikit membantu." Clara berpikir sejenak. Apa sebaiknya ia memang meminta pendapat kepada San? Gadis itu mencoba mengecek kontak Naren, tapi rupanya belum ada tanda-tanda kehidupan dari laki-laki tersebut. "Tidak apa-apa. Aku memang sedang butuh teman cerita. Boleh?" "Boleh sekali. Aku akan sangat senang kalau bisa membantumu." "Baik. Jadi begini. Ini haruslah antara kita saja, ya. Maksudku, jangan bilang ini kepada siapa pun. Aku bicara soal ini denganmu." "Siap. Tenang saja, kamu bisa percaya padaku, Clif." Clara pun menjelaskan panjang lebar perihal tawaran Kristo Wijaya terhadapnya. Bahkan dengan sangat detail, dimulai dari telepon pertama dari ajudan Kristo Wijaya, meeting langsung dengan Kristo Wijaya sendiri, sampai ke telepon terakhir kemarin itu. "Bagaimana menurutmu?" tanya Clara. Ia berharap San dapat menjawab kegalauan yang tengah ia rasakan. "Emmm, sebenanarnya, kenapa kamu harus bimbang?" "Hah? Kenapa?" "Iya, kenapa kamu harus bimbang. Aku pikir, ini hal yang simpel, Clif. Ini sederhana. Kenapa kamu tidak mencobanya saja? Itu kan, sebuah tawaran yang mungkin tidak semua orang mendapatkannya, betul?" Clara mengangguk. Betul. "Nah, kenapa harus begitu bimbang? Kamu hanya harus melihat kontraknya, memeriksa poin demi poin dalam kontrak tersebut dan memikirkannya. Kalau sekiranya lebih banyak poin yang menguntungkanmu, kamu bisa terima. Kalau tidak, untuk apa? Satu lagi. Kalau tim Kristo benar-benar serius ingin menjadikanmu salah satu stafnya, mungkin, kamu bisa saja mengajukan syarat." "Hah, syarat? Seperti apa?" "Seperti ini. Bersikaplah agak mahal. Misal, kalau kalian ingin bekerja sama denganku, aku ingin mengajukan syarat," ucap San, seolah-olah tengah menirukan orang lain yang sedang bernegosiasi. "Ah, iya. Tapi, apa itu mungkin? Apa aku cukup pantas untuk meminta hal semacam itu?" "Loh, bukannya mereka yang menghubungimu lebih dulu? Itu berarti, siapa yang lebih tertarik dan membutuhkan? Mereka. Mereka, Clif." Benar. Apa yang dikatakan oleh San, semuanya benar. Karena pihak Kristo Wijaya yang menghubunginya terlebih dahulu, itu berarti memang mereka yang tertarik. Dan Clara, sepertinya bisa memakai cara yang dikatakan oleh San. "Baik. Aku akan mencobanya," ucap Clara dengan nada yang lebih mantap. "Nah, bagus. Memangnya, syarat apa yang hendak kamu ajukan, Clif?" "Ehm, apa, ya?" "Mungkin masa percobaan kontrakmu? Biasanya memang ada yang seperti ini. Kamu bisa saja memperpendeka masa percobaan itu, misal enam bulan, jadi tiga bulan. Atau bahkan bisa saja, kontrak itu memang menawarkan masa percobaan yang lebih pendek dari itu. Ya, kan?" "Ah, iya. Aku belum tahu." Sekarang, Clara jadi bingung lagi. "Oke. Lebih baik, kamu bersiap. Dan segera ke kantor Kristo Wijaya, lalu cek kontraknya." "Oke. Terima kasih ya, San." "Sama-sama. Padahal, aku tidak melakukan apa-apa." "Jangan begitu. Dengan kamu menelepon, bertanya sedang apa, dan memberikan pendapat, itu adalah hal-hal berharga." Sedetik setelah Clara mengatakan itu, ia agak menyesal. Lagi dan lagi. Apakah ia berlebihan? "Haha. Baiklah. Aku bersyukur karena itu." Clara tersenyum. "Aku tutup, ya. Teleponnya." "Iya, silakan. Selamat pagi, selamat menjalani hari, dan semoga hari ini, semuanya lancar." "Amin ...." Setelah telelpon dari San, Clara jadi sangat bersemangat. Ya, tak ada salahnya ia datang dan mengecek kontrak tersebut. Sekalipun nanti ia menolaknya, itu bukan masalah. Itu kan, sudah menjadi haknya. *** Clara sedikit gugup ketika memasuki kantor. Satpamnya ramah, dan ada orang-orang yang menyambut kedatangannya dengan senyuman. Semua orang yang berada di kantor tersebut benar-benar memiliki wajah dan attitude the best. Semoga itu bukan hanya kesan pertama yang sementara. Clara terpukau. Ditambah dengan ruangan kantor yang megah dan sejuk. Sempurna. "Silakan masuk," ucap seseorang. Clara menurut. Gadis itu masuk ke sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Ia langsung tersenyum ketika melihat salah satu ajudan Kristo Wijaya yang waktu pertemuan langsung dengan Kristo Wijaya beberapa waktu lalu, ajudan itu memang ikut. Clara jadi tak terlalu gugup, karena ajudan itu ramah dan tak berhenti tersenyum. Ada beberapa obrolan kecil yang bersifat basa-basi di antara mereka berdua. Setelahnya, ajudan dari Kristo Wijaya pun menyerahkan satu dokumen yang tak terlalu tebal, berisi kontrak yang ditawarkan kepada Clara. Clara menerima dokumen tersebut dengan hati-hati. Ia lalu mulai membaca poin demi poin dari kontrak tersebut. Gadis itu tersenyum kepada setiap poin yang ditawarkan. Lalu, di halaman ke sekian, di halaman menuju akhir, Clara menemukan satu poin yang langsung saja mengingatkannya kepada San. Ah, San memang pintar dan setiap kata-katanya memang seperti benar-benar sudah diedit sejak di dalam pikiran, ucap Clara di dalam hati. Ia bersyukur untuk itu. Gadis itu tersenyum. Senyum yang begitu cerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD